Memikirkan Kontruksi Hukum Persoalan Agraria di Mabar

0

Oleh Rian Agung, S.H, Paralegal

Tilik, BULIR.ID – Ingatan dan fokus perbincangan publik seputar Manggarai Barat (Mabar), khusunya di Labuan Bajo lebih banyak berkutat pada urusan pariwisata. Sedikit sekali narasi dan penelaahan  isu hukum di angkat ke ruang publik, khusunya hukum agraria. Pada hal di balik euforia pariwisata super premium, isu agraria masih menjadi momok yang mengkhawatirkan karena rentan memicu sengketa, baik di antara sesama masyarakat, masyarakat dengan pemerintah maupun masyarakat dengan pengusaha.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN), Sofyan Djalil sekurang-kurangnya mengungkap tiga persolan mendasar benang kusut ke-agrariaan di Labuan Bajo, yaitu: sengketa tanah, administrasi pertanahan serta mafia tanah, (Kompas.com). Indikasi dan bukti yuridis pernyataan Sofyan terbukti dalam banyak kasus-dan yang paling dominan adalah kepemilikan tanah ganda  tanpa bukti hukum yang akurat oleh segelintir orang hingga kepemilikan tanah oleh asing yang mengatasnamakan warga setempat di beberapa lokasi di Labuan Bajo, (Media Indonesia).

Di sisi lain, potensi pencaplokan lahan penyangga keberlangsungan ekologi atas nama pariwisata tak pernah ditangani secara tuntas oleh otoritas terkait. Kasus alih fungsi lahan Bowosie seluas 400 ha untuk tujuan investasi pariwisata di Nggorang yang mendapat penolakan keras masyarakat menunjukkan lemahnya keberpihakan sekaligus tidak ramah lingkungannya tata kelola ke-agrariaan di Mabar. Badan Pelaksana Otorita-Labuan Bajo Flores (BPO-LBF) sebagai keterwakilan negara sekaligus pemegang kuasa pariwisata tampaknya tak pernah memikirkan persoalan ini secara serius.

Saat mengikuti kegiatan pastoral dalam rangka penguatan seksi-seksi JPIC Se-Keuskupan Ruteng di Wae Lengkas sebulan yang lalu, kami mendengarkan secara langsung kesaksian warga terkait penolakan alih fungsi lahan seluas 400 ha itu untuk proyek pariwisata. Penolakan warga sangat berkaitan dengan isu sensitif kelestarian lingkungan dan keberlanjutan hidup warga sekitar, karena ternyata, areal hutan Bowosie termasuk kawasan hutan lindung dan sumber mata air untuk kota Labuan Bajo dan sekitarnya.

Masih banyak fakta lain  yang menunjukkan rapor merah ketidakberesan tata kelola ke-agrariaan di Mabar. Puncaknya terungkap lewat penangkapan mantan Bupati Mabar, Gusti Dula karena terlibat mafia tanah. Bersama rekan-rekanya, Gusti kini mendekam dalam penjara. Ia dihukum 7 tahun penjara karena melakukan tindak pidana korupsi sebagaiman diatur dalam pasal 2 ayat (1) Jo pasal 18 undang-undang RI nomor 31 tahun 1999 tentang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001.

Sinkronisasi Peraturan

Menuntaskan persoalan agraria di Mabar tidak dapat bergantung sepenuhnya pada komitmen dan integritas moral individual dan kolektif semata. Integritas tentu saja penting tetapi di luar itu kita membutuhkan seperangkat sistem dan aturan hukum yang solid, adil dan berkepastian.

Di Indonesia, hukum agraria diatur dalam undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar-dasar pokok agraria. Di bagian ketentuan umum UU tersebut, tepatnya pada pasal 16 disebutkan jenis-jenis hak atas tanah, yakni: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan.

