Catatan Pinggir Bulir: Menguak Kerumunan Massa Tragedi Kelam Sepak Bola Indonesia

0

Oleh: Djanuard Lj*

SPIRITUAL, Bulir.id – Liga Indonesia seringkali menyajikan sebuah sepak bola yang indah dan enak untuk ditonton. Tim-tim besar seperti Persija, Persib, Persebaya dan Arema saling merebut posisi dalam perebutan gelar Liga 1.

Teringat, filsuf dan penulis Prancis Albert Camus pernah ditanya oleh seorang sahabatnya, sepak bola atau teater? Camus dengan spontanitas dan tanpa ragu menjawab sepak bola. Keindahanlah yang mendorong Camus memilih sepak bola sebagai olahraga yang paling disukainya.

Sepak bola merupakan olahraga paling populer di dunia. Sederhana, namun di balik selubung kesederhanaannya, sepak bola membangkitkan emosi massa (penonton) yang luar biasa. Emosi massa tersebut berujung pada tragedi kemanusiaan.

Stadion Kanjuruhan Malang menjadi saksi tragisnya sepak bola tanah air. Ia telah menelan 302 orang korban luka ringan, 21 orang luka berat, dan 125 orang meninggal dunia. Tragedi kelam ini tampaknya mengeliminir sepak bola sebagai keindahan, solidaritas, sportivitas dan humanisme.

Sepak bola sebagai sebuah keindahan, memberikan tontonan menarik. Ia tidak hanya terletak pada kelihaian para pemain mengolah si kulit bundar melainkan juga membangun solidaritas di atas rivalitas dan hasrat untuk memenangkan pertandingan.

Pada prinsipnya sepak bola jauh dari rasa kebencian. Ia menjunjung tinggi sportivitas dan berani mengakui kekalahan. Sebab kunci berhasilnya sebuah tim hanya dengan kerja keras dan kerja tim. Dalam sepak bola, tak ada jalan pintas untuk meraih kemenangan.

Pada sisi yang lain, sepak bola memiliki semangat persatuan dan humanisme. Itu terlihat pada fans yang mampu menyatukan semua lapisan masyarakat. Menunjukkan bahwa sepakbola memiliki bahasa universal.

Bagaimana fans bereaksi pada tim mereka, baik itu kebahagiaan dalam kemenangan atau kefrustrasian dan kesedihan dalam kekalahan.  Kesemuanya itu juga menjadi bagian dari keindahan.

Namun ada sisi gelap dari fans, seringkali membuat sepak bola tak menjadi indah sebab seringkali mereka tak menerima kekalahan dari tim kebanggaannya. Tindakan ini sekaligus menegasi solidaritas dan humanisme sehingga terjadi “penidakan” terhadap kuberlainan.

Nilai-nilai seperti solidaritas, sportiviatas dan humanisme  dijadikan oleh FIFA dan federasi-federasi sepak bola di negara Eropa sebagai jangkar untuk mereduksi kemungkinan bentrokan yang timbul antar negara, golongan, bahkan kepentingan. Semua dirangkul, tanpa terkecuali, sebab sepak bola merupakan olahraga semua untuk semua.

Belajar dari tragedi Kanjuruan Malang, ada kritik yang perlu dilayangkan atas kerumunan masa yang menimbulkan keos dan kematian. Sebab pada kerumunan, individu tidak dikenal sebagai pribadi melainkan sebagai kelompok.

Identitas pribadi hilang karena larut dalam kelompok yang berkumpul. Ini yang dipertontonkan oleh sekelompok fans Aremania. Di sini melahirkan anonimitas dan otentisitas pribadi menjadi hilang.

Mengutip Søren Kierkegaard, umat manusia dalam kerumunan menyerahkan dirinya pada kejahatan. Aksi itu terjadi secara massal. Itulah sebabnya orang-orang suka berkerumun, supaya histeria alamiah dan hewani mendatangi mereka. Supaya mereka merasa diserang dan dibakar kemudian membalasnya dengan cara yang sama.

Pada prinsipnya Søren Kierkegaard ingin menunjukkan bahwa individu sejatinya tidak berkerumun sebab hanya menghilangkan identitas individu. Oleh sebab itu individu harus mencegah diri agar tidak larut dalam kerumunan massa karena hal itu akan meniadakan identitas dan menghalangi usaha mereka menjadi diri sendiri.

Kerumunan massa tidak hanya menghilangkan otentisitas pribadi saja melainkan juga bisa menidak kemanusiaan manusia. Hal itu yang terjadi pada tragedi Kanjuruhan Malang, sebab kerumunan masa itu liar seperti hewan yang pada akhirnya terjadilah tragedi kemanusiaan dan duka yang mendalam bagi seluruh insan sepak sola tanah air.

Sebagaimana Socrates tidak terkecoh atau gentar terhadap terhadap pandangan dan kecaman kerumunan tetapi berani menyatakan kebenaran. Ia sama sekali tak larut dan terpengaruh dalam kerumunan. Ketikan dipanggil menghadap Majelis Rakyat, matanya tak melihat kerumunan massa melainkan seorang individu belaka.

Keberanian Socrates melawan arus massa merupakan hasil kebulatan tekad untuk mewujudkan keputusan eksistensial yang sudah diambil. Dari pilihan tersebut orang dapat memperoleh makna hidup. Manusia dapat hidup dengan otentik sebagai manusia hanya melalui pilihan-pilihan yang menentukan hidup bukan dengan brutalitas massa yang tak terkendali.

Untuk itu suporter yang di dalamnya sebagai person mesti memahami dan menyadari dirinya sebagai individu yang otonom dan tidak larut dalam selubung massa yang brutal. Hal ini memperkukuh imunitas tubuh fans sehingga tidak larut dalam kebengisan yang pada akhirnya mengabaikan semangat sepak bola, sportivitas, solidaritas dan humanisme. Hanya dengan tiga semangat ini sepak bola Indonesia dapat bangkit dari keterpurukan.*