Tilik, BULIR.ID – Akhirnya menjadi terang benderang, begitu kumuh dan joroknya zamanku yang kian berebut dunia. Dan begitu indah dan bercahayanya “kata seindah bunga’ dari Pater Servulus Isaak. Ialah tentang keindahan hidup yang sebenar-benarnya.
Tentang hidup yang memberikan sehabis-habisnya apa yang ada padanya bagi kemaslahatan orang banyak. Yang menjadi cahaya kecil bagi kegelapan sambil menghabisi dirinya sendiri pada saat yang bersamaan. Yang mengerjakan hal-hal kecil, sepele dan sederhana tapi bernilai besar karena menyembuhkan, membebaskan dan meringankan beban orang lain.
Ini semua adalah keindahan Pater Servulus. Dalam doaku telah saya minta dan mohon izin untuk suatu hari nanti dianugerahi kemampuan membuktikan bahwa keindahan sesungguhnya adalah puncak-puncak kebaikan. Tidak perlu melalui hal-hal besar: nama besar, harta besar, rumah besar, kekuasaan besar. Cukuplah melalui yang kecil-kecil saja: duduk mendengarkan, berdoa, berkata seperlunya namun semerbak bagi kehidupan orang lain.
Inilah ‘kata seindah bunga’-nya Pater Servulus. Di hari-hari ini, makin ke sini, keindahan seperti ini makin langka. Makin tersisih dan tidak laku oleh kebisingan peradaban akselerasi informasi. Di mana-mana orang riuh rendah mengejar dunia. Di mana-mana orang ribut curhat tentang dunia. Dari hembusan delapan penjuru angin, dari bawah sampai atas, pada segmen dan level sosial mana pun, suara-suara menuturkan keluhan-keluhan manusia tentang dunia: kemiskinan, kesulitan mencari nafkah, susahnya dapat kerjaan, kompetisi baku sikut untuk menjadi berlebih dan seretnya usaha.
Solilokui
Terkadang dalam solilokui, saya bertanya kepada diriku sendiri ketika bermenung tentang betapa khusyuk dan bahagianya Pater Servulus di hari-hari tuanya dalam kesunyian seorang kecil dan bukan siapa-siapa melayani sekian banyak orang yang tiap hari antri di depan kamarnya, yang tentu mengabaikan protokol covid-19 dan sering lupa mengurus dirinya sendiri serta seringkali baru makan siang ketika hari menjelang senja. Tapi semuanya dia dengan senang hati dan enteng melakukannya hingga dia sendiri dijemput oleh covid-19 dalam sebuah kematian yang sunyi. Dia pergi, tenang dan bahagia, dalam ke-tiada-apa-apa dan kekecilannya.
Tidak tahukah dia tentang saudara kematian covid-19? Pasti tahu. Tapi untuk orang kecil berjiwa luas seperti Pater Servulus, hidup mati adalah bagaikan titian serambut yang dibelah tujuh dan dapat dilewati kapan saja tanpa keluh kesah yang merepotkan orang banyak.
Maka, saya sering bertanya kepada diriku sendiri dengan kesombongan menggunakan terminologi agama: “Bibang, hidupmu ini mencari dunia atau akhirat? Kalau kau jawab mencari dunia, saya tuding, yah, salahmu sendiri dunia kok dijadikan tujuan. Kalau jawabamu mencari akhirat, saya katakan “kalau kau mencari akhirat kenapa kau mengeluhkan dunia”. Kan sudah jelas sejak dahulu kala bahwa hidup ini hanya mampir minum. Namanya juga mampir, singgah sejenak, bukan bertempat tinggal tetap. Sudah jelas dunia hanya tempat persinggahan sementara di tengah perjalanan, kok disangka kampung halaman. Bodok de ghau, Bibang (= bego kamu, Bibang).
