Gerda Lerner: Perempuan adalah Budak Pertama

0

FILSAFAT, Bulir.id – Dalam buku The Creation of Patriarchy: The Origins of Women’s Subordination, Gerda Lerner berbicara tentang perkembangan historis konsep patriarki dan bagaimana sejarah gender menjadi sangat penting saat menciptakan atau mendekati karya feminis. Ini adalah cara yang sangat berbeda dalam memandang peradaban barat dan bagaimana ia menjadi seperti sekarang ini.

Menunjukkan bagaimana sejarah feminis sebagian besar diabaikan, Gerda Lerner menekankan vitalitas ‘dialektika sejarah perempuan’ (ketegangan antara sejarah perempuan dan pengecualian mereka dari interpretasinya) sebagai kekuatan pendorong yang dapat mendorong perempuan untuk bertindak melawan sistem patriarki.

Lerner berfokus pada dua pertanyaan utama dalam teks: 1. Apa saja konsep/definisi yang dibutuhkan untuk memahami tempat perempuan yang terpisah dan unik dalam proses sejarah? 2. Mengapa perempuan menjunjung tinggi sistem patriarki yang selama ini telah dan terus meminggirkan serta mengabaikan mereka dari generasi ke generasi?

Lerner membongkar tradisionalisme sambil mencari landasan bagi feminisme. Menurut tradisionalisme, perempuan diciptakan untuk menjadi lebih lemah dan tunduk, peran mereka dibatasi pada melahirkan dan mengasuh anak. Meskipun pria dan wanita secara biologis berbeda, perbedaan peran yang diterima untuk masing-masing merupakan hasil dari budaya (dan bukan biologi).

Konteks dan Bukti Terciptanya Patriarki

Pengecualian Perempuan dari Sejarah dan Ilmu Pengetahuan

Perempuan tidak diberi kesempatan untuk menambah memori sejarah. Mereka juga dikecualikan dari partisipasi dalam praktik hukum, sains, atau filsafat.

Di sini, Lerner menunjukkan bahwa alasan pengecualian ini bukan karena mereka tidak memiliki peran dalam penciptaan sejarah, tetapi karena peran mereka telah diabaikan begitu saja. Ia menekankan Perempuan selalu memainkan peran penting dan setara dalam memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam segala hal.

Pria dan wanita, keduanya pernah mengalami diskriminasi dan pengucilan atas dasar kelas, tetapi tidak seperti wanita, gender/seks bukanlah alasan pengucilan pria. Wanita adalah mayoritas yang diperlakukan sebagai minoritas. Lerner mengungkap hal ini melalui sudut pandang sejarah.

Ada sedikit karya berharga tentang wanita dalam sumber-sumber Mesopotamia dan Ibrani, dan apa pun yang ada di sana murni bersifat deskriptif. Lerner menunjukkan bagaimana patriarki membutuhkan waktu lebih dari 2500 tahun untuk berkembang dalam puncak berbagai peristiwa. Ia bertujuan untuk menemukan bukti-bukti dan simbol-simbol historis yang kemudian dimasukkan ke dalam peradaban barat.

1. Suku-suku pada Periode Neolitikum: Perempuan pada periode ini dikomoditisasi menjadi sumber daya untuk seksualitas mereka. Dengan terciptanya tabu inses, mereka dipertukarkan dengan suku-suku lain untuk menghindari peperangan dengan pembentukan aliansi perkawinan.

Faktor lainnya adalah fokus pada peningkatan tenaga kerja lebih banyak perempuan, lebih banyak anak-anak dan karenanya, lebih banyak tenaga kerja yang mengarah pada lebih banyak produksi pertanian.

Lerner berpendapat bahwa perempuan adalah budak pertama karena mereka dibeli pertama kali untuk dinikahkan, dan kemudian untuk perbudakan. Rasisme, seksisme, dan operasi kelas bersama-sama menyebabkan marginalisasi mereka.

2. Masyarakat Mesopotamia pada Milenium Kedua SM:

Demi kepentingan ekonomi keluarga, perempuan dijual untuk dinikahkan atau dijadikan pelacur. Ayah yang memiliki harta benda dapat meminta ‘mas kawin’ yang akhirnya diberikan kepada anak laki-laki dari keluarga tersebut. Selain itu, ketika laki-laki dalam keluarga tersebut berutang, perempuan dan anak-anak harus menjadi budak utang bagi kreditur.

