Oleh: Afri Ada, S.H.
(Aktivis Hukum dan HAM)Â
UTAMA, Bulir.id – Minggu 7 Agustus 2022, sekitar pukul 18.00 WITA, salah satu warga dari desa Nangatobong, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka dilarikan ke Puskesmas Waigete lantaran mendapat gigitan ular berbisa guna mendapatkan pertolongan pertama.
Sayangnya, ketika tiba di puskesmas Waigete menurut keterangan dari keluarga pasien, di sana tidak ada dokter yang tanggap darurat untuk memberikan pertolongan bagi pasien, hanya ada beberapa perawat yang secara disiplin ilmu dan profesi tidak memiliki kualifikasi dan kapasitas seperti Dokter untuk memberikan pertolongan pertama yang responsif, tepat dan berkelanjutan.
Beberapa perawat yang menangani hanya memberikan obat untuk dikonsumsi tanpa ada tindakan medis apa pun. Lalu pasien disarankan pulang karena dalam kondisi yang relatif masih bisa bergerak dan beraktivitas normal (jalan, makan, minum). Menurut keterangan keluarga pengantar, mereka sudah meminta untuk dirujuk, sayangnya dari pihak dan oknum perawat malah menyarankan untuk pulang lalu kembali lagi besok untuk control dan bertemu dengan dokter, sambil menunggu reaksi.
Keesokannya, waktu datang kembali ke Puskesmas, pasien harus menunggu beberapa lama untuk bisa bertemu dengan dokter, setelah bertemu pun pasien belum dilakukan rujukan ke RS Tc. Hillers Maumere dengan alasan masih dilakukan observasi, sehingga pasien kembali pulang ke rumahnya. Sore harinya pasien mengalami reaksi racun yang sangat dahsyat, pasien muntah dan lemas, kejang dan tak sadarkan diri. Pasien lalu kemudian dilarikan langsung ke RS.Tc.Hillers Maumere.
Setelah di sana, pasien mendapatkan pertolongan namun racun dalam tubuh sudah menyebar dan menyerang sistem kekebalan Tubuh. Setelah beberapa hari pasien akhirnya meninggal dunia.
Untuk diketahui, bahwa salah satu contoh kasus yang diangkat adalah akumulasi dari berbagai macam keluhan dan rasa terdiskriminasinnya masyarakat dan pasien yang sudah tiba pada titik jenuh.
Beberapa bulan lalu, ramai juga sebuah kasus kematian seorang Ibu yang hendak melahirkan di dibawah ke Puskesmas Wolomarang, karena ulah oknum nakes pula, pasien akhirnya meninggal dunia, alhasil pihak keluarga memproses Hukum oknum Nakes dan juga pihak Pemerintah.
Maladministrasi dan Praktik Kesehatan
Lambatnya sikap responsif atas kedaruratan kesehatan pasien oleh oknum tenaga kesehatan (nakes) adalah masalah laten dan universal yang terjadi hampir di seluruh wilayah negara, persoalan ini adalah masalah yang sangat serius, karena bukan sekedar masalah kesehatan biasa, melainkan anomali dalam praktik kesehatan dan penyelenggaraan negara yang berkaitan dengan prinsip Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berkeadilan.
Padahal sudah jelas dalam Pasal 28H ayat (1) “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, yang menjadi dasar jaminan negara bagi warga negara Indonesia sebagai hak asasi yang bersifat non-derogable rights, artinya bahwa hak akan pelayanan kesehatan yang adil adalah hak yang tercakup dalam hak sipil dan politik yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apa pun. Ini adalah prinsip pertama dalam Konvensi Hak Asasi Manusia dan Prinsip Negara Demokrasi.
Berangkat dari contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa pembangunan infrastruktur secara fisik tidak dibarengi dengan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) maka akan menghasilkan pelayanan yang tidak sesuai dengan Standar Minimal Kesehatan (SMK). Dugaan kuat adanya malpraktik dan maladministrasi harus dengan segera diselidiki untuk dievaluasi dan diperbaiki secara menyeluruh, terpadu dan berbasis regulasi.
Malapraktik dan Maladministrasi secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yakni Pasal 58 (1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya. Kemudian diatur juga dalam Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 46 Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenagakesehatan di RumahSakit.
Jika dilihat dari ketentuan Pidana tersebut di atas, dapat kita simpulkan bahwa jaminan negara bagi masyarakat sudah sangat kuat berkeadilan, sayangnya bagi sebagian Tenaga Kesehatan (Nakes) yang bahkan tidak menghiraukan Kode Etik Profesi dan juga ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia.
Sikka Darurat Pelayanan Publik, Bupati Perlu Tegas
Di tengah hiruk pikuk kemerdekaan Republik Indonesia yang Ke 77 Tahun, jargon Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat hanyalah kata-kata tanpa makna yang dikampanyekan. Pemulihan sektor ekonomi, pendidikan dan kebudayaan tanpak tidak bermakna jika tidak diiringi dengan Pemulihan Kesehatan dan Kebangkitan dan Jaminan akan Kemerdekan dan Hak Asasi Manusia.
Perlu diingat, Visi Misi Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo, S.Sos., M.Si adalah pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Kabupaten Sikka, khusus di bidang kesehatan, yakni pembangunan Puskesmas dan Fasilitas Kesehatan (Faskes) yang memadai di seluruh kecamatan serta pemberian kartu Sikka Sehat bagi masyarakat miskin dan papah.
Oleh sebab itu, niat mulia Bupati Sikka, dengan membangun infrastruktur secara fisik haruslah dibarengi dengan pembangunan manusia yang berkelanjutan, khusus di bidang kesehatan.
Bupati mesti tegas, keras dan menepati janji-janji dan juga visi misinya dengan menginstruksikan kepada satuan kerja perangkat daerah dan juga stakeholders untuk bisa memperbaiki diri secara pribadi maupun secara instansi. Sehingga jelas, terang dan tak terbantahkan bahwa Bupati Sikka adalah pemimpin yang peduli pada pembangunan dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Sikka. Sehingga jelas, slogan Pulih Lebih cepat, bangkit lebih kuat, benar-benar bermakna.*
Merdeka!