BULIR.ID, Irak – Pemimpin Gereja Katolik Roma, Paus Fransikus mengunjungi kediaman Ayatollah Agung Ali al-Sistani ulama Syiah Irak yang paling berpengaruh untuk menghadiri pertemuan di kota suci Najaf. Beberapa jam kemudian, dia memimpin sebuah panggung yang penuh dengan para pemimpin agama di Dataran Ur yang berangin kencang, sebuah hamparan luas dan, sekarang gersang, di mana umat beriman percaya Tuhan mengungkapkan dirinya kepada Nabi Abrahim, patriark dari agama Yahudi, Kristen dan Muslim.
“Tempat yang diberkati ini membawa kita kembali ke asal kita,” kata Fransiskus, menambahkan. “Sepertinya kami telah kembali ke rumah.”Paus Fransiskus berusaha membangun dialog antara Gereja Katolik Roma dan dunia Muslim, sebuah misi yang merupakan tema sentral dalam misi apostolik dan perjalanan bersejarahnya ke Irak.
Pada pertemuan tersebut, Fransiskus berpendapat bahwa “penghujatan terbesar adalah mencemarkan nama Tuhan dengan membenci saudara dan saudari kita. Permusuhan, ekstremisme dan kekerasan tidak lahir dari hati yang religius: mereka adalah pengkhianat terhadap agama,” tambahnya. “Kami orang beriman tidak bisa diam ketika terorisme melanggar agama; memang, kami dipanggil dengan jelas untuk menghilangkan semua kesalahpahaman. ”
Sabtu malam 6/3/2021, Paus Fransiskus menyampaikan khotbah di katedral Katolik Khaldea di Baghdad, mengangkat tema serupa tentang kebaikan bersama. “Cinta adalah kekuatan kami,” katanya kepada jemaat yang hadir, dan saat dia berjalan keluar dari katedral orang-orang meneriakkan, “Viva, viva Papa!”
Kardinal Louis Raphael I Sako menyebut kunjungan paus sebagai “titik balik dalam hubungan Kristen-Muslim”. Pada 2019 di Abu Dhabi, Fransiskus menandatangani deklarasi bersama tentang persaudaraan manusia dengan para pemimpin Sunni dari Universitas Al-Azhar dan Masjid di Kairo, salah satu pusat utama pembelajaran Islam Sunni.
Vatikan, dalam pernyataannya tentang pertemuan itu, mengatakan paus telah berterima kasih kepada ulama itu “karena telah berbicara – bersama dengan komunitas Syiah – dalam membela mereka yang paling rentan dan teraniaya di tengah kekerasan dan kesulitan besar.”
Pertemuan kedua pemuka agama tersebut berlangsung lebih lama dari yang diperkirakan. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh kantor Ayatollah Sistani mengatakan ulama tersebut telah menekankan bahwa warga Kristen berhak untuk “hidup seperti semua warga Irak dalam keamanan dan perdamaian dan dengan hak konstitusional penuh.”*
Djanuard Lj