Oleh: Sil Joni*)
Tilik, BULIR.ID – Aula kognisi publik ‘terlampau sempit’ dalam membendung terjangan tsunami informasi saat ini. Masalah utama kita bukan lagi soal ‘terbatasnya stok berita dan akses yang kurang merata, tetapi kondisi surplus informasi. Informasi yang melimpah-ruah tentu berpotensi mengaburkan ‘kebenaran faktual’ yang hendak digotong oleh pelbagai ‘media berita’.
Karena itu, kita mesti menjadi ‘konsumen berita’ yang kritis dengan selalu ‘menaruh curiga’ terhadap informasi yang berserakan dalam ruang publik digital. Mengapa? Realitas tekstual merupakan konstruksi imajinasi intelektual para produsen berita untuk melayani interes tertentu seperti pemenuhan selera pasar dan hasrat para pemilik kuasa. Teks berita itu sudah terkontaminasi unsur subyektivitas dan intensi politik parsial dari media yang mewartakannya.
Pola kerja jurnalisme media alternatif seperti media sosial dan media on line, relatif berbeda dengan pakem kerja media mainstream. Salah satu yang mencolok adalah media on line cenderung memperhatikan kecepatan berproduksi ketimbang akurasi. Jurnalisme presisi rasanya belum diterapkan secara konsisten oleh para pengelola media dalam jaringan (daring).
Disinyalir bahwa unsur hoax, fake news, kebohongan, pengkultusan terhadap sensasi ketimbang substansi, masih ‘dipuja’ oleh sebagian media dalam menjajakan berita. Untuk itu, publik pembaca mesti ‘menunda’ keterpersonaan terhadap kebenaran berita yang diekspos secara massif dalam aneka kanal. Bersikap ‘ragu atau tidak percaya’ terhadap sebuah berita menjadi etos pembacaan yang rasional.
Spiritualitas Thomas
Kisah ‘ketidakpercayaan’ Rasul Thomas terhadap informasi ‘kehadiran Tuhan Yesus yang bangkit’ seturut warta biblis, bisa menjadi salah satu rujukan dalam menerapkan ‘spiritualitas keraguan’ mengunyah pelbagai berita saat ini. Thomas anak Didimus itu sangat tidak yakin bahwa Yesus yang mati disalib itu, datang menampakkan diri kepada para Murid.
Rekan keduabelasan, Yohanes melukiskan ‘momen ketidakpercayaan’ Thomas itu dalam kitab yang ditulisnya, yaitu: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya,” (Bdk Yoh 20:25).
Boleh jadi pemberitahuan rasul-rasul yang lain bahwa Yesus datang menampakkan diri sebagai hoaks, alias kabar bohong belaka. Sebuah kejadian dikatakan benar dan layak untuk dipercayai ketika detail kisah itu bisa diverikasi secara empiris. Thomas tak punya alasan yang cukup untuk mempercayai berita itu sebelum ia melihat dan meraba langsung subyek berita itu.
Keraguan dan tantangan yang diberikan Thomas ternyata direspons secara sangat simpatik oleh Kristus sendiri. Kita tahu bahwa menyitir Injil Yohanes lagi, delapan hari kemudian, Yesus hadir lagi meluluskan permintaan Thomas. Ia mendatangi dan berkata, “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.” (Bdk. Yoh 20:27)
Sikap Thomas ini, hemat saya, dalam setting peradaban yang ditandai oleh pluralitas dan berjubelnya informasi, bukan sesuatu yang negatif. Justru sikap ‘tidak mudah percaya’ ini bisa menjadi panduan bagi kita dalam menyikapi informasi yang berseliweran dalam ruang publik.
Hari ini, Minggu (11/4/2021), Gereja merayakan Pesta Kerahiman Ilahi. Cerita tentang ‘ketidakpercayaan Thomas’ dalam Injil Yohanes diperdengarkan kepada ‘umat Tuhan’. Pertanyaannya adalah apa korelasi antara dimensi Kerahiman Ilahi dengan penonjolan sikap tidak percaya dari rasul Thomas ini?
Tulisan ini tidak berpretensi menjawab pertanyaan teologis itu. Saya hanya berusaha menginterpretasikan secara positif tentang ‘kehandalan Thomas’ itu.
Bagi saya, Thomas bukanlah contoh buruk hanya karena dia tidak mudah percaya. Saya berpikir, Thomas justru sangat jujur dengan dirinya sendiri. Sulit rasanya mempercayai ‘cerita’ penampakkan Tuhan itu. Masalahnya, Thomas tidak ada di tempat kejadian. Cerita para murid yang lain tentu tidak memuaskan bagi dirinya. Andaikan ia ada bersama kawan-kawan lainnya saat Yesus datang, barangkali Thomas ceritanya lain.
Sikap tidak mudah percaya ini, dalam level tertentu bisa dihayati oleh sebagian orang. Kita bisa bertanya balik seandainya ada salah satu murid yang tidak melihat Yesus waktu itu, apakah ia langsung percaya saja atau jangan-jangan seperti Thomas yang tidak percaya? Kita tidak tahu pasti.
Sikap Thomas ‘berubah total’ pasca mengalami secara langsung peristiwa penampakan itu. Kabar dari rekan-rekannya diuji kebenarannya secara faktual. Thomas tidak mau ceroboh dalam mengambil sikap. Prinsip hidup seperti ini, hemat saya, amat diperlukan untuk dijadikan contoh di jaman yang dibombardir dengan arus informasi yang mengalir deras.
Sangat penting bagi kita untuk ‘tidak telan mentah-mentah’ sajian berita dari aneka media itu. Berita yang disiarkan oleh satu media perlu diuji validitas dan kesahihan kebenarannya. Pengujian itu bertujuan untuk menghindari fatalisme dalam menentukan posisi. Di jaman ini, dimana informasi bisa diakses dengan begitu mudahnya, kebenaran kabar menjadi sesuatu yang mahal! Begitu banyak kabar kabur alias hoax yang berkeliaran di sekitar kita.
Ada banyak contoh kasus tentang ‘berita setengah matang’ yang beredar di ruang politik lokal kita. Kita tidak bisa menjadikan berita di media sebagai rujukan primer dalam menilai sesuatu. Kabar tentang pemimpin politik yang ‘melakukan kesalahan politik’ mesti dicek kebenarannya. Demikian juga berita-berita lain yang bersinggungan dengan kepentingan bersama.
Sikap seperti Thomas untuk mencerna kabar-kabar seperti itu amat dibutuhkan. Dalam prakteknya kita bisa melakukan pembuktian melalui mencari informasi lain sebagai perbandingan, mempelajari secara sungguh-sungguh kemudian berkeputusan apakah berita yang kita dengar itu benar atau tidak. Hoax atau tidak.
Jadi, tentu bukannya kita tidak mau percaya, tetapi kita harus berhati-hati dan selektif sebelum akhirnya kita percaya. Karena jangan sampai karena kita terlalu mudah percaya maka kita rentan dikibuli. Rasul Thomas memberikan contoh bagaimana semestinya menanggapi dan menghadapi berita yang masih simpang siur kebenarannya.
Kita tidak ingin menjadi ‘korban’ dari kegesitan media memanipulasi persepsi publik. Jauh sebelum hemeneutika kecurigaan digagas oleh para filsuf, salah satu rasul Kristus, Thomas sudah menerapkan pola interpretasi berbasis kecurigaan itu.
*Sil Joni adalah pemerhati masalah sosial dan politik. Saat ini Ia tinggal di Labuan Bajo.
Catatan Redaksi: Opini pada kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis, tidak mewakili pandangan redaksi Bulir.id.