USA, BULIR.ID – Northern Illinois University mengadakan Program on Government and Parliament Empowerment and Training. Kegiatan yang berlangsung selama satu minggu ini mengundang Direktur Politeknik STIA LAN Jakarta, Prof. Dr. Nurliah Nurdin, MA., menjadi panelis sekaligus narasumber pada program pelatihan tersebut.
Undangan yang diterima dari Associate Professor of History College of Liberal Arts and Science Northern Illinois University ini disambut baik oleh Prof. Nurliah dengan mengajukan izin cuti untuk memenuhi undangan yang dinilai berdampak dan bermanfaat untuk keberlanjutan kolaborasi antara Northern Illinois University dengan Politeknik STIA LAN Jakarta.
Prof. Dr. Nurliah Nurdin, MA., yang merupakan alumni Northern Illinois University mengatakan cukup senang bisa diundang kembali untuk membagikan materi berjudul Comparative Analysis of Public Administration Insights of the USA and Indonesia. Sharing session ini dihadiri oleh 18 peserta dari Sekretariat DPR, anggota fakultas NIU, anggota parlemen lokal dari Illinois, manajer publik, civitas akademika, beberapa stakeholders dan masyarakat DeKalb. Selain sharing session, Prof. Nurliah juga melakukan inisiasi jejaring riset kolaborasi antar kampus.
Program Training yang diselenggarakan oleh Northern Illinois University dimulai tanggal 9 Desember 2024 sampai dengan 16 Desember 2024 telah memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang politik dan administrasi publik.
Dengan menghadirkan Prof. Dr. Nurliah Nurdin, MA, sebagai panelis, acara ini berhasil menginspirasi peserta dari berbagai institusi, termasuk Sekretariat DPR dan Mahasiswa Program Studi Magister dan Program Studi Doktor dari Kampus NIU itu sendiri.
Diminta memberikan insight tentang administrasi publik, Prof. Nurliah mengutarakan gambaran bahwa kedua negara ini telah menganut teori administrasi publik modern seperti New Public Management (NPM), tata kelola nilai publik, dan tata kelola kolaboratif. Namun, sejauh mana teori-teori ini berhasil diimplementasikan bervariasi karena kapasitas kelembagaan dan lingkungan politik yang berbeda.
Melalui paparan yang mendalam dan interaktif, Prof. Nurliah memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai perbandingan Administrasi Publik yang diterapkan pada pemerintahan USA dan di Indonesia. Dimensi perbandingannya adalah transparansi, akuntabilitas, hukum yang berlaku, paritisipasi masyarakat, efisiensi, desentralisasi, dan kontrol korupsi di kedua negara tersebut.
Selanjutnya, Prof. Nurliah mengemukakan perbandingan dari sisi Sekretariat Parlemen dalam melaksanakan kewajiban dan kebijakan. Dimensi ukurnya adalah peran pemerintah, partisipasi masyarakat, transparansi dalam proses legislatif, akses publik, mekanisme akuntabilitas, public hearings, peran legislatif, dan engagement with civil society. Prof. Nurliah juga menyampaikan perbedaan dan kesamaan kewajiban Sekretariat Parlemen di Indonesia dan di USA.
Kesamaan yang disebutkan antara lain adalah support legislative operations, public hearings dan public access to information. Dimana kedua negara ini sama-sama memiliki tujuan untuk mendorong partisipasi publik dan memastikan akuntabilitas. Sedangkan untuk perbedaannya terdapat pada scope of public participation, accountability mechanisms, technology access, dan civil society influence, untuk perbedaan ini USA lebih baik dalam sisi teknologi dan organisasi sosial yang dimiliki memberikan pengaruh lebih dalam membentuk legislasi, sementara itu di Indonesia masih mengembangkan platform digital dan keterbatasan informasi di beberapa daerah terutama di daerah desa.
Prof. Nurliah Nurdin juga menjelaskan tentang krisis manajemen administrasi publik yang dihadapi pemerintah dan birokrasi di Indonesia dan USA. Pemerintah indonesia telah memasukkan strategi pengurangan resiko bencana yang lebih sistematis, dengan melibatkan masyarakat dan lembaga setempat dalam manajemen krisis.
Untuk Amerika, pemerintahnya melakukan kolaborasi dengan perusahaan swasta dan LSM selama manajemen krisis dengan mengintegrasikan pendekatan multisektoral untuk meningkatkan waktu respons dan mobilisasi sumber daya. “Program-program di dalam Administrasi Publik harus include juga kebijakan dan anggarannya, agar lebih efektif dan maksimum untuk rakyat,” ujar Prof. Nurliah di tengah penjelasannya.
Mengakhiri paparannya, Prof. Nurliah menyimpulkan tantangan administrasi publik di Indonesia dan USA. Menurutnya, meskipun ada upaya reformasi, tantangan tetap ada dalam manajemen sumber daya manusia, birokrasi yang berbelit-belit, dan akuntabilitas politik. Pemerintah daerah terkadang tidak memiliki kapasitas untuk mengelola kewenangan yang terdesentralisasi secara efektif.
Di USA, tantangan administrasi publiknya berupa polarisasi politik, defisit anggaran, dan perdebatan tentang peran pemerintah. Ada juga kekhawatiran tentang meningkatnya pengaruh kelompok kepentingan khusus dan lobi perusahaan. Meskipun Indonesia dan AS memiliki komitmen yang sama untuk meningkatkan administrasi publik, pendekatan mereka dipengaruhi oleh struktur politik, konteks historis, dan tingkat desentralisasi yang berbeda.
AS diuntungkan oleh sistem federal yang memungkinkan fleksibilitas dan inovasi di tingkat negara bagian, sementara sistem Indonesia lebih tersentralisasi terus menghadapi tantangan dengan desentralisasi dan korupsi.
Hasil sharing knowledge yang disampaikan oleh Prof. Nurliah mengenai Comparative Public Administration Insights diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitian lebih lanjut dan pengembangan kebijakan di masa depan khususnya melalui administrasi publik. Selain menjadi panelis, Prof. Nurliah juga ikut hadir dalam Supervisor Training on Parliamentary Session, serta melakukan inisiasi jejaring riset kolaborasi antar kampus Northern Illinois University dengan Politeknik STIA LAN Jakarta.