Covid-19 dan Hoax: Dua Virus Gerogoti Indonesia

0

Oleh: Djanuard Lj*

 

Opini, Bulir.id – Lonjakan kematian yang diakibatkan oleh pandemi virus covid-19 di Indonesia semakin memuncak pada periode Juli 2021. Kebijakan PPKM belum mampu menahan laju penambahan kasus positif dan kematian akibat virus tersebut.

Kini pemerintah pun tengah berjibaku memeranginya. Tidak hanya covid-19 yang diperangi tetapi juga virus hoax (berita bohong) yang juga sama mematikan.

Berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) telah menjadi fenomena yang membanjiri dunia maya terutama media sosial tanah air. Hoax biasanya menciptakan ketakutan dan perpecahan di dalam hidup bersama.

Khususnya dalam masa pandemi covid-19, hal ini berkembang menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Pengalaman telah menunjukkan, hoax  telah mengaburkan informasi.

Tidak sedikit masyarakat Indonesia menyangkal adanya pandemi. Penyangkalan ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat mengabaikan protokol kesehatan. Secara tidak sadar hal ini ikut andil dalam menyumbang angka kematian.

Banyak yang percaya bahwa kematian pasien yang dirawat di rumah sakit bukan disebabkan oleh covid-19. Bagi mereka pandemi ini hannyalah rekayasa para elite global.

Misalnya hal tersebut di atas diperkuat oleh pernyataan dokter Louis yang beberapa hari terakhir ini menggemparkan jagad maya nusantara.

Dia menyangkal kematian pasien di rumah sakit bukan diakibatkan oleh virus Covid-19 melainkan diakibatkan oleh interaksi obat. Sayangnya penyangkalannya tersebut tidak dibuktikannya secara klinis.

Sebagian besar masyarakat Indonesia percaya atas pernyataan tersebut. Ini akan bisa menyebabkan pembangkangan masal dan pengabaian terhadap protokol kesehatan. Angka yang terpapar dan kematian akibat covid-19 pun bisa meningkat.

Sebab orang tidak lagi memverifikasi kebenaran atas pernyataan tersebut. Yang penting kepercayaan pribadi lebih kuat daripada logika dan fakta.

Masyarakat kita cenderung menerima begitu saja berita atau informasi. Tidak lagi disaring melalui verifikasi data melainkan cenderung dipengaruhi oleh ideologi atau keyakinan tertentu, sihingga enggan menerima fakta sebenarnya.

Berdasarkan data yang dilansir dari Harian Kompas, 21 Juli 2021, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat, selama periode 1 Januari 2020-16 Juli 2021 beredar 1.064 hoax terkait Covid-19.

Temuan ini menunjukkan hoaks seputar Covid-19 mengisi bagian terbanyak total hoax secara keseluruhan. Persentase hoaks pada 2020 mencapai 37 persen dari total 2.298 hoax.

Sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informatika juga mencatat terdapat 1.760 hoaks seputar covid-19 selama 23 Januari 2021-17 Juli 2021. Temuan ini jauh lebih banyak dari Mafindo.

Banalitas Kebohongan

Fakta di atas menunjukkan bahwa medsos menjadi ladang basah menjamurnya virus hoaks. Virus tersebut dengan cepat menyebar dan mengakar ke segala kalangan masyarakat.

Karena hoaks diungkapkan terus menerus, terciptalah banalisasi kebohongan. Orang tidak merasa bersalah lagi untuk berbohong.

Jika dulu bohong itu mengikat kita pada tanggung jawab moral namun kini bohong hanya soal pilihan kata. Sehingga repetisi membuat orang percaya seakan-akan itu benar.

Hoax dan hate speech menjadi mudah tersebar luas dan cepat karena dimungkinkan oleh media sosial dan algoritmanya.

Berdasarkan beberapa kajian filosofis terhadap medsos memperlihatkan bahwa medsos bukanlah sekadar alat yang netral. Medsos berhasil membentuk dan mengubah cara pandang serta cara hidup manusia di dunia.

Batas antara fakta dan fiksi, serta semakin tidak berperannya fakta objektif dalam membentuk opini publik dibandingkan bujukan dan preferensi emosional. Emosi kemudian dimainkan, akibatnya objektivitas dan rasionalitas diabaikan.

Berbekal preferensi/keyakinan, media sosial memberikan ruang demikian besar untuk melayaninya. Dengan cara demikian, posisi orang akan mengental dan menjadi suatu skemata kognitif yang sukar lagi diubah.

