Tabur, BULIR.ID – Kuasa hukum Hasim Sukamto, Henrius Nani, SH. angkat bicara terkait langkah hukum yang diambil Melliana Susilo terhadap kliennya, Hasim Sukamto terkait gugatan pembatalan akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Henrius Nani menegaskan bahwa Melliana Susilo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak dalam melakukan gugatan pembatalan SKMHT. Meskipun, ungkap Henri, nama Melliana Susilo tercantum di dalam SKMHT dan menandatangani SKMHT tersebut terkait dua asset PT Hasdi Mustika Utama (HMU) yang dijaminkan di Bank CIMB Niaga.
“Dalam gugatan pembatalan SKMHT yang terdaftar dalam Perkara No. 439/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Utr. yang diajukan Ibu Melliana Susilo selaku Penggugat, terdapat beberapa alasan yuridis sehingga Penggugat tidak dapat membatalkan SKMHT,” kata Henri
selaku kuasa hukum dari Tergugat I, II, III, IV dalam gugatan pembatalan akta SKMHT di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang berlangsung pada 9 Agustus 2020 lalu.
Hal itu didasarkan pada beberapa pertimbangan pertama, tegas Henri, Penggugat bukanlah pemilik atas kedua aset yang dijaminkan di Bank CIMB Niaga. Sebab pemilik dari kedua aset yang dijaminkan di Bank CIMB Niaga adalah Tergugat I yakni PT Hasdi Mustika Utama yang sertifikatnya masih atas nama Tergugat II dan Tergugat III. Jadi bukan Penggugat (Melliana Susilo-red).
“Keikutsertaan dirinya dalam menandatangani SKMHT lebih didasari oleh kedudukannya sebagai istri dari Tergugat II. Sehingga Penggugat ditarik sebagai pihak yang turut memberikan persetujuan dalam penerbitan SKMHT,” jelas Henri.
Kedua, Henri menambahkan, seharusnya pihak yang paling berkepentingan dengan keberadaan SKMHT adalah Tergugat V, yakni Bank CIMB Niaga.
Hal ini, terang Henri, didasari oleh fakta hukum bahwa Tergugat V merupakan salah satu pihak yang menandatangani perjanjian kredit tanggal 27 Desember 2017 lalu, yang mana perjanjian tersebut menjadi perjanjian pokok antara Tergugat I dan Tergugat V.
Dimana, pungkasnya, Tergugat V ingin mendapatkan kepastian hukum mengenai status kedua aset yang dijaminkan oleh Tergugat I, agar uang yang dicairkannya dijamin perlindungannya dari aspek kerugian.
“Sementara kedudukan hukum Penggugat bukan sebagai pihak yang menandatangani perjanjian pokok dan bukan pula sebagai pihak yang memberikan hak tanggungan,” tegasnya kepada awak media di PN Jakarta Utara (09/08).
Ketiga, Penggugat tidak mengalami kerugian materil terkait aset yang dijaminkan karena aset yang dijaminkan bukan harta gono gini melainkan aset milik perusahaan.
“Dengan demkian Penggugat tidak dapat membatalkan SKMHT atas dasar statusnya sebagai istri sah dari Tergugat II,” terang Henri.
Selain itu, Henri menggarisbawahi bahwa antara Penggugat dan Tergugat II masih terikat dengan perkawinan yang sah, dimana Penggugat dan Tergugat II tidak memiliki perjanjian pemisahan harta.
Sehingga, Henri menyimpulkan, sesuai dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Penggugat dan Tergugat dianggap sebagai satu pihak. Jika Penggugat ingin melakukan perbuatan hukum maka Penggugat harus meminta persetujuan Tergugat II.
“Apalagi aset yang dijaminkan di Bank CIMB Niaga bukan harta pribadi Tergugat II melainkan aset milik Tergugat I. Dengan demikian, Penggugat sama sekali tidak mengalami kerugian materil,” imbunya.
