Oleh: Rantho Dannie*
UTAMA, Bulir.id – Tahun yang sudah lampau. Tepat di bulan Februari. Jelang tahun baru China. Biasanya hujan jatuh terus-menerus. Angin kencang. Langit gelap. Jarak mendung begitu dekat dengan pucuk-pucuk pohon asam. Hari masih siang. Pelita terpaksa dinyalakan untuk mengusir kegelapan. Kedua tangan harus menjadi seperti kelopak bagi bola mata agar dian tetap bernyala.
Suasana seperti dunia akan kiamat. Untung bahwa tidak terjadi gempa bumi. Di sisi jalan raya, terlihat pohon Natal tumbang. Pohon itu biasa kami petik bunganya ketika mekar di akhir November. Di samping rumah, ranting-ranting jambu air patah satu demi satu. Usia buah-buahnya yang masih muda tamat seketika. Pintu dan jendela rumah ditampar angin. Terdengar bunyi teriakan keras. “Tamparan” itu sampai membekas pada kaca jendela. Retak. Pecah. Luruh.
*****
Deru gelombang laut di belakang rumah mulai terdengar. Ombak pecah, busanya tempias sampai di jenang pintu dapur. Air laut berubah coklat. Tak heran sebab aliran air sungai dari sisi gunung Selatan telah menodai beningnya laut kami. Perasaan takut mulai menjalar. Suasana sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Di belakang dapur, Bapa nampak tak cemas. Sambil memakai “Toke” (pelindung badan dari hujan, terbuat dari daun pohon Lontar), ia menancapkan sebuah tiang sampai setinggi lutut. Bagian atas tiang ditutupi dengan tempurung kelapa.
Sepertinya ada hal yang dirasa kurang normal. Ternyata benar. Angin tornado mengerahkan air laut membentuk dua tiang menjulang tinggi. Ujung tiang air itu terlihat menyatu dengan gumpalan mendung saat itu. Lalu angin menghempaskannya ke pesisir pantai. Perahu para nelayan pindah posisi. Rumah-rumah panggung di bibir pantai ikut terhempas. Menakutkan. Bapa segera berlari ke dalam rumah. Mama berdiri diam tanpa suara.
Bapa menenangkan kami. Dia bilang, “Tidak apa-apa. Bapa sudah pasang tempurung kelapa di tiang sana. Jangan takut. Rumah kita aman.” Sebenarnya dia panik juga namun cara paling aman untuk menenangkan orang lain adalah “menganggap segala yang terjadi itu biasa-biasa saja.” Akhirnya kami pun tenang.
Hujan mulai reda. Gemuruh laut perlahan hilang. Kami berenam duduk diam. Hilang suara selepas badai itu. Bapa mulai bicara. “Tiang tadi itu seperti tiang Nabi Musa. Tempurung tadi itu sama dengan terpal kemah. Musa pakai tiang untuk selamatkan Israel. Dia suruh umat Israel pasang kemah di padang gurun untuk melindungi mereka dari badai pasir.”
Ini penjelasan sungguh biblis yang saya dapat dari Bapa. Maklum saja. Beliau adalah salah seorang tukang misi kepercayaan P. Otto Bower, SVD. Setiap tukang diwajibkan ikut misa setiap pagi. Bisa jadi penjelasan itu ia peroleh dari keseringannya mendengar firman dan menyantap tubuh-darah Kristus. Penjelasan itu macam angin yang lewat begitu saja di telinga karena kami masih kagum dengan badai tadi.
*****
Memang suasana di setiap bulan Februari selalu membuat Bapa berpikir keras. Sebab, susah untuk mendapat makanan. Beras ada tetapi sedikit saja. Tentu tidak cukup untuk enam orang selama seminggu ke depannya. Uang gaji yang Bapa dapat sebagai seorang tukang misi sudah disisihkan untuk bayar uang sekolah empat orang anak. Prinsipnya yang selalu dikatakan saat kami semeja makan adalah “Jangan boros. Kalau beras habis, kita masih bisa makan pisang dan jagung.” Prinsip itu beliau pegang kuat.
****
Usai tragedi itu, beliau bergegas ke kebun. Saya ikut dengannya. Di kebun, saya duduk di pondok. Beliau membuat api dari dua potong kayu kering yang luput dari air hujan. Di atasnya ditutup dengan rumput basah. Asap mengepul. Nyamuk kebun memang takut asap. Saya aman di pondok.
Beliau lantas mengecek jagung di sekitar kebun. Semuanya sudah “tidur” sama rata. Angin begitu kejam seperti tentara Jepang. Jagung belum cukup umur. Bulirnya belum betul-betul berisi. Rambut-rambut jagung di ujung bulir masih merah pertanda belum siap dipanen. Jagung-jagung itu tidur beralaskan genangan air hujang yang meluap dari sisi sungai. Bapa gagal panen jagung tahun itu. Makanan alternatif tersisa satu yaitu pisang. Ada satu tandan pisang yang sudah matang. Beberapa buah yang masak telah lebih dahulu “dilukai” gigi kelalawar.
Bapa terlihat senyum ketika menaruh pisang itu di pondok. Setiap sisir sudah dipisahkan dan diikat-satukan. Siap dibawa pulang ke rumah. Katanya saat itu, “Sebentar pulang baru minta Mama rebus untuk kita makan. Syukur kita masih bisa makan di musim seperti ini. Sekalipun pisang.”
****
Kami pulang ke rumah. Saya tetap pakai “Toke” karena masih gerimis. Bapa pikul pisang itu di dalam karung. Setibanya di rumah, ternyata ada juga satu bulir jagung yang Bapa bawa. Bulir jagung itu sudah cukup matang. Bapa bilang itu untuk saya karena saya sudah temani dia ke kebun. Beliau bakar jagung itu untuk saya. Di ujung bulirnya, ditusuk lidi dari bambu sebagai pegangan.
Di dekat tungku api, jagung bakar itu saya amankan dengan cara seksama, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Saat itu, dia berpesan, “Nanti jangan malas kerja. Harus rajin. Kalau rajin, hidup tidak susah. Jagung itu Bapa tanam banyak. Hasilnya tidak banyak bahkan gagal. Tetapi bisa sempat dimakan walau sebulir.” Pesan itu muncul lagi saat sore ini. Pesan singkat. Tanpa bahasa hiperbola. Bapa hebat. Seperti Musa.
****
“Sehat-sehat terus, Bapa. Jaga Mama baik-baik. Rindu.”*
*Rantho Dannie merupakan alumnus di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero. Kini ia sedang menebarkan benih kebijaksanaan (staf pengajar) di salah satu lembaga pendidikan di bumi Cendrawasih Merauke-Papua.