Terjadinya Polarisasi
Virus hoax juga meninggalkan jejak polarisasi. Polarisasi mudah terjadi dan berkombinasi dengan pandangan eksklusif lantaran tidak berbasis pada bukti aktual, melainkan pada bukti yang tersedia di media sosial. Dampaknya, konflik sosial mungkin saja mudah tersulut dan dapat menciptakan situasi-situasi jebakan sosial (social trap) yang menggerus kepercayaan (trust) di tengah masyarakat.

Suka atau tidak suka masyarakat Indonesia kini sudah terbagi dalam dua kelompok. Kadrun dan cebong yang merupakan anak kandung dari polarisasi.  Fenomenia ini bukan fakta baru melainkan lanjutan dari pilkada DKI dan Pilpres beberpa tahun lalu.

Keduanya seringkali larut dalam emosi sehingga tidak jarang terjadi gesekan verbal yang meramaikan media sosial. Gesekan ini jika tidak diatasi sedini mungkin maka akan timbul konflik horisontal.

Di sisi lain, hal ini menguntungkan bagi elite politik tertentu dalam membentuk opini publik. Bahkan, elite yang pada dasarnya minoritas ini mengatur publik mayoritas dalam suatu logika yang tersembunyi.

Dalam situasi kekalutan ini, tumbuh berbagai macam opini publik terkait pengalaman bersama atas pandemi. Akibat kekalutan itulah rasional kritis ditinggalkan. Yang penting percaya saja pada berita atau informasi yang disebarkan, fakta pun diabaikan.

Akhirnya orang sukar membedakan antara fakta yang didasarkan pada kenyataan. Masyarakat seringkali memilih opini yang didasarkan pada sudut pandang pribadi.

Opini yang kuat dapat memadamkan fakta. Di era ini, apa yang diyakini dipandang lebih berharga daripada fakta.

Budaya online tidak dapat membedakan antara fakta dan fiksi. Proses yang terjadi di dalam dunia maya justru berpotensi merusak percakapan publik dan demokrasi.

Berpadu dengan pikiran yang tertutup, yang tidak lagi berkenan memeriksa keyakinan sendiri dan premis-premis pendukungnya, akan menghasilkan polarisasi tajam di masyarakat.

Rasional Kritis

Daniel Kahneman, seorang peneliti mengatakan bahwa manusia memiliki dua sistem berpikir. Sistem  berpikir cepat, yang bersifat intuitif dan memiliki fungsi survivalitas. Sedangkan sistem  berpikir lambat yang mengandalkan kalkulasi rasional dan juga aritmatika.

Sistem pertama yang mengandalkan kecepatan, seringkali membawa manusia ke dalam situasi bias kognitif. Intuisi membantu bertahan hidup, namun seringkali tidak logis dan rasional, bahkan keliru.

Salah satu bias kognitif yang sering dilakukan masyarakat adalah bias konfirmasi. Sejumlah konflik dan perseteruan seringkali terjadi karena secara intuitif mudah sekali kita melakukan bias konfirmasi. Terlebih di era kontemporer ini, sifat dan algoritma media sosial semakin memfasilitasi praktik bias konfirmasi.

Cepatnya informasi bertumbuh tidak dengan sendirinya diikuti pertumbuhan pengetahuan dalam kecepatan yang sama. Kini kita dibanjiri informasi, namun tidak berupa pengetahuan berwawasan.

Masyarakat tidak lagi mampu dengan mudah mengenali bukti dan melakukan penilaian yang adil terhadapnya. Masyarakat sejatinya perlu menumbuhkan dan mengembangkan kebajikan intelektual.

Kita tidak dapat begitu saja bersikap pasrah dan larut dalam perkembangan yang ada. Jalan yang masuk akal,  mengembangkan kecakapan dan kebajikan intelektual. Dengan demikian, terdapat optimisme dan peluang bagi masyarakat untuk bersikap rasional, kritis, dan sekaligus bertanggung jawab secara intelektual.

Jika nalar sehat kita gunakan dalam situasi pandemi ini maka sekiranya imun kita pun akan semkin dikuatakan. Hidup akan lebih nyaman dari ketakutan akan virus Covid-19 dan Hoax. Dengan demikian kita pun mampu keluar dari serangan dua virus mematikan tersebut.*

 


*Djanuard Lj merupkan alumnus Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya. Kini bekerja sebagai penulis tetap di media online Bulir.id. Lj panggilan akrabnya, juga sekaligus merupakan salah satu CO-Founder Bulir.id.