Oleh: Djanuard lj
EDITORIAL, BULIR.ID – Dalam banyak acara penyambutan yang melibatkan kerabat atau tamu yang dianggap penting, upacara huler wair menjadi ritual wajib dilakukan oleh tuan rumah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan dari tuan rumah atas lawatan sang tamu.
Huler wair merupakan salah satu warisan tradisi lampau yang kini masih dipegang erat oleh sebagian masyarakat Maumere. Huler berasal dari kata huler dan wair (air). Huler sendiri merupakan sejenis daun yang lebar yang selalu hijau di sepanjang musim.
Daun ini memiliki nilai filosofis tersendiri bagi masyarakat Maumere. Bagi mereka dengan melakukan percikan air menggunakan daun yang hijau tersebut memberikan efek kedamaian dan ketenangan bagi sang tamu atau orang yang diagungkan.
Sebaliknya sang tamu atau orang yang diagungkan tersebut diharapkan membawa sukacita dan berkat melimpah bagi tuan rumah dan orang di sekitarnya. Sedangkan penggunaan air memiliki makna simbolik kesegaran dan melenyapkan dahaga kesunyian atau sumber hiburan bagi tuan rumah.
Seringkali masyarakat menggunakan air kelapa muda yang dipadukan dengan daun huler kemudian dipercikkan kepada sang tamu. Air kelapa yang memiliki manfaat yang begitu banyak juga diharapkan memberikan efek positif bagi tamu dan tuan rumah.
Penggunaan air kelapa ini diharapkan mampu membersihkan sang tamu dan seisi rumah dari efek negatif yang dibawa oleh tamu atau pun sebaliknya ada di lingkungan rumah. Harapannya sekaligus memberikan kedamaian dan ketenangan serta kesejukan bagi keduanya.
Saya coba mengutip bahasa adat yang diucapkann saat pemercikan atau ritual huler wair:
“Blatan ganu wair, ganu wair wali napun, bliran ganu bao, ganu bao wali wolon.”
(Dingin seperti air, air yang mengalir di sungai, sejuk seperti pohon beringin, bagai beringin di perbukitan). Biasanya huler wair dilakukann oleh orang yang dituahkann atau tetua adat yang sudah diberikan kepercayaan terlwbih dahulu.
Simbolisme huler wair memiliki makna filosofis sebagai bentuk keramahtamahan dan perwujudan dari ungkapan rasa kehangatan dalam menerima orang lain yang tengah melawat. Tidak sampai disitu saja, tetapi juga termaktub makna yang mendalam seperti rasa hormat serta persahabatan dan persaudaraan kepada orang lain, terutama pada tamu yang datang.
Jauh sebelum konsep keramahtamahan atau hospitalitas Emanuel Levinas, masyarakat Maumere justru terlebih dahulu sudah menghidupinya. Ini menunjukkan betapa luasnya cara pandang dan cara pikir masyarakat Maumere.
Sikap ramah tamah ini ditujukan tanpa kenal batas dan sekat apa pun. Semua orang adalah saudara yang harus diterima sebagaimana adanya. Ada semacam kewajiban etis untuk menerima dalam keramahtamahan dan menjadikan yang lain/the other sebagai bagian dari keluarga yang perlu dihormati dan dilindungi sebagaimana kita melindungi diri sendiri.
Sebagai kaum muda pewaris takhta kebijaksanaan perlu menjaga nilai-nilai luhur dan falsafah lokal tersebut. Hal ini merupakan warisan yang tak terhingga nilainya, sebab nilai-nilai luhur huler wair masih sangat kontekstual dengan situasi zaman.
Rupanya filsafat hidup masyarakat Maumere tidak kalah menariknya dengan filsafat barat maupun Yunani. Kita sejatinya bangga dengan warisan leluhur yang jika digali dengan sungguh-sungguh akan memberikan sumbangsih pemikiran yang sangat besar bagi bangsa dan negara Indonesia.
Huler wair adalah filsafat yang sangat originil yang lahir dari rahim refleksi mendalam para leluhur Maumere. Dengan demikian sebagai generasi muda kita perlu menggali filsafat yang telah dihidupi leluhur kita sejak mendiami Nian Tana (Maumere). Sekaligus tetap menjaganya agar tetap hidup dan tidak termakan oleh arus waktu. Mari kita jaga kearifan lokal huler wair sebagai warisan leluhur yang tak terhingga nilainya.*