Sayangnya, dalam solilokuiku ini, Mori Keraeng (=Tuhan Allah) dengan suara sayup-sayup, menyatakan dan mungkin memang sengaja sekanario-NYA untuk saya:
Wuallah, kau ini, Bibang, keenakan, mentang-mentang berada di zaman canggih akselerasi informasi. Mau tahu apa, segera tanya profesor Google, kutak-katik sebentar, langsung dapat jawaban. Kau ini mental enak, dasar pemalas!
Oleee Mori (=Oh Tuhan) apa keta sala daku ta Mori (=apa salahku, Tuhan)
Ah, kau ini, sedikit-sedikit salah, salah koq sedikit-sedikit, hahahahahaaaha
Hahahahahah, ta Mori, (oh Tuhan), kenapa harus melawak lagi ka, hidup ini sudah susah diajak lucu-lucu lagi. Saya boleh dengar serius tadi…
Baiklah, lihat e Bibang, saking enaknya zamanmu ini, kebanyakan kamu-kamu manusia tidak mau berpikir atau minimal banyak di antara kamu yang tidak menggunakan akal. Karena kemalasan mengolah logika dan sistem ratio
Aduh ngeri benar nasibku, Tuhan
Iya tentu saja, itulah akibat dari kemalasan! Kamu-kamu ini menyangka dunia dan akhirat itu dua hal yang berpolarisasi, berjarak dan bahkan bertentangan. Kamu pun takut bersikap kritis terhadap dunia karena mengira kalau mencari akhirat maka tak mendapatkan dunia. Kamu ini mengira kalau tidak habis-habisan kejar uang maka kamu tidak memperoleh uang.
Ta Mori (=Oh Tuhan), saya masih di dunia kan. Masih butuh makan minum dan uang, rumah, cinta dan senang-senang
Toe manga sala’n ghau ta Bibang (=kamu gak salah, Bibang). Pengiraanmu itu yang AKU gak suka. Ini AKU kasih tahu lagi: mengejar uang adalah pekerjaan dunia, pekerjaan paling rendah. Tapi bekerja keras adalah pekerjaan akhirat, di mana dunia adalah salah satu tahap persinggahannya untuk diolah. Orang yang fokusnya bekerja keras memperoleh lebih banyak uang dibanding orang yang fokusnya adalah mengejar uang. Orang yang mencari dunia, mungkin mendapatkan dunia, mungkin tidak. Orang yang mengerjakan akhirat, ia pasti dapat akhirat dan pasti memperoleh dunia.
Saya harus bagaimana, Mori (=Tuhan)
Aeh, tinggal kau pilih toh. AKU sudah memberimu kebebasan dan akal budi. Itulah sebabnya ilmu yang kau baca dari buku-buku atau dengar dari orang-orang yang anggap diri pintar itu, bilang: hidup ini adalah pilihan. Pake itu otak!
Rinci dan Teliti
Bersama bekas- bekas air mata yang sudah kering, mengenang kepergian Pater Servulus seperti memutarkan lagi sebuah film berdurasi tiga dekade di mana saya merasa sangat bersyukur boleh berjumpa dan mengenalinya.
Di Ledalero, bukit mentari, tiga dekade lalu, ketika memulai novisiat SVD tahun ’81. Dari kakak-kakak tingkat, kami diberitahu bahwa dia seorang ekseget. Kami hafal saja istilahnya tanpa mengerti. Sampai akhirnya dia mengajar kami Kitab Suci, entah apa judulnya, sudah lupa di tahun pertama novisiat.
Beberapa istilah dan frase yang dia gunakan, sangat mengena. Misalnya, dengan membaca kitab suci, kita akan merasa bebas dan ringan (Befreiung dan Erleichterung). Membaca Kitab Suci selayaknya seperti berbicara dengan sahabat, saling mendengarkan. Satu lagi istilah yang saat itu disebutkan dan tak akan pernah saya lupa: Sabda adalah kekuatan (=Word is power). Hampir pasti setiap kali pertemuan selalu ada istilah atau terminologi baru. Sejak saat itu, Pater Servulus, bagi saya, selalu identik dengan kebaruan (=novelty).
