Karya: Budi Lengket
Cerpen, Bulir.id – Saya menyulut korek api kayu dan mengarahkan sinarnya ke liang dubur Djenar yang terpecah jingga sekejap merona. Dubur yang pernah menyaksikan dua bayi cantik lahir dari rahimnya. Tampak tumpukan limbah berjelaga lusuh dan lelah dalam sudut-sudutnya. Ampas sisa kunyahan junctfood yang asing dalam pencernaan saya. Kaleng coca cola, dunkin donut dan pizza. Sukiyaki, shabu-shabu, tom yum mie, fuyung hai dan entah apalah lagi namanya. Mungkin juga dora emon, mao zedong, mushashi atau rockefeller, semua menumpuk disana.
Saya mencintai tubuh Djenar sepenuh jiwa, cinta berlemak birahi yang menggelambir seperti perempuan dirundung obesitas. Walau di dunia nyata saya tak pernah bisa menyapa. Namun jiwanya ada di jiwa saya, menyatu dalam segala pikiran. Saya terperangkap bersama kemolekan dan gemulai tarian kata-katanya. Ia sangat berada jauh di sana. Sedang saya di sini sendiri dalam kamar tidur berteman kotak bergambar hidup bernama televisi. Membaca cerpen-cerpennya sambil memainkan alat kelamin dan saya puncratkan sperma ke atas layar kaca itu, saat wajah Djenar tampil membawakan sebuah acara (suatu waktu). Saya merasa sedang sakit jiwa. Sementara Djenar tak tahu apa kabarnya di sana.
Saya pandangi foto Djenar dari lembar tabloid harian yang saya gunting dan saya selipkan di lembar terakhir buku cerpennya (cerita pendek tentang cerita pendek). Perutnya putih dalam gambar hitam putih. Wajahnya sumringah dan ketagihan. Kedua ujung gaunnya tersimpul jelita menantang di bawah dada. Titik hitam di pusarnya mengintip. Siapa laki-laki yang menghisap-hisap pusar itu pada malam-malam rimba, saya tak berani membayangkan. Sebab keinginan untuk membunuh laki-laki yang saya bayangkan setiap malam menyetubuhinya tak kuasa saya tahan. Dan berakhir dengan sebuah vonis mati pada kelenjar-kelenjar sperma yang sia-sia. Djenar, tahukah kamu bahwa saya menderita.
Kerejap cahaya putih menyilaukan. Kelopak mata saya seketika terpejam, sebongkah pantat putih nungging di hadapan saya. Mulus padat berisi meliuk-liuk tersapu angin. Wajah Djenar diapit oleh kedua pahanya. Bibirnya tersenyum merekah. Saya terlentang dengan tubuh bersandar di atas dua bantal yang bertumpuk di dinding kamar. Halaman cerpennya menghadap ke muka saya, sedang jemari tangan masih memainkan kelamin yang selalu tegang seperti pikiran saya akhir-akhir ini. Kau berkata kenapa selalu saja begitu terhadapku. Padahal telah kuberikan ketiadaan untukmu. Saya tak bisa menjawab sebab kata-kata tak pernah bisa terucap. Kau menarik-narik jari jemari di kaki saya. Otot-otot di betis dan paha saya mengejang. Kantong kemih saya terkatung-katung penuh terisi air. Bulu-bulu meremang. Mata terkunang-kunang tak sedikitpun kenangan. Saya berteriak jangan kamu lakukan itu djenar. Tapi kamu memaksa saya untuk menjawab pertanyaan. Kenapa selalu saja begitu kepadaku. Saya tetap bertahan, walau lelah sekujur badan. Djenar, tahukah kamu saya mencari-cari di ruang-ruang kosong yang memaksa saya membeli. Tapi kamu terus membisikkan tanya, kenapa selalu saja begitu kepadaku.
