Menggugat Kesalahpahaman Nikah Mulia dan Tidak Mulia

0

Oleh: Djanuard Lj*

UTAMA, Bulir.id – Pada edisi kali ini, Bulir.id secara khusus mengulik tentang budaya patriarki yang berkembang dalam masyarakat yang cenderung konservatif. Mengingat pada tanggal 8 Maret secara khusus didedikasikan sebagai Hari Perempuan Internasional.

Menarik memang mengulik masalah perempuan terutama tentang pernikahan. Dalam tradisi Kristen Katolik pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan tak terceraikan. Maka kesucian kedua mempelai sangat dijaga. Penyelewengan terhadapnya dianggap melanggar prinsip dan hukum ilahi.

Sehingga dalam tataran masyarakat yang konservatif kesucian kedua mempelai adalah keniscayaan. Bahkan ada tradisi pembuktian atas kesucian seorang perempuan pada malam pertama pengantin.

Pada pernikahan mulia, mempelai perempuan menyerahkan kesucian secara totalitas, tanpa mempertanyakan kesucian pasangannya. Konsep kesucian ini menjadi momok bagi kaum perempuan.

Sedangkan pada pernikahan yang dianggap tidak mulia disebabkan hidup bersama sebelum ikrar suci yang disahkan oleh lembaga adat maupun agama. Kedua lembaga itu sangat berperan penting dalam memunculkan stigam mulia dan tidak mulia itu.

Stigma ini kemudian berkembang luas sampai saat ini. Akibatnya semua orang menerimanya begitu saja tanpa mempertanyakan lebih jauh.

Ketidaksucian seorang perempuan akan berdampak buruk pada citra diri dan masa depan rumah tangganya. Sebab tidak jarang dianggap sebagai perempuan yang tidak bermartabat.

Yang paling fatal terjadi perlakuan diskriminatif bahkan berujung pada perceraian. Padahal kesucian (keperawanan) bukan dilihat dari robeknya selaput darah. Sebab kalau ini yang menjadi pendasaran akan berdampak buruk bagi kaum perempuan.

Kesucian pernikahan pada masyarakat yang konservatif sering kali melihat pernikahan dari penampakan lahiriah saja bukan pada penampakan batiniah.

Kesucian (keperawanan) dianggap jauh lebih penting dari pada sakramen perkawinan itu sendiri. Sehingga orang lupa menghayati sakramen sebagai sebuah ikatan suci yang mengikat kedua mempelai. Cara pandang semacam itu telah mereduksi kemanusiaan kaum perempuan.

Masyarakat kita sudah terjebak pada pemahaman yang keliru dari pernikahan. Pada prinsipnya pernikahan itu sakral pada dirinya sendiri sebab ada intervensi ilahi yang menyatukan kedua mempelai. Sehingga tidak ada lagi pernyataan pernikahan mulia dan tidak mulia. Yang memuliakan pernikahan itu yang ilahi itu sendiri bukan manusia.

Yang tidak mulia itu terjadi jika salah satu dari mempelai mengkhianati pernikahan. Sebaliknya pernikahan itu mulia sejauh merawat pernikahan dengan menghargai pasangan satu sama lain.

Kita telah terjebak pada konsep yang keliru sehingga sering kali memojokkan sekaligus merugikan kaum perempuan. Dengan demikian kita mesti kembalikan martabat kaum perempuan yang sudah direnggut oleh stigma negatif yang berkembang luas dalam masyarakat.

Kita juga perlu mengkritisi tradisi dan agama yang telah menyudutkan kaum perempuan dengan stigma yang tidak manusiawi. Nikah mulia dan tidak mulia adalah stigma yang dibangun oleh tatanan tradisi dan gereja.

Hal ini dipertegas oleh Nawal El Saadawi sorang feminis Mesir yang dalam hidupnya dengan gigih menentang tradisi dan agama. Ia menyalahkan agama sebagai akar dari terpinggirkannya posisi perempuan atau perspektif religion as a misery cause for women.

Dalam bukunya Perempuan dalam Budaya Patriarki, yang terbit pada tahun 1979, ia mengkritisi praktik masyarakat Mesir yang tidak manusiawi yang cenderung mereduksi kemanusiaan perempuan. Ia mengkritisi praktik killing by honour yang terjadi akibat tradisi kehormatan keluarga akibat perempuan tidak perawan lagi.

Perempuan layak dibunuh demi kehormatan keluarga. Killing by honour merupakan tindakan kriminal sewenang-wenang yang diwajarkan oleh aparat penegak hukum. Jarang ada keadilan yang diberikan kepada perempuan korban dengan dalih menjaga kehormatan keluarga. Sementara itu, tak ada beban hukum atau sanksi sosial apapun terhadap laki-laki yang menyebabkan hilangnya keperawanan seorang perempuan.

Ketika kehormatan keluarga dibebankan kepada perempuan, laki-laki bebas mengeksplor seksualitasnya tanpa harus takut pada dampaknya.*


*Djanuard Lj merupakan alumnus Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Jawa Timur. Kini penulis sedang bergulat dengan bisingnya kota Jakarta.