Kebaruan demi kebaruan saya alami ketika mulai tingkat dua, saat secara serius belajar filsafat dan teologi. Di sini dia antara lain mengajar Pengantar Ktab Suci, kuliah gabung tiga angkatan sekaligus. Bukan tentang materi kuliah yang ingin saya ceritakan tapi periksa ujiannya yang begitu rinci dan teliti.
Seumur hidup saya, belum pernah saya mengalami seorang guru yang begitu rinci memeriksa pekerjaan muridnya. Dia tunjukkan di mana salahnya dan mana yang seharusnya. Dia menulis lengkap. Bukan dalam bentuk sketsa atau coretan. Tanda baca dan susunan kalimat juga dia periksa teliti. Caranya sama: mana salahnya dan mana seharusnya.
Coba bayangkan. Kertas ujian ratusan mahasiswa dikalikan minimal tiga halaman, sudah berapa itu jumlahnya. Ini yang tak terlupakan: dia selalu menulis emosinya. Misalnya, bagus sekali, kau hebat, masih kurang pembahasaannya.Teman saya Pit Sambut sampai sekarang malah masih ingat persis kalimat-kalimat pujian di kertas ujiannya dan seringkali berkisah kembali kalau kami berjumpa.
Bisakah hal-hal kecil ini diabaikan? Bisa! Bisakah hal-hal sederhana ini dilibas oleh kewenangan seorang guru? Bisa! Begitulah umumnya dosen-dosen pada tahun-tahun itu. Hasil ujian dibagikan dengan nilai lengkap tapi kurangnya di mana, kita tidak tahu. Hanya menerka-nerka. Bahkan ada yang tidak pernah mengembalikan kerjas ujian, tidak ingin saya sebutkan di sini, tapi tiba-tiba saja nongol nilai tanpa kami tahu apa sih proses kerja kami sehingga mendapat nilai demikian.
Tapi apa yang menjadi ‘umumnya’ itu, tidak terjadi untuk Pater Servulus. Di situlah, saya tertegun. Saya membacanya sebagai kebesaran Pater Servulus justru dalam hal-hal rinci dan kecil-kecil begini. Padahal dia kurang apa kuasanya? Dia wakil dekan bidang akademik. Bergelar besar, kecerdasan besar, jabatan besar. Kebesarannya justru bersinar melalui hal-hal kecil ini. Saya mencintainya sejak saat itu. Karena siapa berani berkata cinta itu tidak muncul dari hal-hal sederhana dan kecil-kecil?
Kebaruan berikut terjadi pada saat retret tahunan untuk pembaharuan kaul. Tingkat dua hingga tingkat lima, bergabung. Dalah pembimbingnya. Lupa apa tema-nya tapi yang dia refleksikan ialah kitab eksodus. Amat berbeda jika dia menjelaskannya dalam kerangka kuliah. Dalam retret ini, dia menyuruh kami membaca kitab eksodus lalu menangkap apa pesannya. Terakhir dia merangkum dengan bahasanya yang indah, seolah menampung semua tangkapan-tangkapan kami ke dalam jala besar. Sejak saat itu, saya maklum: “ohhhh… Kitab Suci bisa dijadikan retret!” Di akhir retret, dari mulutnya, saya mendengar bahwa inilah sejenis retret biblis.
Pasca retret biblis ini, berkecambah di dalam hati saya sebuah kecintaan terhadap Kitab Suci (Perjanjian Lama) untuk tidak sekedar memperlakukannya sebagai obyek studi. Pada waktu lain, dia memberikan tips untuk mendapatkan pesan Kitab Suci ialah menulis ulang ayat-ayatnya. Di mana ada kata atau frase yang diulang-ulang, berarti hal itu penting. Setelah kami enjoy mengerjakannya, barulah dia menyampaikan istilah teoretis untuk kerja penafsiran seperti itu, namanya metode struktural.
