Oleh: Sr. Carmelita Sareng
OPINI, Bulir.id – Aroma pesta demokrasi mulai tercium. Di jalanan, baliho para calon anggota legislatif dari tingkat daerah hingga nasional mulai terpampang. Namun sudah berapa kaum perempuan yang terlihat dalam gambar-gambar di jalanan?
Masih sangatlah minim dan mudah sekali untuk dihitung jumlah kaum perempuan yang mau berpartisipasi dalam kancah persaingan merebut kursi pemerintahan.
Rendahnya angka keterwakilan perempuan dalam bidang politik sedikit banyak berpengaruh terhadap isu kebijakan terkait kesetaraan gender dan belum mampu merespon masalah utama yang dihadapi oleh perempuan.
Berdasarkan data dari World Bank (2019), negara Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa partisipasi perempuan Indonesia dalam bidang politik masih sangat rendah.
Sudah waktunya perempuan Indonesia berpartisipasi aktif membangun bangsa dan negara melalui jalur politik. Oleh karena itu, perempuan politik merupakan aset besar milik bangsa yang harus terus didorong maju, bukan hanya kuantitas, melainkan juga kualitasnya.
Di Indonesia, perempuan poltik dihimpun dalam wadah Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI). KPPI terus menyuarakan suara perempuan untuk lebih paham tentang politik sehingga pada saatnya nanti akan mampu berjuang bersama laki-laki di jalur politik.
Kemampuan yang sama dimiliki perempuan sebagaimana kaum lelaki dalam hal aspirasi politik. Namun perjalanan demokrasi Indonesia kerap diwarnai penyimpangan dari cita-cita yang tertuang dalam konstitusi dan ideologi negara Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Peraturan yang kontroversi seperti Undang-Undang Adminduk (Administrasi dan Kependudukan), UU Pornografi dan berbagai Perda yang menisbikan kondisi masyarakat Indonesia yang beragam dan cenderung diskriminatif terhadap perempuan menjadi gambaran kemunduran bangsa dalam meraih cita-cita Indonesia sebagai negara yang demokratis dan berkeadilan gender.
Dalam proses demokratisasi saat ini, tantangan terbesar yang sedang dihadapi bangsa adalah posisi kebisuan publik (silent majority) yang memang harus diberi ruang bersuara untuk mampu mengambil dan menentukan orientasi pembangunan.
Saat ini, Indonesia kerap diwarnai dengan berdirinya banyak kelompok yang berkedok agama dan etnis tertentu dan cenderung melakukan pemaksaan kehendak bahkan dengan cara kekerasan. Suatu hal yang sangat menyimpang dari nilai luhur agama manapun dan bisa saja situasi ini adalah dampak langsung dari globalisasi yang penuh dengan kepentingan ekonomi berbalut politik.
Oleh sebab itu, pendidikan dan penyadaran politik, terutama bagi kaum perempuan adalah hal mutlak yang harus diupayakan dengan melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan di ruang publik, mulai dari Musrembang Desa sampai peningkatan keterwakilan perempuan di kursi pemerintah melalui Pemilu.
Kaum perempuan harus terus mengasah kemampuan di berbagai bidang, sehingga pada saatnya mampu mengaplikasikan apa yang sudah ada dan dipelajari. Keterwakilan perempuan jangan sekadar penuhi kuota. Namun, harus didorong melalui regulasi agar komposisi perempuan bisa ikut terakomodasi di parlemen, yakni keterwakilan minimal 30% perempuan dalam legislatif.
Perempuan dalam jajaran pemerintahan tidak hanya menjadi pelengkap atau hanya memenuhi kuota keterwakilan perempuan saja (kuantitas). Namun sebagai politikus, kualitas perempuan juga harus mumpuni dan dominan dalam pengambilan keputusan serta layak bersaing dengan politisi pria.
Sebagai sesama kaum perempuan, kita perlu mendorong agar siapapun yang masuk dalam politik, apapun latar belakangnya, mampu menyadari tentang fungsi yang ia miliki di dalam partai politik, sehingga dengan latar belakang tersebut mereka mampu bersuara dan didengar di masyarakat.
Bila kita sudah mempersoalkan latar belakang, maka kitapun menciptakan ketidakadilan sebelum melihat hasil kerja mereka.
Gerakan perempuan kini tetap perlu diberi ruang, menjaga komitmen gerakan untuk saling mendukung antara perempuan yang ada di dalam parlemen maupun di luar parlemen. Perempuan harus saling mendukung agar perempuan yang sudah memiliki posisi eksekutif maupun legislatif dapat menumbuhkan kebijakan-kebijakan yang mendukung kepentingan perempuan, misalnya mendorong adanya alokasi dana yang lebih besar untuk kesejahteraan seperti pendidikan dan kesehatan.
Perempuan yang berani tampil di dunia politik merupakan perempuan hebat yang berhasil membagi waktu antara karier dan keluarga. Kehadiran perempuan di parlemen menjadi satu hal yang sangat penting karena perempuan memiliki kepentingan tersendiri yang hanya bisa dikemukakan oleh kaum perempuan itu sendiri dan akan susah bagi kaum laki-laki untuk bisa memahami apa yang dibutuhkan perempuan.
Sehingga perempuan sendirilah yang bisa menentukan dan mengambil kebijakan yang adil bagi mereka. Terlebih dari segi cara pandang, laki-laki dan perempuan memiliki cara pandang yang berbeda sehingga hal ini jugalah yang mengakibatkan berbagai kebijakan terkadang tidak berpihak pada kaum perempuan. Keberadaan perempuan dalam parlemen yang memadai bisa menjadi harapan bagi kaum perempuan agar ke depannya kepentingan perempuan bisa terwakili.*
*Suster Carmelita Sareng merupakan mahasiswi semester VI-Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, UNIPA Maumere