Oleh: Djanuard Lj*
SPIRITUAL, Bulir.id – “Saya Minum, maka saya ada” merupakan pelesetan dari adagium terkenal Descartes. Meski demikian, kita tidak akan membahas pemikirannya yang berat itu. Kita akan lebih spesifik mengulik filosofi moke.
Sebagai orang yang terlahir di salah satu daerah dengan tradisi yang berakar kuat, moke sudah menjadi minuman tradisional yang wajib dicicipi. Ia menjadi sumber hidup sebagian masyarakat Maumere, Flores, NTT dari masa ke masa.
Moke merupakan minuman tradisional beralkohol, sama halnya seperti sake Bali, Cap Tikus Manado dan minuman-minuman lokal lainnya. Meski demikian, yang membedakannya dengan minuman lainnya adalah ia memiliki nilai filosofis yang berakar kuat dari tradisi yang lampau.
Minuman ini memiliki peran yang sangat penting dalam segala kehidupan masyarakat Maumere. Pada tradisi ritual, pertemuan adat, hingga pada penerimaan tamu, moke tetap menjadi sajian wajib.
Pun penerimaan tamu, ia menjadi minuman pembuka yang wajib dihidangkan sebagai bentuk sebuah keramahtamahan. Meski demikian tidak mengharuskan sang tamu untuk mencicipinya. Moke hadir sebagai simbol keramahtamahan itu sendiri.
Pada diskusi-diskusi yang melibatkan tetua adat, kehadiran moke menjadi niscaya. Bahkan keberadaan moke jauh lebih penting dari pada air mineral. Sebab moke diyakini lebih dekat pada kesadaran (menunjukkan bekerjanya akal budi).
Moke dimaksudkan untuk menghasilkan keadaan kesadaran yang melonggarkan dan mengalir bebas sehingga diharapkan dalam diskusi dapat menemukan titik terang dari isu yang diangkat. Perlu dicatat bahwa tidak dalam konsumsi yang berlebihan.
Mencicipi moke bukan hanya tentang merasakan cairan mengalir melintasi lidah kemudian ke tenggorokan, tetapi ini tentang bermain dengan tradisi yang diwakili oleh moke.
Dalam tradisi Yunani Kuno pun kita dapat menemukan betapa pentingnya anggur dalam pertemuan atau diskusi. Misalnya dalam Simposium Plato, sebuah dialog Platonis yang terkenal dimana lawan bicara membahas persoalan filsafat sampai pada hal-hal yang tabu, khususnya seks dan cinta.
Yang cukup menarik, dialog tersebut terjadi dalam konteks simposium Yunani kuno, sebuah acara setelah makan malam di mana orang-orang akan duduk dan menikmati anggur. Fenomena ini sebagai sesuatu yang penting.
Atau misalnya kita dapat menemukan fakta lain bahwa di tempat lain, di abad pertengahan, Avicenna salah seorang filsuf Arab juga menjadikan anggur sebagai perangsang pikiran untuk memikirkan hal-hal ikhwal ide-ide abadi.
Avicenna bekerja hingga larut malam dan ketika dia lelah, akan menyesap anggur untuk membuatnya tetap waspada. (Orang mungkin bertanya-tanya apakah anggur membantunya tetap fokus atau memberitahunya ketika sudah cukup larut untuk beristirahat).
Avicenna kemudian memberi kita dua wawasan tentang tujuan anggur yakni peremajaan pikiran yang lelah dan perenungan tentang ada yang fundamental. Anggur memungkinkan kita untuk merenungkan keberadaan kita dan yang transenden.
Selain itu, kita juga perlu melihat pentingnya penggunaan anggur dalam tradisi katolik. Thomas Aquinas melihat kedalaman pentingnya anggur dalam tradisi Katolik.
Yesus dan Perjamuan Terakhir
Mengikuti kata-kata Yesus pada Perjamuan Terakhir dan ajaran Gereja Katolik, anggur memainkan fungsi yang sangat penting selama misa. Ini digunakan oleh imam selama Ekaristi sebagai cairan yang diubah menjadi darah literal Yesus (proses yang disebut transubstansiasi ).
Ini digunakan untuk mengingatkan kita akan pengorbanan yang Yesus berikan, dan untuk meremajakan jiwa kita melalui darah Anak Domba, menyelamatkan kita dari kematian. Singkatnya, anggur berfungsi sebagai jembatan menuju yang benar-benar transenden.
Fungsi anggur yang paling penting bagi umat Katolik adalah penggunaannya dalam Ekaristi sebagai pengingat luhur pengorbanan Yesus, bersama dengan penyembuhan roh.
Ketiga tradisi, yunani, abad pertengahan, dan kekristenan tidak jauh berbeda dalam hal pemaknaan terhadap moke yang diyakini oleh masyarakat Maumere. Anggur dan moke sama-sama ditempatkan sebagai alat yang membuka kesadaran berpikir.
Dalam tradisi Maumere, Moke digunakan untuk menenangkan pikiran dan tubuh sehingga topik yang sulit lebih mampu mengalir secara alami dalam percakapan. Moke merupakan pelarut, bisa dikatakan memecah kecemasan seputar percakapan yang rumit.
Minuman lokal ini juga memungkinkan kita untuk merenungkan sumber realitas yang terbatas maupun yang tak terbatas. Dalam kaitan dengan yang tak terbatas, masyarakat adat Maumere menggunakan moke sebagai minuman pendamaian antara manusia dan realitas tak terbatas yang tak kelihatan yang disebut sebagai tung piong.
Mencicipi moke membuka pintu untuk kontemplasi dan membangun jembatan yang sangat kecil antara yang terbatas dan yang tak terbatas.
Sekarang, setiap kali kita menyantap segelas moke, kita akan ingat bahwa kita mengambil bagian dalam sejarah yang kaya dari para leluhur yang telah menggunakan moke untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terbesar dalam hidup. Dengan mengingat hal itu, kita berharap menanamkan warisan leluhur itu dalam diri dan rasa hormat baru terhadap moke.*
Djanuard Lj merupkan alumnus Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya. Kini bekerja sebagai penulis tetap di media online Bulir.id. Kini tinggal dan bergulat dengan bisingnya kehidupan kota Jakarta.