Begitu indahnya retret dan kuliah-kuliahnya, sampai-sampai tiga puluh tahun kemudian, ketika saya bertemu dengan teman kelas saya Dr Alex Seran, etikawan di Pusat Etika Unika Atmajaya Jakarta, setiap kali menyebut Pater Servulus, yang diingatnya ialah tesis yang berulang kali keluar dari mulutnya saat retret itu: “dosa para pemimpin ialah tidak percaya!” Sambil dia ingatkan saya, masih ada lagi tiga istilah lain, teman: “ retret biblis, metode struktural dan nomen klatura.!”
Tuntas
Kebaruan berikutnya: tuntas! Ini pengalaman pribadi saya, ketika dia menjadi moderator skripsi saya tentang Restorasi Yehezkiel. Semula, pertimbangan saya, sederhana. Dia ahli Perjanjian Lama dan cocok-lah memilihnya sebagai moderator. Yah, untuk mudahnya secara teknis, begitu pikir saya.
Oh, ternyata saya keliru besar. Dalam proses pengerjaannya, saya sadar bahwa mendapatkan bimbingan dia adalah sebuah kemewahan tak terkira. Saya menyebutnya: cinta yang tuntas, tidak setengah-setengah, tidak asal-asalan.
Selain mepet waktunya hanya dua setengah minggu, setelah outline dan buku-buku utama sebagai referensi disetujui, mulailah saya mukut bekerja. Saya ke ruang majalah Vox, bawa semua buku-buku utama, mengunci pintu, lalu kerja tuk-tak-tuk-tak dengan mestik tik tua. Keluar ruangan hanya untuk makan, doa dan tidur. Setelah seminggu, selesai minus bab relevansi. Dengan bangga, saya membawa ke kamarnya.
Besok sore ya, datang lagi, kata dia. Baik, pater, jawabku. Ringan langkah saya ke kamar dan untuk pertama kalinya tidur nyenyak malam itu. Tibalah esok itu. Ini, saya sudah baca (sambil dia tunjukkan ke saya). Wajah saya seperti tersambar kilat. Banyak sekali garis menggaris di kertas-kertas skripsi saya.
Melihat saya ciut, dia berusaha menghibur: “Hehehehe, jangan dulu mati kutu e, lihat dulu!” Saya mulai menyimak. Aduh, garis menggaris itu bukan soal susunan pikiran dan kalimat tapi tentang perluasan tema saya itu yang terkait pada buku-buku lain, yang diungkapkan secara lain oleh nabi-nabi lain, bahkan yang diulang dalam Perjanjian Baru, sambil menyebut injil-injilnya.
Jujur, saya langsung apes seperti tikus basah. Lalu sambil membela diri: “Pater, saya ini kan mengulas hanya ayat ini dari Yehezikiel, konteks historis dan metodologinya sitzt im leben”. Dia tertawa kecil, dan dalam hati saya bergumam: “aduh, ini nyinyir atau apa ya.”
“Saya paham maksud kamu,” sambungnya, “hanya sebagai tulisan ilmiah, demi komprehensiblitas, harus juga menyinggung siapa dan di mana hal yang disama diulang atau dibahas, sehingga nilai dari tema ini akan terlihat!”
Saya diam. Tapi mulai keringat dingin ketika dia bilang: “Geradus, ini bukan buku asli yang kau baca, ini buku aslinya.” Lalu dia ambil dari raknya, saya lupa judulnya tapi buku itu ditulis dalam bahasa Jerman.
Saya coba membela diri lagi: “Yang penting isinya sama ka Pater.” “Bukan begitu juga,” jawabnya, “tapi demi orisinalitas harus dilakukan, kecuali kalau buku aslinya tidak ada. Saya dulu pernah buat paper tentang ini barang.”
Lalu dia mengambil paper yang ditulis dalam bahasa Italia. Dia membuka halaman demi halaman tapi saya melihat sekenanya saja demi basa basi karena bathin saya sedang galau. Singkat kata, revisi substansi cukup banyak karena tema harus diperluas. Dan buku utama Yehezkil dalam edisi Jerman dibawa pulang untuk dibaca dan digunakan sebagai sumber asli.
