Tabur, BULIR.ID – Kemunculan plang mengatasnamakan PT Properti Tbk di tanah Eks Eigendom Verpoing Nomor 5658 atau tanah bekas hak barat di wilayah Cibubur pada Senin 14 Agustus 2021 lalu membuat resah warga yang menempati lokasi tersebut.
“Tanah Ini Milik PT PP Properti Tbk. DILARANG MASUK TANPA IZIN. Diancam pidana pasal 167 Ayat 1 KUHP dihukum 9 bulan penjara dan pasal 389 KUHP dihukum 2 tahun 8 bulan penjara”. Demikian bunyi pesan dalam plang yang berdiri kokoh di beberapa titik di sekitar lokasi itu.
Untuk diketahui, sebanyak 138 orang yang menempati lahan yang beralamat di Jalan Alternatif/ Transyogi, Cibubur Km 1 No.18A, Kp. Kalimanggis, RT.04/RW.05, Harjamukti, Cimanggis, Depok Jawa Barat itu merupakan warga perantau yang berasal dari beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Adapun bangunan fisik berupa rumah warga NTT yang dibangun dalam lokasi garapan ini berjumlah 60 unit.
Para penggarap ini telah menempati lahan tersebut sejak tahun 1990an dan telah diberi izin oleh ahli waris almarhum Pieter Meyer alias Padnawidjaya Bin W.L. Samuel De Meyer untuk menggarap atau menempati lahan tersebut.
Merespon pemasangan sejumlah plang oleh oknum yang mengatasnamakan PT PP Properti Tbk tersebut, perwakilan para penggarap, Thonce J.C Manu pun angkat bicara.
Thonce menyatakan jika yang melakukan pemasangan plang-plang tersebut adalah betul pihak PT PP Properti Tbk, yang merupakan salah satau entitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pihaknya akan bersikap kooperatif.
Namun dengan syarat, pihak PT PP Properti Tbk wajib memenuhi komitmennya yang telah disepakati bersama dalam komitmen penyerahan Hak Atas Tanah Negara/Garapan tertanggal 12 Juni 2017 dan kembali dipertegas dalam Berita Acara Kesepakatan Pengosongan Lahan tertanggal 15 Januari 2018.
“Saya berpikir kooperatif aja. Tidak apa-apa kita abaikan ini (lahan ini-red) yang terpenting hak kami warga ya terpenuhi. Hak kami diberikan dan kewajiban dia (PT PP Properti Tbk-red) dilakukan. Itu harapan warga. Jangan bikin seperti warga tidak berharga,” kata Thonce ktika ditemui di Lokasi, Sabtu (28/8/21).
Lebih lanjut Thonce menambahkan, secara historis lahan ini merupakan lahan terbengkelai peninggalan Belanda atau yang disebut Eigendom Verpoing Nomor 5658 atau tanah bekas hak barat. Lalu pada 1990an, sejumlah warga perantau asal NTT menempati lahan tersebut.
Lalu pada 2010, dilakukan pengosongan fisik secara total disertai dengan penerbitan sejumlah surat izin penggarapan. Kemudian pada 2017, PT PP Properti merekomendasikan kepada para penggarap untuk dilakukan pengurusan administrasi pembebasan lahan garapan.
“Lalu pada 2017, dipilihlah 17 nama perwakilan para penggarap untuk selanjutnya diajukan ke BPN berdasarkan keterangan dari perangkat RT/RW, Lurah hingga Camat dan dilakukan verifikasi oleh BPN. Setelah dinyatakan memenuhi syarat memiliki sertifikat hak milik dan hak garap, selanjutnya diserahkan ke PT PP Properti Tbk untuk dibebaskan,” tutur Thonce.
“Saat itu mereka (PT PP Properti Tbk-red) semua yang melakukan, kami warga hanya mengikuti saja karena mereka yang mengerti mekanisme pengurusan administrasinya. Kami warga menyerahkan data saja, kalo memang tujuannya untuk kebaikan. Tapi ternyata di kemudian hari dipelintir menjadi pidana bahwa seolah-olah kami ada unsur menipu,” tutur Thonce.
Warga, kata Thonce, berharap agar PT PP Properti Tbk memiliki itikad baik dalam pengambilan lahan tersebut yakni memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan bunyi MoU pada 2018 untuk membayar biaya pembebasan lahan.
“Karena berdasarkan MoU, PP mau membebaskan dari warga itu Rp1 juta per meter. Tetapi transaksi awal itu ada beberapa sertifikat pribadi yang belum diselesaikan, sedangkan sisanya sertifikat garapan kita itu belum terselesaikan. Dan selama ini ada miskomunikasi sejak 2018, sampai kemarin tiba-tiba pasang plang,” ungkap Thonce.*
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT PP Properti belum berhasil dihubungi untuk dimintai tanggapannya.*