Komoditasisasi perempuan oleh laki-laki ini dapat dipahami sebagai akumulasi pertama dari kepemilikan pribadi. Perbudakan tidak hanya mengurangi status sosial seseorang, tetapi juga memberi tuannya sarana untuk memperoleh kekayaan melalui kerja budak dan penjualan anak-anak mereka.

Peran Perempuan sebagai Pengasuh Anak dan Budak

Lerner mengklaim bahwa alasan utama penindasan terhadap perempuan adalah fungsi biologis mereka sebagai ibu melahirkan. Sejak zaman dahulu, pembagian tugas antara laki-laki (sebagai pemburu-pengumpul) dan perempuan (sebagai ibu melahirkan dan pekerja rumah tangga) menyebabkan terbentuknya sistem patriarki dengan peran gender yang jelas. Hal ini kemudian menyebabkan perempuan tidak lagi menduduki posisi penting (seperti kepemimpinan).

Lerner menyatakan bahwa perempuan adalah budak pertama. Hal ini disebabkan oleh permainan kekuasaan dan peran khusus gender dalam masyarakat. Dominasi terhadap perempuan menjadi praktik yang diterima di seluruh budaya dan masyarakat. Ia menunjukkan bahwa perempuan memainkan peran yang sama dalam menyerahkan kendali kepada laki-laki. Mereka menerima peran mereka seolah-olah itu adalah satu-satunya pilihan yang mereka miliki.

Hukum dan Simbolisme Keagamaan

Sistem patriarki dilembagakan melalui penegakan hukum yang mendefinisikan peran gender. Perempuan secara resmi dikecualikan dari bidang-bidang seperti pembuatan kebijakan dan pendidikan. Lerner memberikan contoh populer dari Kode Hammurabi, yang menyatakan bahwa perempuan adalah milik laki-laki, dan dengan demikian, status sosial perempuan akan bergantung pada laki-laki.

Terjadi pergeseran dalam praktik keagamaan saat Dewi-dewi (yang sangat melambangkan kesuburan dan seksualitas) digantikan oleh Tuhan Abraham. Dewi-dewi tersebut dikutuk. Sistem patriarki memenjarakan wanita sedemikian rupa sehingga mereka menjadi makhluk domestik yang pasif dan tak berdaya yang membutuhkan dukungan pria untuk hidup.

Reifikasi Perempuan dan Perjuangan Psikologisnya

Antropolog Prancis Claude Lévi-Strauss berbicara tentang reifikasi (berubah menjadi kenyataan dari abstrak) seksualitas perempuan dan kapasitas reproduksinya sebagai hasil dari ‘pertukaran’ mereka.

Perempuan dibatasi secara psikologis karena seksualitas mereka dikendalikan oleh laki-laki. Laki-laki, melalui ‘transaksi perkawinan’, mendefinisikan peran perempuan. Istri pengganti menyediakan layanan reproduksi dan digantikan atas kemauan suami mereka.

Ada berbagai tingkat ketidakbebasan bagi wanita. Para istri memiliki kekuasaan yang lebih besar karena mereka menikmati hak milik dan hukum dalam hubungannya dengan pria yang menjadi istri mereka. Para selir memiliki kekuasaan yang lebih rendah, tetapi masih memiliki tingkat tertentu sesuai keinginan pria yang menjadi istri mereka. Namun, para budak wanita sepenuhnya dikomodifikasi dan tidak menikmati kekuasaan atau kebebasan.

Perbedaan Kelas

Pria dan wanita memiliki hubungan yang berbeda dengan perjuangan kelas. Bagi pria, perjuangan kelas adalah tentang kepemilikan properti dan kemampuan untuk mendominasi orang lain. Sedangkan bagi wanita, akses terhadap sumber daya secara langsung ditentukan oleh pria yang berhubungan dengan mereka. Wanita yang ‘terhormat’ harus mendapatkan kekuatan ini melalui keputusan ayah/saudara laki-laki mereka, sedangkan wanita yang ‘tidak terhormat’ menggunakan ‘penyimpangan seksual’ mereka untuk hal yang sama.

Sebagai budak, perempuan dan laki-laki menderita dominasi kelas dengan cara yang berbeda. Perempuan dieksploitasi untuk tujuan tenaga kerja, seksual, dan reproduksi, sedangkan laki-laki dieksploitasi hanya untuk tenaga kerja.