Mungkin karena dia tahu saya mepet dengan deadline, maka dia sampaikan tips: “kau lihat saja di index kata hati nurani, lalu ke halaman yang ditunjuk”. Dan sebelum pamit, untuk membesarkan jiwa saya, mungkin dia tahu saya sudah down sejadi-jadinya, dia katakan: “kau bisa, maka-nya tadi saya kasi ini buku utama, minggu depan harus bawa pulang!”
Jujur, langkah demi langkah pulang ke kamar terasa berat tidak kira-kira seperti sedang memikul berton-ton karung beras. Dada yang tadinya agak busung, pulang dalam keadaan kempes tiada juntrungan.
Nah, perasaan itu sirna begitu saya mulai mengerjakan revisi dan membaca buku utama yang dia berikan. Di halaman penting terlihat di sana- sini digarisi dengan stabilo kuning, persis di bagian tentang hati nurani. Hahahahahaha, saya ngakak sendiri. Untuk apa lagi saya baca seluruh buku. Cukup baca alinea-alinea yang ada stabilo kuning. Ternyata memang itulah bahan yang dia ambil waktu menyusun papernya yang tadi dia tunjukkan di kamarnya.
Alhasil, dua hari selesai. Saya ke kamarnya membawa skripsi dengan ketikan rapih dua spasi. “ Hah, yang benar sedikit e, jangan asal jadi, nanti tunggu saya panggil baru datang” kata dia sambil menerima revisian.
Saya balik menuju kamar di wisma Fransiskus dengan gumam kecil: “Aeh biar sudah, kalo kali ini revisi lagi, saya tidak mau nodek, mau lulus, lulus, mau tidak lulus, ya sudah. Martin Warus, nyeletuk: “kau ini yang kerja mepet waktu, ya, salah sendiri. Pater Servulus kasi perbaikan, kau ngeluh lagi.” Sambung Boni Selu: “ Siapa suruh kau kerja telat, lihat saya ka sudah kerja dari tiga bulan lalu. ‘Terus hasilnya bagaimana,” tanya saya. “Aeh belum dipanggil-panggil e sama Pater Osiaz, hahahahahaha” Hahahahaahahaha, kami bertiga ngakak sejadi-jadinya.
Besok sore saya dipanggil. Dag dig dug. Masuk kamar Pater Servulus seperti memasuki ruang pengadilan. Dia tersenyum dan ambil botol whizky kecil (saat itu untuk pertama kali saya melihat botol whizky), mengambil dua sloki, menuangkannya lalu kami toast. Dia tersenyum. Tapi wajah saya masih asam. Hmmmm, ada apa ya ini, gumam saya dalam hati.
Lalu dia mengambil skripsi saya dari mejanya. Saya lihat, clear and clean. Tidak ada coretan. “Bagus, sehr zufrieden (=sangat puas). Saya pikir kemarin kamu buat asal-asalan karena baru saya berikan buku aslinya.”
Mata saya berkaca-kaca. Terharu gembira. Benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan pujian seperti itu. Dia tahu, lalu bilang: “Sudah, sudah, kamu sudah kerja keras, termasuk cepat.”
“Tapi saya tidak lihat index e Pater”
“Hah, terus bagaimana”
“Saya baca alinea-alinea yang ada stabilo kuningnya”
Hahahahaahahaha, hahahahahahaha, dia tertawa terbahak-bahak dengan sangat kencang. Mungkin karena merasa kecolongan, sampai-sampai waktu dia minum, dia ambil sloki saya yang masih isi setengah. “Ini saya punya sloki, pater,” kata saya sambil mencegah tangannya. Kami dua terbahak-bahak sekencang-kencangnya.
Ketika hendak pamit, dia memberitahu saya jangan lupa segera infokan sekretariat untuk meminta jadwal sidang.
