“Gubernur Bilang Saya Monyet”

Dari hasil bedah ketiga isi kepala ini, saya temukan analogi melalui gambar ini, pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Seperti halnya anak yang juga adalah cerminan orang tuanya. Jika seorang rakyat adalah monyet, maka pemimpinnya juga monyet.

0
Gubernur bilang saya monyet

Oleh: Gloria Fransiska Khatarina

Tilik. Bulir.diBagi pecinta sastra Indonesia yang pernah membaca karya Djenar Maesa Ayu tentu mengenal judul novelnya ‘Mereka Bilang Saya Monyet!”. Novel ini bahkan diadaptasi menjadi sebuah drama.

Saya juga penyuka karya-karya Djenar Maesa Ayu. ‘Mereka Bilang Saya Monyet’ adalah sebuah karya yang bagi saya sarat metafora reflektif bahwa kadang-kadang manusia bisa saja berperilaku seperti binatang. Berikut kutipan dari karya Djenar tersebut.

“Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak, atau harimau. Dan berkepala ular, banteng, atau keledai. Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi.
Bahkan konon mereka mempunyai hati. Saya memperhatikan bayangan diri saya di dalam cermin dengan cermat. Saya berkaki dua, berkepala manusia, tapi menurut mereka, saya adalah seekor binatang. Kata mereka, saya adalah seekor monyet. Waktu mereka mengatakan itu kepada saya, saya sangat gembira. Saya katakan, jika saya seekor monyet maka saya satu-satunya binatang yang paling mendekati manusia. Berarti derajat saya berada di atas mereka.
Tapi mereka manusia bukan binatang, karena mereka mempunyai akal dan perasaan. Dan saya hanyalah seekor binatang. Hanya seekor monyet.”

Dua hari terakhir WA group saya cukup ramai dengan komentar-komentar tentang pernyataan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat terhadap seorang Umbu -tua adat dan tuan tanah- di NTT.

“Saya tidak datang mau rampas kau punya harta, monyet kau!” begitu ujarnya kepada Umbu Maramba Hawu.

Umbu Maramba Hawu, bertubuh ceking dalam video itu ternyata seorang tuan tanah di Kampung Rende Prayawa, Desa Rindi, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur. Tatkala saya menonton full video pertengkaran yang beredar tersebut, saya hanya bisa geleng-geleng kepala.

Tidak heran jika beberapa grup masyarakat NTT mengecam perilaku Viktor Laiskodat. Dari sisi komunikasi politik, apa yang dilakukan Viktor tidak etis dan layak diujarkan dari mulut seorang pejabat publik kepada rakyatnya. Apalagi, pejabat tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat.

Ihwal pertengkaran ini sebenarnya karena perkara tanah ulayat. Sumba memang terkenal dengan wilayahnya yang luas, megah, dan indah. Seperti surga yang sulit dideteksi. Gubernur NTT yang terhormat ternyata berniat untuk membangun peternakan sapi di atas tanah tersebut. Viktor mengklaim, tanah ulayat dari keluarga Umbu Marambu adalah aset Pemda.

Dengan gaya premanisme dia menolak berdialog dengan keluarga Umbu. Gak percaya, ini katanya.

“Saya gubernur, barang ini ada dalam dokumen dan ini aset pemerintah Provinsi, urusan orang tua dulu sudah ada dari dulu, yang penting adalah barang ini kita kerjakan untuk kepentingan rakyat, jadi kalau bapa marah saya kerja, saya tidak mau, saya hadir disini untuk kerja buat rakyat, tanah ini milik Provinsi, dikerjakan untuk kepentingan rakyat orang Sumba dan NTT, yang berbeda, berhadapan dengan saya.”

Dalam diskusi yang berujung panas itu, Viktor berkali-kali menegaskan bahwa tanah kosong di NTT sangat luas dan banyak jumlahnya. Oleh karena itu, dia -atas nama pejabat publik- ingin memanfaatkan tanah itu untuk pembangunan dan kemajuan provinsi.

Begitu gaya pemaksaan Viktor memuncak, Umbu Marambu pun tak tinggal diam dan ‘ngegas.’ Begitu pun keluarga yang hadir dalam pertemuan tersebut ikut panas. Keluarlah kata-kata, ‘monyet kau’ dari mulut seorang pejabat publik.

Tak selesai sampai disitu, informasi semakin liar dengan bola-bola informasi bahwa pengembangan peternakan dengan APBD itu akan dikelola oleh Leon, yang tidak lain tidak bukan adalah putra kandung Viktor Laiskodat sendiri.

Kalau dicermati dan direfleksikan baik-baik, tren ‘kekerasan’ seperti yang dilakukan Viktor Laiskodat ini sudah menjadi instrumen dan kepemimpinan yang populis. Sebelum Viktor, kita kenal gaya komunikasi publik dan politik yang buruk dari Donald Trump yang memecah belah AS, kita juga mengenal bagaimana Pak Ahok terpeleset lidah akibat arogansi dalam berkomentar.

Saya pun berada dalam persimpangan untuk mengkaji lagi kepemimpinan model apa yang dibutuhkan Indonesia saat ini sampai-sampai banyak pejabat level daerah sampai pusat berperilaku tidak pantas.

Guna mendorong kebiasaan obyektif, saya mengimajinasikan permasalahan ini seolah saya seorang dokter yang sedang membedah beberapa isi kepala. Satu isi kepala Viktor, dan satu lagi isi kepala Umbu, ketiga isi kepala pemilih Viktor.