Kepatuhan Perempuan

Lerner menekankan bagaimana sistem patriarki tidak dapat berfungsi tanpa kepatuhan perempuan. Perempuan telah dibuat patuh oleh perampasan pendidikan, diskriminasi, seksualitas yang dikendalikan, dan lain-lain.

Selama ribuan tahun, perempuan telah menjadi bagian dari sistem patriarki, bergantung dan dikendalikan pertama-tama oleh ayah/saudara laki-laki, dan kemudian oleh suami/laki-laki yang berhubungan seksual dengan mereka. Dalam keluarga patriarki, anak laki-laki hanya tunduk sampai mereka sendiri menjadi kepala keluarga, tetapi bagi perempuan, ketundukan ini berlangsung seumur hidup.

Alasan di Balik Kepatuhan Wanita : Karena masyarakat tidak setara, dan status wanita bergantung pada pria yang berhubungan dengan mereka, masuk akal bagi mereka untuk lebih menyukai pria yang lebih berkuasa yang memiliki status lebih tinggi di masyarakat. Selain itu, wanita dari kelas atas merasa sulit untuk menyerahkan status mereka ke kelas yang lebih rendah, jadi mereka menyesuaikan diri dengan norma-norma untuk mempertahankannya.

Internalisasi Inferioritas Perempuan : Perempuan memiliki peran untuk dimainkan dalam subordinasi mereka sendiri karena mereka telah tumbuh untuk menginternalisasi inferioritas mereka. Salah satu alasan utama untuk subordinasi dan marginalisasi mereka yang berkelanjutan adalah keterputusan mereka dengan sejarah perjuangan dan kemenangan mereka sendiri.

Kedudukan perempuan dalam struktur keluarga membuat kemajuan dalam solidaritas mereka menjadi sulit. Sejak usia yang sangat muda, mereka telah diindoktrinasi untuk memiliki serangkaian kewajiban terhadap keluarga mereka. Perempuan tidak pernah keluar dari status perlindungan seperti anak kecil karena pelindung laki-laki mereka berubah dari ayah mereka menjadi suami mereka.

Selain itu, perempuan tahu bahwa konsekuensi dari pemberontakan terhadap subordinasi yang dipaksakan kepada mereka akan mengakibatkan mereka dikucilkan dari keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, perempuan hanya dapat mencapai kebebasan sejauh mereka dapat memanipulasi pelindung mereka.

Hegemoni Laki-laki atas Sistem Simbol

Lerner membagi hegemoni laki-laki menjadi dua komponen utama, deprivasi pendidikan dan monopoli definisi. Laki-laki telah menjadikan diri mereka pusat wacana dengan menjelaskan dan mendefinisikan alam semesta menurut perspektif mereka. Hal ini menghadirkan gambaran realitas yang terdistorsi karena perspektif mereka tidak mewakili setiap dan semua perspektif.

Lerner menyatakan bahwa untuk memperbaiki hal ini, sekadar menambahkan sudut pandang wanita ke sudut pandang pria tidaklah cukup. Diperlukan rekonstruksi pemikiran yang radikal, yang menerima bahwa manusia terdiri dari dua bagian yang sama yang perlu memiliki representasi yang sama dalam setiap generalisasi tentang spesies mereka.

Karya Feminis Tidak Boleh Bersifat Historis

Lerner menunjukkan bahwa bahkan The Second Sex karya Simone De Beauvoir, yang menggambarkan laki-laki sebagai makhluk yang otonom dan transenden dan perempuan sebagai makhluk yang imanen, sama sekali mengabaikan sejarah.

De Beauvoir percaya bahwa karena perempuan “tidak memiliki masa lalu, sejarah, dan agama mereka sendiri” maka mereka tidak memiliki cara untuk mengorganisasi diri mereka sendiri. Di sini, Lerner berkomentar bahwa ia setuju dengan klaim De Beauvoir bahwa perempuan tidak melampaui batas, tetapi tidak setuju dengan klaim bahwa perempuan tidak memiliki sejarah.

Perjuangan Menciptakan Sejarah Feminis

Karena perempuan dibuat berpikir bahwa mereka tidak memiliki sejarah, mereka tidak berpikir bahwa mereka memiliki alternatif terhadap peran terpinggirkan yang telah mereka jalani di masyarakat. Dengan kata lain, karena kurangnya preseden, mereka tidak dapat melihat alternatif apa pun untuk kondisi mereka saat ini.