Satu Pertanyaan
Tibalah saat ujian skripsi. Penguji utama ialah ekseget muda Perjanjian Baru: Pater Guido Tisera. Dia baru pulang studi dari Roma. Dan waktu itu mengajar tingkat kami: Khotbah di Bukit.
Saya tidak tahu, dan selalu lupa saya menanyakan ketika beberapa kali berjumpa Pater Guido di Jerman, kenapa dia begitu bersemangat menguji serta memberi pertanyaan banyak sekali. Anehnya tidak tentang substansi tapi tentang relevansi skripsi.
Masih ingat betul, misalnya, dia tanya siapakah Yehezkiel-Yehezkiel di NTT? Saya jawab: misionaris-misionaris awal dan pahlawan-pahlawan lokal. Sesudah itu, dia tanya lagi, di Indonesia? Saya jawab: Ada Gus Dur, Sukarno, Hatta, Soetan Sjahrir, Uskup Soegjopranoto berikut dengan segala penjelasan sekenanya. Masih tidak puas lagi, dia singgung di level Asia. Siapa di Asia? Saya jawab: Mahatma Gandhi.
Mulailah saya dengan mulut berbusa-busa menjelaskan prinsip gerakan non-violence Mahatma Gandhi, sebuah gerakan yang mengubah wajah dunia. Di sana-sani saya menyebut buku-bukunya dengan judul dan tahun penerbitan lengkap. Mengapa? Ini yang Pater Guido tidak tahu. Sebulan sebelumnya saya mendapat kiriman buku-buku Gandhi tentang non-violence dan dampaknya bagi peradaban dunia dari Pater Dami Mukese SVD yang saat itu sedang studi di Manila. Sedianya, tentang Gandhi mau dimasukkan di bagian tentang relevansi tapi karena keterbatasan space, Pater Servulus bilang, tidak usah.
Saking semangatnya saya menjelaskan Gandhi sampai-sampai Pater Guido tak sempat bertanya lagi, atau lebih tepat lupa untuk bertanya, sementara itu saya melihat Pater moderator Servulus tersenyum sambil melihat arlojinya.
Begitu tiba giliran dia, singkat: “Semua sudah dielaborasi oleh penguji utama, dari saya, satu: apa kendala terutama menjalankan restorasi Yehezkiel di tengah-tengah kemajuan dunia yang begini pesat?”
Ketika orang tidak mendengarkan suara hatinya, jawab saya
Langsung Pater Guido sambung: Betulllllll, hahahahahaha
Pater Servulus juga ikut tertawa. Tapi saya masih terheran-heran. Apa yang lucu ya, gumam saya dalam hati.
Pater Guido: Memang ada apa dengan suara hati
Suara hati adalah suara Tuhan, Pater!
Serempak keduanya tertawa dan ujian dinyatakan selesai oleh Pater Servulus dalam keadaan tertawa.
Tiga puluh tahun kemudian ketika di Hilversum, kami jalan-jalan dari rumah menuju kantor saya Radio Nederland Wereldomroep, di minggu pagi, saat itu dia balik dari kapitel general di Roma, saya iseng tanya, ‘om tuan, kenapa dulu waktu skripsi hanya tanya satu pertanyaan?”
Dia tertawa kecil: “Aeh, kalo kau sudah tahu apa yang kau tulis, untuk apa lagi saya tanya.” Sejak saat itu, saya tidak berniat sediktpun untuk bertanya lagi. Selama tiga hari di rumah, dia lebih banyak berinteraksi dengan anak saya Beatus dalam bahasa Belanda dan lebih banyak berbicara tentang hal-hal kecil yang tetek bengek.
Begitupun saat sedang duduk-duduk santai di rumah, saya bertanya tentang usaha-usaha besar di STFK Ledalero, dia jawab sekenanya dan tampaknya kurang tertarik untuk omong hal-hal besar.