Cerita panas persetubuhan di pantai itu membuat saya linglung (dalam salah satu adegan di cerpen Djenar). Debur ombaknya menyipratkan keringat dingin di sekujur badan. Membawa saya pada pergumulan malam memekatkan wajah djenar dalam kelopak mata yang terkatup rapat terpejam. Djenar, saya kerasukan cerpen-cerpenmu. Kenapa bukan cerpen seno, mungkin karena kau perempuan yang terpasung dalam ironi tubuh. Komodifikasi yang menjual segalanya. Saya tak pernah bisa menuliskan kata-kata cinta yang ingin sekali saya tuliskan. Saya tak biasa melakukannya. Tapi kenapa saat ini saya merasa dipaksa untuk mengungkapkan isi hati dengan penuh kecintaan yang luar biasa terhadap keterpesonaan saya tentang imagi tubuh dalam cerita yang kau lukiskan di bukumu. Terus terang saya tenggelam dalam hayal yang membawa terbang, sejauh mata memandang pada setiap kata yang terhampar. Hurup-hurupmu menari bagai bunga api di atas gedung yang sedang dikebut pembangunnya di malam hari. Wajahmu begitu memesonaku, duhai djenar. Serasa dekat di pipi, begitu lembut mengawang di pelupuk mata. Saya berbisik di lelembut telingamu. Surai-surai rambutmu tertiup angin mengusap hidungku. Saya ingin bercinta dalam ceritamu, lembut. Selembut suara angin yang berhembus di rongga kata-katamu. Selembut bayang tubuh yang lahir dari aura kisah sendumu. (sayup-sayup terdengar fuck me, di salah cerpenmu tentang sabun hotel)
Langit-langit di kamar saya terbelah. Cahaya berjatuhan seperti hujan deras yang datang tiba-tiba. Seperti kembang api yang tumpah. Seperti dipenuhi larik-larik kristal yang berkilauan menyilaukan mata. Seperti jarum jam yang malas berputar. Seperti detik yang lemah tak bernada. Seperti malam yang selalu sama setelah saya membaca buku cerpenmu. Seperti malam yang selalu saya rasa tak pernah berganti siang. Seperti bertahun-tahun saya tak keluar kamar. Menyendiri menahan ereksi menunggumu di batas cakrawala beku. Jiwa saya terlepas nelangsa. Djenar, tahukah kamu kemana saya harus berlari. Karena puncakmu terlalu tinggi untuk saya daki.
Dari lorong cahaya yang jatuh tersungkur di lantai kamar itu, melayang helai-helai kertas gemulai tubuhmu dibuai angin. Bulu-bulu halus di riap rimbun sayapmu itu, putihnya memendarkan kemilau yang terpecah efek krayon pada setiap tepian. Pikiran bersemayam. Mulut saya menganga, kerenyit garis-garis di dahi menebal, rahangnya kaku sampai tak kuasa kukatup. Bola matamu menatap kekosongan menawan saya dalam karya foto darwis menghipnotis sekujur tubuh saya yang kelimpungan diserang badai igau yang datang terbata-bata. Tubuhmu perlahan mengahampiri saya. Djenar kembali dengan cinta, (begitu kata-kata dalam resensi di tabloid harian ibu kota) Begitu telanjang. Jembut halus yang menghitam di sudut itu bagai lorong tak bertepi. Semakin mendekat. Lorong hitam itu mengaurakan rona mistis dalam kejenuhan dunia narasi. Lorong purba tempat lahirnya sangkala. Menarik jiwa saya yang lunglai terbawa masuk dalam senyap vagina. Sepi mengendap-endap, menyeret dingin berselimut angin. Djenar, guratkan tubuhku dalam cerita cintamu meski saya tak perlu mengerti.
Buah dada yang matang di ambang pelupuk mata menengadah seperti doa yang mengharap kesuburan, kelembutan yang menawarkan kehidupan. Bola mata saya tak berkedip tersumpal puting susumu, bulu matanya mengusap kulit yang begitu lembut, menghalangi keutuhan panorama indah tubuhmu. Inikah yang kamu mau. Katamu, pikirku. Kenapa selalu saja begitu kepadaku. Tahukah kamu, saya tidak suka dibegitukan olehmu. Tidak djenar, saya hanya membisu. Harum wangi tubuhmu berjejal dalam hidungku. Nafasku tersekat. Perlahan kujilati setiap lekuk aura kata-katamu dalam sekujur denyut nafas ceritamu, sedang jemari tanganmu mencengkeram kuat penisku dan memecut-mecut ke punggungku yang ringkih. Menggaris-garis merah tampak seperti masuk angin sehabis dikerik. Namun saya tidak sedang masuk angin. Saya menjerit. Wajahmu begitu bengis. Celetar pecutanmu membuat kepala penisku pecah terurai bagai rumput yang menari terbawa riak air sungai yang mengalir pada gejolak riam di jiwa, terburai. Surai-surainya menggelepar. Djenar, apa bisa kamu setubuhi jiwaku dalam kata-katamu. Kamu membentak saya yang mulai meringis histeris. Histeria kekanakan tubuh seorang dewasa. Kenapa selalu saja begitu kepadaku. (Lagi-lagi suara terdengar di telingaku)
Tenggorokan ini perih, Djenar. Saya haus atau mungkin juga ‘raush’ kata heidegger ketika mengomentari Niethzche. Berikan susumu yang tersembunyi di ruang bawah sadarku. Biarkan saya reguk sepuasnya. Tubuh yang terluka ini direndam perasan jeruk nipis yang kau suguhkan dalam cawan putih kata-katamu, kenapa selalu saja begitu terhadapku, lagi kupikir, katamu begitu. Saya tak menghiraukan kata-katamu dengan jawaban membisu. Sebab saya bahagia dalam gulita yang mencekam, dalam cengkeraman maya kata-kata.
