Oleh: Djanuard Lj*
UTAMA, Bulir.id – Sebuah film pendek garapan Fram Maget dengan judul “Hama Telo” menarik untuk ditonton. Film ini mengulik realitas perkawinan adat masyarakat Maumere yang mereduksi nilai kemanusiaan mempelai wanita.
Dalam tradisi perkawinan masyarakat Maumere dikenal dengan sebuah ritus Hama Telo. Praktik ini lazim terjadi di tataran masyarakat yang masih mempertahankan adat yang cukup ketat.
Ritus Hama Telo (injak telur) terjadi ketika belis (mahar kawin) seorang mempelai wanita dibayar lunas oleh mempelai pria. Akibatnya, keluarga mempelai wanita tidak memiliki hak lagi atas mempelai wanita tersebut. Semacam ada keterputusan hubungan kekeluargaan, sebab dianggap sudah lunas dibeli dengan seperangkat mahar oleh mempelai pria.
Sejatinya, Maget ingin menggugat kemapanan tradisi yang sudah mengakar berabad-abad lamanya. Sekaligus sebagai seorang imam, ia ingin menyerukan suara kenabiannya melalui media sosial untuk bisa ditangkap dan ditinjau kembali oleh generasi muda.
Di banyak tradisi paternialistik, dominasi pria sangat dominan. Hal ini pun ditunjukkan pada filim pendek tersebut. Di Mesir, kita bisa dapat menemukannya melalui tulisan Nawel el Shadawi, dalam “Women at Point Zero”.
Gerakan feminisme di Eropa dan Amerika serta di tanah air misalnya, Pramoedia Anan Tatoer dalam tetralogi dari “Bumi Manusia hingga Rumah Kaca”. Semua risalah yang disebutkan di atas mengulik dominasi pria terhadap wanita, sehingga menempatkan wanita sebagai makhluk kelas dua setelah pria.
Kesemua penegasian terhadap martabat wanita tersebut menimbulkan perlawanan. Ini yang dilakukan oleh Fram Maget melalui BLK Seminari Bunda Segala Bangsa. Dia ingin melawan kemapanan tradisi yang sudah berurat akar.
Hama Telo merupakan sebuah praktik penegasian terhadap martabat manusia terutama wanita sebab dengan sengaja menjual mempelai wanita, meski dibalut dalam perkawinan adat. Praktik semacam ini merupakan bentuk human trafficking yang dilegalkan oleh lembaga adat.
Hal itu dipertegas dalam dialog dalam film tersebut. Begini kutipan percakapan: Cukup ingat, sudah jadi milik orang, belis kita sudah terima. Kita tidak ada hak lagi. Kita sudah kehilangan dia. Dia bukan anak kita lagi. Kalimat tersebut mau menunjukkan bahwa keluarga mempelai wanita tak memiliki hak dalam sistem kekerabatan. Hubungan kekerabatan pun harus putus akibat mahar yang dianggap sudah dibayar lunas oleh mempelai pria.
Hanya karena mahar kawin, keluarga seakan menjual mempelai wanita. Keluarga seakan tidak memikirkan perasaan mempelai wanita. Sebab yang ada dibenak mereka hanyalah logika transaksional, soal materi dan seberapa untung mempelai perempuan dalam menerima mahar.
Sejatinya, jika kita kembali pada esensi pernikahan adat dengan transaksi sejumlah besar mahar (belis) kita akan menemukan dua makna, yakni makna lunak dan ketat. Sebab dalam praktiknya, penentuan mahar kawin telah mengalami bias makna.
Mahar (belis) dalam Makna Lunak
Seperti yang dikemukan oleh sang ibu mempelai wanita dalam video pendek tersebut. Sang ibu dengan tegas mengatakan bahwa belis merupakan tanda penghargaan pria terhadap wanita. Du’a naha nora lin, la’i naha nora welin.
Ini yang mau digugat oleh Maget, bahwa kita perlu kembali pada esensi asali belis. Sejatinya, kita perlu kembali pada makna asali belis yakni sebagai bentuk penghargaan terhadap martabat manusia. Bukan sebaliknya, memanfaatkan belis sebagai sarana meraup keuntungan dengan mengorbankan nasib mempelai wanita.
Pada frasa “Dua naha nora lin, la”i naha nora welin”, menunjukkan bahwa baik pria mau pun wanita memiliki martabat yang sama. Tak ada yang lebih superior dari yang lainnya. Sebab semua manusia diciptakan sama derajatnya. Oleh karena itu, belis semata sebagai bentuk penghargaan terhadap mempelai wanita, bahwa wanita memiliki martabat yang perlu dilindungi dan dihargai oleh siapa pun.
Mahar (belis) dalam Makna Ketat
Kita menemukan hal tersebut sebagaimana dalam percakapan mempelai pria dan wanita. Mempelai pria mempersoalkan bahwa semua mahar sudah dibayar lunas sehingga tak layak mempelai wanita mengingat keluarganya.
Pernyataan ini sesungguhnya sangat bias makna dan menyesatkan. Sebab pada dasarnya, sebagaimana sudah disampaikan di atas bahwa belis/mahar hanya sekedar sarana penghargaan terhadap wanita. Lebih dari itu, kemanusiaan baik wanita maupun pria tak bisa diukur oleh mahar/belis.
Belis yang diberikan kepada mempelai wanita seringkali dianggap sebagai bentuk transaksi jual beli sebagaimana dalam pasar. Apa yang diminta mempelai wanita, harus dipenuhi. Ini merupakan pasar gelap yang dilegalkan oleh lembaga adat yang terus menerus mempraktikkan sebagaimana dalam human trafficking.
Pada makna ketat ini, tak ada kata kompromi bagi mempelai pria akibat tuntutan mahar dari mempelai wanita yang terkadang tak masuk di akal. Seakan dipaksakan untuk menyanggupi seperangkat belis yang diminta sehingga pada akhirnya mempelai wanita diperlakukan sebagaimana budak oleh keluarga pria.
Belis atau mahar merupakan kehormatam keluarga. Menetapkan mahar yang terlampau besar dan sebaliknya memberikan semua permintan mempelai juga merupakan suatu kehormatan. Alih-alih melindungi martabat keluarga, keluarga mempelai akan melakukan apa saja termasuk membayar lunas mahar yang diminta demi menjaga kehormatan keluarga.
Tradisi tersebut sudah menjadi konsensus bagi masyarakat, sehingga implikasinya terhadap wanita dan pria dipandang sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Ketika pihak pria menjadi subjek pemberi, di saat itu lah ia memiliki modal simbolik yang tidak terbantahkan lagi karena dilegitimasi secara sosial dan kultural oleh mekanisme adat sehingga akan menciptakan praktik kuasa yang mendominasi subjek perempuan.
Filim Hama Telo tidak hendak menyampaikan penderitaan perempuan setelah pernikahan karena pihak suami sudah merasa ‘membelinya’. Lebih dari itu, ingin menggugat kemapanan dan meluruskan tradisi yang sudah lama dibelokan oleh segelintir orang yang menggunakan belis sebagai sarana transaksional.
Hama Telo ingin mengembalikan makna asali dari belis bahwa belis itu sebagai simbol penghargaan terhadap martabat pria dan wanita. Tidak melulu wanita tetapi juga kedua mempelai. Du’a nah nora lin, la’i naha nora welin.*
*Djanuard Lj merupakan alumnus Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