Lebih lanjut, sambung Henri, perjanjian kredit tanggal 27 Desember 2017 adalah perjanjian take over (pengalihan) dari Bank Commonwealth ke Bank CIMB Niaga.
Dalam perjanjian kredit antara Tergugat I dan Bank Commonwealth, Penggugat menyatakan setuju, dimana aset yang dijaminkan di Bank Commonwealth sama dengan aset yang dijaminkan di Bank CIMB Niaga.
Memang secara formal, tutur Henri, dibuat suatu perjanjian baru antara Tergugat I dan Tergugat V. Namun secara materil, persetujuan dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan Tergugat I menjadi dasar diterimanya proses take over oleh Tergugat V.
Hal itu bisa dilihat dari beberapa fakta hukum yakni perjanjian antara Tergugat I dan Bank Commonwealth dilampiri pada perjanjian baru antara Tergugat I dan Bank CIMB Niaga. Kemudian pihak yang membayar utang Tergugat I di Bank Commonwealth adalah Tergugat V (Bank CIMB Niaga).
Sebelumnya, Henri menuturkan, kedua aset tersebut sudah pernah juga dijaminkan di bank lain selama belasan tahun dalam status sebagai aset perusahaan, tetapi Penggugat setuju menjaminkannya dan tidak pernah mengajukan gugatan pembatalan SKMHT terkait penjaminan kedua asset tersebut di bank.
“Mengapa Penggugat sekarang mengajukan gugatan pembatalan SKMHT ketika Tergugat I mengalihkan kreditnya ke Bank CIMB Niaga?” tanya Henri sebagaimana dikutip dari Harapan Rakyat.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam gugatannya tanggal 19 Agustus 2020 lalu, Penggugat memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk membatalkan Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggugan (SKMHT), Akta Pemberian Hak Tanggugan dan Sertifikat Hak Tanggungan.
Adapun alasan hukum gugatan Penggugat adalah fakta bahwa SKMHT No. 63/2017 dan SKMHT No. 64/2017 mengandung cacat hukum, tidak sah sehingga batal demi hukum. Dalam gugatannya, Penggugat menggunakan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai sahnya perjanjian sebagai dasar hukum.
Menurut Penggugat, Akta SKMHT No. 63/2017 dan Akta SKMHT No.64/2017 adalah cacat hukum karena Penggugat tidak menandatangani kedua akta tersebut. Kalaupun terdapat tanda tangan pada kedua akta tersebut, namun tanda tangan tersebut bukan tanda tangan Penggugat.
Oleh karenanya, Akta SKMHT No. 63/2017 dan Akta SKMHT No. 64/2017 cacat hukum. Maka APHT dan Sertifikat Hak Tanggungan dari kedua aset yang dijaminkan Tergugat I di Bank CIMB Niaga adalah cacat hukum.
Dalam gugatannya, Penggugat meminta kepada majelis hakim yang mengadili perkara No. 439/Pdt.G/2020/PN.Jkt.Utr. untuk membatalkan Akta SKMHT, APHT dan Sertifikat Hak Tanggungan terkait kedua aset yang dijaminkan di Bank CIMB Niaga.
Dalam sidang tanggal 28 Juli 2021 untuk mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Penggugat, Kuasa Hukum Penggugat Paulus S. Wijaya, SH menanyakan kepada ahli, “apakah pembatalan SKMHT dapat membatalkan perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit antara Tergugat I dan Tergugat V?”
Ahli secara tegas menjelaskan bahwa SKMHT adalah perjanjian yang bersifat accessoir (tambahan), sehingga tidak dapat membatalkan perjanjian pokoknya. Sebab perjanjian yang bersifat accessoir bergantung pada perjanjian pokoknya.
Sidang gugatan Pembatalan SKMHT yang diajukan oleh Ibu Melliana Susilo dipimpin oleh hakim Tumpanuli Marbun, SH, MH. selaku Hakim Ketua, Tiares Sirait, SH., MH. selaku hakim anggota dan Budiarto, SH., MH. selaku hakim anggota.*