Senyummu setangkup sampan di atas lautan hening tak bergelombang. Mengayuh kata-kata dalam degub jantung terkurung torax bagai jeruji yang lembab dan angker, memnjara paru-paru yang semakin keropos. Tapi djenar, sungguh saya terpenjara dalam ceritamu. Binar matamu sendu terjatuh lunglai di tepi pantai setelah tiga malam menapaki cinta perberontakan dalam buku cerpenmu. Kamu jangan pulang, tinggalah disini bersamaku. Tapi kamu bilang kenapa selalu saja begitu terhadapku. Saya hanya ingin berdua dalam galau yang kamu usapkan pada setiap kata di atas kanvas kisah sendumu. Dalam pelataran remang kamar tidurku.
Halaman akhir buku cerpenmu sebentar lantak saya habisi. Energi yang tertumpah sudah tak tersisa lagi. Namun lenganmu menarik saya untuk mengulang cerita dari yang pertama kali. Padahal saya pandangi tubuhmu tampak begitu lelah dalam catatan dini hari. Mencoba tetap berdiri diatas kaki panjangmu. Berputar-putar limbung memaksa saya mengikuti gerakan tubuhmu. Kedua lenganmu terentang. Rambut hitammu basah jatuh terurai. Menetaskan bulir-bulir keringat di punggungku. Badan saya tengkurap menelisik setiap kata dalam bukumu. Kamu berdiri di atas kedua kaki langsing yang merapat. Bersijingkat mengajak saya terbang. Sepasang buah betismu mengencang. Saya pandangi semua itu dengan mata lelah terpejam. Mencoba menepis angin namun tak kuasa. Saya menghirau. Kedua tangan djenar menarik-narik penisku yang sudah terdiam tak lagi tegang. Seperti karet timba yang tersangkut di atas lori, mengerek tubuh saya yang lunglai dari dasar sumur kegelapan. Saya mau marah, tapi kata-katamu masih gelisah. Saya bangkit dan mengangkangi kisahmu yang sedang disetubuhi orang. Berganti-ganti dengan lelaki lain. Saya bilang kamu lonte. Dan kamu menyahut jenaka, kenapa selalu saja begitu kepadaku.
Saya berdiri menyembunyikan api cemburu di balik bokongmu. Berapa kali kamu mengintimidasi saya sepanjang malam ini. Saya tak rela terus dibohongi kisah risau yang kamu kemas dalam fantasi. Kamu lonte yang terus berganti pasangan pada dini hari di akhir ceritamu. Tubuhmu ditelanjangi ribuan pasang mata yang menatap lembar-lembar halaman buku cerpenmu. Menyibak labia mencongkel klitoris. Seraya menghirup cairan ejakulasi yang meleleh di celah-celah lereng curam vaginamu. Saya tersungkur jatuh dan kamu pun terkulai layu. Sudahlah, djenar. Kita akhiri saja percumbuan liar malam ini. Saya angkat tubuh telanjangmu dengan kedua tangan saya dan menghantarmu sampai ke depan pintu. Lenganmu melingkar di leherku, menolak untuk kutaruh. kenapa selalu saja begitu kepadaku. Di bawah langit hitam saya serahkan tubuhmu pada rembulan yang cemburu karena dirinya telah dimadu manusia bumi yang tak mengidamkan keindahanya lagi. Sebab segalanya telah ada di bumi ini. Segalanya tak pernah terjadi di atas bumi ini. Selebihnya adalah ruang kosong tak bertepi. Apa mesti saya ulangi lagi?*
Sumber: https://normantis.com/2016/03/23/cerpen-fantasi-seks-nihilmus-erektus-budi-lengket/