Selanjutnya, untuk menjamin status kepemilikan dan penguasaan lahan, di pasal 19 UU a qou di jelaskan beberapa poin berikut:

1).Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

  1. pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah;
  2. pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
  1. pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria

4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Secara garis besar UU agraria ini memang telah mengatur secara rigid hal-hal pokok ke-agrariaan. Tetapi di level daerah UU ini tidak ditindak-lanjuti dengan pembentukan peraturan daerah (Perda) sehingga hampir tidak ada sinkronisasi peraturan. Di Mabar keterbatasan perda ini diakui sendiri oleh Wamen ART/BPN, Surya Tjandra. Surya menyoroti ketidaksiapan regulasi dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di wilayah itu sehingga berbuntut panjang ke persoalan yang lain, (Kompas.com, 16/09/2021).

Kita mungkin melihat persoalan ini sebagai hal yang sepele, tetapi tanpa disadari keteledoran inilah salah satu pemicu konflik agraria yang menyeret pejabat lokal berurusan dengan hukum. Dalam rangka itu, sinkronisasi peraturan di level daerah harus dilakukan semaksimal mungkin. Kerja sama Pemerintah dalam hal ini BPN dengan DPRD, akademisi, organisasi masyarakat sipil dan komunitas adat harus dilakukan secara rutin, partisipasif dan transparan. Ini penting agar kita memiliki road map yang jelas untuk mengartikulasikan kebijakan-kebijakan strategis di daerah.

Upaya sinkronisasi itu juga harus dimaknai dengan tidak memisahkan penerapan  UU pokok agraria dengan UU nomor 4 tahun 1982 tentang lingkungan hidup (UUPLH). Ini dilakukan agar manajemen agraria tidak sebatas pada kepastian kepemilikan lahan tetapi juga menyangkut manajemen agraria yang holistik dan integral. Artinya kepemilikan lahan tidak semata-mata bersifat ekonomis (aset) tetapi juga harus ada orientasi ekologisnya. Nilai ekologi aset (tanah) terletak pada kepekaan ekstensial untuk tidak memandangnya hanya sebagai objek semata tetapi juga sebagai subjek yang harus dijaga kelestariannya demi masa depan generasi manusia.

Dalam UU agraria ditegaskan, setiap orang bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup pada lahan agraria, tetapi tidak secara tegas mengatur bagaimana tata cara menjaga dan mengolah lingkungan hidup. Itulah sebabnya sinkronisasi peraturan perlu dilakukan agar dalam penerapannya tidak tumpang tindih. Namun, alasan hukum tidak pernah boleh membuat kita apatis. Sambil menunggu penyelarasan aturan hukum, kita mesti bergerak lebih awal untuk memastikan tata kelola ke-agrarian yang holistik dan integral.

Satgas Khusus

Kalau sinkronisasi peraturan sebagai kebijakan preventif mencegah konflik agraria, maka pembentukan satuan tugas (Satgas) khusus dapat menjadi pilihan kebijakan kuratif untuk menuntaskan efek domino masalah ke-agrariaan. Bila perlu Satgas ini dikomandoi oleh Bupati sendiri bekerja sama dengan pihak kepolisian, kejaksaan, DPRD dan masyarakat sendiri.

Tugas Satgas ini adalah menghimpun dan melakukan verifikasi atas laporan masyarakat terkait dugaan skandal pencaplokan tanah dan juga perusakan lingkungan hidup oleh siapa saja termasuk oleh penguasa dan pengusaha. Selanjutnya kalau terbukti, temuan itu harus dipublikasi secara transparan dan terduga pelaku harus mendapat hukuman maksimal.

Namun sekali pun begitu, upaya hukum non litigasi (mediasi) harus tetap diupayakan dengan mengacu pada identifikasi kasus. Sebab tidak semua laporan masyarakat otomatis masalah pidana tapi kadang juga teridentifikasi sebagai masalah keperdataan yang harus ditempuh dengan upaya damai.

Sekarang kita menunggu komitmen Edy-Weng menuntaskan persoalan pelik ini di Mabar. Apalagi di awal kepemimpinannya pasangan ini berjanji untuk melakukan penataan aset Pemda untuk meminimalisir konflik kepentingan karena berebutan aset-aset strategis dan vital di daerah itu.