Isi kepala Viktor memang tidak banyak dan tidak rumit, karena isi kepala dan hati seseorang adalah cerminan refleksi pengalaman hidupnya. Sebagai mantan ‘preman’ -beliau sendiri mengaku sebagai profesor penjahat lho!- yang punya bisnis perspektif pembangunan dan kapitalisasi aset sangat dominan. Dalam isi kepala Viktor pada akhirnya adalah didominasi oleh manajemen perusahaan ketimbang manajemen kebijakan publik. Ini dengan asumsi, jika dia memiliki perspektif sebagai pengambil kebijakan, gaya komunikasi tidak akan seperti gaya komunikasi pemilik toko dengan buruh. Atau, manajemen pengambilan kebijakan jika benar seharusnya pembangunan peternakan tidak diserahkan kepada anaknya karena akan menimbulkan conflict of interest. Kondisi ini akan memicu pertanyaan lawas, “dimana letak keadilan dan kesejahteraan?”

Isi kepala pendukung Viktor. Hem, ini cukup rumit. Saya menemukan, ada banyak faktor para pemilih ini mau memilih Viktor. Alasan paling fundamental dan cukup rasional adalah NTT juga perlu sesekali dipimpin oleh seseorang yang berjiwa ‘preman’ dan punya perspektif bisnis. Kenapa? Karena orang NTT tidak jago berbisnis. Ini masuk akal, karena belum ada orang NTT masuk 30 besar orang terkaya di dunia sih wakakaka. Tak hanya itu, orang NTT juga terlalu lama ditinggalkan manajemennya hingga akhirnya mindset masyarakat terhadap kemajuan menjadi minim. Beberapa juga bermental rente, apa-apa duit. Kasus tanah adat sudah banyak terjadi dengan modus-modus yang tidak bertanggung jawab dilakukan oleh rakyat sendiri. Terus bagaimana membenahi ini?

Mungkin saja, ada kehausan dari para pendukung Viktor akan seorang pemimpin berjiwa tegas. Namun pertanyaan selanjutnya, apakah hanya ketegasan saja yang dipertimbangkan sebagai alasan memilih Viktor kala itu?

Ini bukan perkara sederhana buat saya mengingat kasus Viktor ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya karena perkara daun kelor, ibu-ibu di desa sampai demonstrasi dan telanjang.

Isi kepala Umbu Marambu. Hem, ini adalah isi kepala tradisionalis dengan rekam pengalaman hidup dan kearifan lokal. Umbu Marambu adalah saksi lintas kepemimpinan NTT yang memberikan dia privilege untuk merawat dan memberdayakan warisan leluhurnya. Memang sangat beralasan Umbu Marambu menolak permintaan Pemda, toh, dalam reforma agraria, tanah adat juga diatur dan dikelola. Artinya, bukan karena ini berstatus tanah adat, lantas pemda bisa mengelola seenaknya.

Sebagai catatan, isi kepala Umbu Marambu adalah kemewahan dari pengalaman hidupnya sendiri. Apa yang dirasakan dan dialami juga dipikirkan dia belum tentu diadaptasi oleh keturunannya. Seiring dengan kapitalisme global yang berkembang, rasa-rasanya memang perlu ada mekanisme pembinaan masyarakat adat dan komunitas adat dalam mengantisipasi kasus kekerasan terhadap aset-aset kebudayaan mereka.

Kita sama-sama bisa mengklaim, tanah adat atau tanah ulayat memang bisa saja bukan sepenuhnya milik masyarakat adat. Ada proses pertarungan bahkan pertumpahan darah sebagai historis yang dikenang dan menjadi nilai-nilai kehidupan anak dan cucunya.

Dari hasil bedah ketiga isi kepala ini, saya temukan analogi melalui gambar ini, pemimpin adalah cerminan rakyatnya. Seperti halnya anak yang juga adalah cerminan orang tuanya. Jika seorang rakyat adalah monyet, maka pemimpinnya juga monyet.

Tidak seperti tokoh Adjeng dalam novel Djenar yang memang menerima sebutan monyet karena sifatnya yang impulsif, saya memang sering dikatain monyet sejak SD oleh kawan-kawan yang berbeda dari saya. Bully berbentuk ucapan ‘monyet’, ‘gorila’, hingga ‘hanoman’ harus diakui melukai self-esteem saya karena itu diujarkan oleh teman-teman saya.

Kini saya bisa sedikit berdamai ketika saya paham mereka yang membully saya dengan ucapan itu memang berbeda dengan saya secara fisik. Namun ketika saya mencoba memosisikan diri saya bersama mereka yang disebut ‘monyet’ oleh Viktor, rasa sakitnya lebih parah karena hinaan itu diujarkan oleh orang yang secara fisik satu ras dengan kita. Istilah Jakartanya nih, ‘lu, sama gua, sama cuy!’

Ini adalah momentum tepat masyarakat seluruh NTT membenah dan berefleksi, yang dalam sebutan saya, bukan sekadar mendaraskan doa Bapa Kami, “seperti kami mengampuni yang bersalah kepada kami.” Kekerasan yang selesai dengan pengampunan hanya memicu kekerasan-kekerasan baru.

Akhir kata, boleh juga kalau para sastrawan NTT urun-rembug menyusun sebuah karya sastra sejenis ‘Gubernur bilang saya monyet.” Mungkin dengan sastra, kata, dan halus rasa, kita bisa berpikir jernih dalam menyikapi ketegangan.

PS: Naskah ini ditulis bukan karena Titagloria mau nyaleg 2024. Kemungkinan 2024 saya sibuk mengurus anjing saya yang sudah lansia, dan mungkin akan sibuk mengadopsi anjing dachsund atau corgi lainnya. Sebab mengurus anjing sama susahnya dengan mengurus monyet.

***

Tulisan ini sudah pernah dimuat di akun FB milik penulis.