Ketika dalam perjalanan pulang setelah mengantarnya ke Den Haag, dalam mobil, istri saya nyeletuk: “ ini pater Servulus sangat sederhana, tapi saya rasa ini orang besar.” Saya pun ikut membathin.
Dari semuanya ini, ingin saya katakan satu benang merahnya. Ialah dia mencinta sampai tuntas. Memang begitulah sebenar-benarnya cinta. Cinta ya cinta, katakan saja cinta. Jangan bilang ini itu, ngambek-ngembek tapi akhir-akhirnya cinta juga, fenomena gamblang peradaban zaman now yang menggilas cinta ke seolah-olah cinta.
Seindah-indahnya
Kepergiaannya dalam sunyi karena covid 19 dengan tata cara protokol kesehatan yang ketat, menjadi kritik untuk saya dan kami-kami yang masih hidup, untuk: ayo, berlomba-lombalah menjadi kecil. Siapa bilang orang kecil adalah kecil?
Kebanyakan orang kecil adalah orang besar. Mereka bukan hanya berhati tabah, bermental baja dan berperasaan terlalu sabar, tapi juga berkemampuan hidup yang luar biasa. Mereka sanggup dan rela berjualan beberapa botol air untuk penghidupan primernya. Saya dan kamu-kamu di luar sana, pasti juga sanggup berjualan seperti itu, tapi tidak rela.
Siapa bilang orang kecil adalah kecil? Orang kecil mampu menjadi kenek angkutan, menjadi satpam, menjadi tukang parkir, tukang sampah atau menjadi pembantu rumah tangga seumur hidup. Sedangkan saya, mungkin kamu-kamu, tidak mampu dan tak akan pernah bisa membuktikan bahwa kita sanggup menjadi kenek atau satpam atau pembantu rumah tangga seumur hidup.
Orang-orang kecil itu besar karena ikhlas untuk tidak boleh terlalu memikirkan harapan dan masa depan. Sementara kita selalu memamerkan harapan dan masa depan yang kita pidatokan seakan-akan berlaku untuk mereka, padahal hanya berlaku untuk kita.
Orang-orang kecil itu adalah orang-orang besar yang berjiwa besar. Mereka senantiasa siap menjalankan perintah kita dan menyesuaikan segala perilakunya dengan kehendak kita. Jadi, siapa sebenarnya orang kecil dan orang besar?
Hidup Pater Servulus, berkata: “Hey, kamu-kamu ini sejatinya orang kecil tapi kamu-kamu anggap diri orang besar. Jangan-jangan mampumu hanya jadi orang besar. Kamu tu hanya ikhlas berjiwa sosial dan dermawan kalau kamu kaya, sukses dan berkuasa. Kamu hanya sanggup menjadi pembesar. Kamu hanya sanggup memerintah dan menggantungkan diri pada orang yang kamu perintah.”
Dunia yang gegap gempita ini memang tidak nyata bagi Pater Servulus. Kalaupun dianggap nyata tapi dia tidak tertarik. Dia meninggalkan harta, kekuasaan dan segala-galanya. Dia bahagia dan khusyuk dalam kesunyian, kekecilan dan ke-tiada-apa-apa-nya di Soverdi Ruteng, melalui hal-hal kecil yang sepele: mendengarkan keluhan sesama, duduk berjam-jam syering dan berbagi, tanpa harus bersibuk-sibuk membuat jadwal dan protokol kesehatan, sambil menaburkan kasih sayang sebisa-bisanya dan sehabis-habisnya. Inilah ‘kata-seindah bunga’-nya yang tak terlupakan. Dan inilah seindah-indahnya kehidupan.
Bahagia di surga, Pater Servulus. Saya dan kami adik-adikmu di sini sedang terjerembab dalam peradaban yang sampai hari ini menjalankan salah sangka yang luar biasa terhadap keindahan. Berlagak jadi orang besar dan hebat yang disangka dengannya bisa merebut dunia dan surga dalam sekali sapuan.
***
(gnb:tmn aries:jkt:selasa 13 april ’21)
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.