Perjuangan kelas dapat dipahami sebagai perjuangan untuk menguasai sistem simbol masyarakat. Agar ide-ide revolusioner dapat muncul, mereka yang tertindas perlu memiliki makna dan simbol mereka sendiri untuk sistem yang dominan. Hal ini berlaku bagi kaum laki-laki yang tertindas, tetapi tidak berlaku bagi kaum perempuan yang tertindas.

Penyangkalan terhadap sejarah perempuan telah memperkuat penerimaan mereka terhadap sistem patriarki dan mengurangi harga diri mereka. Sejarah laki-laki menggambarkan perempuan sebagai korban marjinal dari proses sejarah. Namun, sejarah perempuan menunjukkan bagaimana mereka berjuang melawan kesalahpahaman ini.

Karena keterbatasan pendidikan dan kurangnya waktu luang, mereka tidak dapat mengembangkan pemikiran abstrak. Mereka telah menginternalisasi posisi mereka sebagai pemberi layanan rumah tangga yang tersubordinasi.

Namun, ada beberapa perempuan dari kelas penguasa yang berjuang untuk memberikan pemikiran androsentris. Mereka harus mulai dengan mempelajari ‘cara berpikir seperti laki-laki’. Hal ini menyebabkan mereka tidak mempercayai dan merendahkan pengalaman mereka sendiri.

Selain itu, perempuan-perempuan yang menantang sistem yang ada dan membuat kemajuan dalam pemikiran feminis dicap sebagai orang yang menyimpang dan terpinggirkan oleh masyarakat. Hal yang sama terjadi pada seniman dan penulis perempuan yang upaya kreatifnya berupaya mengungkap makna karya sastra perempuan (dan mereka baru saja berhasil).

Meskipun terpinggirkan dan dianggap remeh, sumbangan sastra perempuan dari abad ke-18 dan ke-19 tetap bertahan. Namun, bahkan para penulis ini pun dibatasi oleh jiwa mereka. Karya mereka adalah produk dari zaman mereka. Tantangan bagi perempuan masa kini yang mencoba melakukan hal yang sama adalah mendefinisikan ulang ‘diri’ mereka tanpa pengaruh dari gagasan yang terinternalisasi dalam jiwa mereka yang merupakan produk dari sistem patriarki.

Perlunya Perubahan Kesadaran

Lerner meyakini perlunya perubahan pada kesadaran perempuan, dan ia melihat dua langkah berikut: 1.) berpusat pada perempuan, 2.) melangkah keluar dari pemikiran patriarki

Pertanyaan yang perlu diajukan di sini adalah bagaimana sebuah argumen didefinisikan jika perempuan menjadi pusatnya? Ini akan memerlukan pemisahan semua bukti intervensi patriarki darinya, dan mengasumsikan bahwa tidak ada peristiwa yang dapat terjadi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya (kecuali mereka secara khusus dilarang melakukannya). Oleh karena itu, metode tradisional (atau lainnya) yang digunakan perlu dipertimbangkan dari sudut pandang perempuan.

Pendekatan skeptis dan kritis terhadap setiap sistem pemikiran yang dikenal sangat penting jika seseorang ingin menyingkirkan sistem pemikiran patriarki.

Kesimpulan

Lerner mengklaim bahwa karena sistem patriarki memiliki akar sejarah, kehancurannya juga harus menjadi proses sejarah. Setelah berabad-abad persepsi gender dalam bidang sosial, hukum, dan budaya, sistem patriarki tetap dominan.

Ia menekankan bagaimana marginalisasi total terhadap perempuan ini bukan bersifat biologis tetapi historis. Selama berabad-abad, hal itu telah menjadi normal secara sosial dan budaya sebagai status quo. Status, kekuasaan, dan pengaruh perempuan dikaitkan dengan hubungan mereka dengan laki-laki.

Lerner menyimpulkan dengan analogi untuk ajakan bertindak. Dalam permainan kehidupan, laki-laki dan perempuan adalah aktor yang setara dengan tingkat/jenis peran dan tanggung jawab yang sama.

Namun, kontribusi perempuan tidak dipertimbangkan atau dimasukkan dalam totalitas. Untuk mengatasi hal ini, Lerner menyarankan untuk mendekonstruksi patriarki demi pemikiran feminis, karena hal itu akan memungkinkan pemulihan dari kerusakan akibat marginalisasi di masa lalu serta perbaikan masa kini dan masa depan bagi perempuan dan masyarakat.*