*Oleh : Afri Ada, S.H.(Aktivis Hukum)
OPINI, Bulir.id – Hampir sebulan belakangan, jagat media sosial ramai oleh pembicaraan mengenai dugaan korupsi dana Belanja Tak Terduga (BTT) pada Instansi pemerintah, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) TA 2021. Kasus ini mencuat dan bermula saat BPK RI melakukan audit keuangan pada lingkup pemerintah Kabupaten Sikka.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada DPRD Sikka dalam rapat, disampaikan bahwa pengelolaan keuangan daerah pada BPBD Sikka pada TA 2021, terdapat temuan atas kejanggalan pengelolaan dalam beberapa subsektor.
Sebagaimana Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI, kekurangan anggaran BTT yang belum disetor sebesar Rp 988.765.648 terdiri dari kas murni Rp 567.043.200, PPN dan PPh Rp 421.204.265 dan pajak daerah Rp 518.183.
Pihak yang BertanggungjawabÂ
Setelah adanya LHP BPK RI kepada DPRD Sikka, menanggapi laporan BPK RI, maka beberapa pihak dimintai pertanggungjawaban atas kekurangan penyetoran dana BTT yang diduga kuat terjadi praktik maladministrasi dalam lingkungan BPBD Sikka, maka Bendahara pada BPBD Sikka bersedia untuk bertanggungjawab dengan menjaminkan aset pribadinya, selain itu ada rekanan atau pihak ketiga selaku penyedia jasa yakni CV. JRP, ikut dimintai pertanggungjawaban dengan menjaminkan aset.
Saat ini Kejari Sikka sedang dalam proses penyidikan guna menemukan tersangka atas dugaan korupsi BTT, setelah sebelumnya telah dilakukan pulbaket dan puldata dengan dilakukan penyitaan dokumen berikut pemeriksaan saksi-saksi.
Aksi Demonstrasi oleh Mahasiswa dan MasyarakatÂ
Sebagai upaya follow up dari prosesi Hukum dana BTT, Kejari Sikka dimintai untuk mempercepat proses penyidikan oleh mahasiswa dari PMKRI dan juga mantan Bupati Sikka. Hal ini biasa dalam upaya memberikan tekanan dengan beberapa point tuntutan salah satunya adalah menangkap bupati Sikka.
Namun secara Hukum, Bisakah Bupati diperiksa atau ditangkap? Berdasarkan keputusan MK, terhadap uji materi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, Dalam sidang pembacaan putusan pengujian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Mahkamah menyatakan sebagian materi pasal 36 UU Pemda – ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) — bertentangan dengan konstitusi, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Artinya bahwa, dalam proses penyelidikan dan penyidikan, Bupati boleh dipanggil untuk dimintai keterangan. Situasi berbeda ketika Bupati akan dilakukan penahanan, sesuai perintah dan putusan MK, maka penyidik wajib memperoleh izin secara tertulia dari Presiden.
Lalu, apa urgensinya Bupati Sikka ditangkap? Dalam perkara dana BTT, BPBD Sikka adalah Kuasa Pengguna Anggaran(KPA) dalam hal ini Bendahara yang bertanggungjawab langsung karena tugas dan tanggung jawabnya, hal itu dibenarkan dengan bersedianya Bendahara untuk menjaminkan Asetnya bersama-sama dengan rekanan pihak ketiga.
Bupati Sikka tentu, secara moril harus dan wajib bertanggungjawab sebagai Kepala Daerah sesuai dengan AUPB, namun secara Hukum masih terlalu Prematur untuk meminta Bupati ditangkap. Upaya Hukum yang bisa dilakukan Oleh Kejari Sikka minimal memanggil Bupati Sikka untuk diperiksa sebagai saksi sebagaimana diperbolehkan oleh putusan MK.
Sehingga secara jelas, terang dan berdasarkan Hukum, jika tuntutan penangkapan Bupati sangat tidak berdasar, tidak tepat dan melawan Hukum. Bisa saja Bupati ditangkap tangan dan ditahan, jika melakukan tindak pidana dimaksudkan(Korupsi) dan tertangkap tangan. Maka tidak memerlukan ijin presiden.
Dukung Kejari Sikka Tetapkan Tersangka
Tujuan dari proses penyidikan adalah mengumpulkan minimal dua alat bukti guna menemukan dan menetapkan tersangka. Sehingga perlu didorong secara obyektif tugas dari Kejari Sikka dengan tidak mencoba menggiring opini secara politik guna kepentingan dalam menyongsong Pilkada Sikka 2024 mendatang.
Dalam hal ini proses pemeriksaan sudah dilakukan, tinggal menunggu penetapan tersangka kasus dugaan korupsi dana BTT ini, maka masyarakat perlu mendorong dengan obyektif tanpa adanya unsur politik dengan tuduhan yang tendesius dan tidak berdasarkan hukum.
Tugas kita sebagai locomotive of control (LOC) harus sebisa mungkin nampak sebagai wujud adanya Demokrasi yang sehat, Demokrasi yang berdasarkan Hukum. Tugas itu harus dimulai dengan membangun narasi dan argumentasi yang obyektif, etis, jujur dan adil (OBEJUDIL), sehingga tidak melahirkan disintegrasi secara politik yang terkooptasi namun berjalan sesuai keinginan masing-masing kepentingan elit politik.
Argumentasi Hukum yang sebenarnya adalah soal Fakta dan bukti, sedemikian rupa digiring dengan pengandaian dan dugaan-dugaan yang tidak sehat, tidak berdasar dan tidak Patut. Unsur politik lebih kental terasa Resonansinya, sehingga menutupi rasionalitas hukum yang menjadi landasan Demokrasi bangsa Ini.
Dan jika Masalah Hukum dikonversi ke politik maka jatuhnya adalah penghakiman sepihak. Jadi, apakah bupati Sikka dapat dimintai pertanggungjawaban? Jawabannya tergantunh bukti dan fakta-fakta hukum, bukan kepentingan politik. Faktanya sampai saat ini Bupati Sikka, tidak ada fakta dan bukti Hukum yang ditemukan.*
Salam Penegakan Hukum,
Merdeka
*Afri Ada merupakan salah satu alumnus Fakultas Hukum di Universitas Nusa Cendana Kupang. Ia juga merupakan aktivis GMNI yang gencar memperjuangkan hak-hak dasar manusia serta penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.Â