Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi untuk Perundingan Papua dan Pembebasan Viktor

0
Surat Terbuka Kepada Presiden Jokowi untuk Perundingan Papua dan Pembebasan Viktor
Aktivis kemanusiaan asal Papua, Marthen Goo.(Foto:Ist)

Kepada Yang Terhormat
Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia
di Istana Negara, Jakarta

Perihal: Bebaskan Viktor Yeimo dan Gelar Perundingan Untuk Selesaikan Masalah di Papua

Bulir.ID – Pak Presiden yang terhormat, apa kabar diri mu di istana negara ?
Moga selalu sehat dalam perlindungan Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Kuasa. Moga keluara bapak selalu sehat adanya. Moga aktivitas bapak selalu lancar. Moga bapak mendapatkan ilham dalam memimpin negara, karena di tangan bapa arah negara ini ditentukan.

Pak Presiden yang terhormat, didasarkan pada perihal di atas, ijinkan saya mengetok pintu hati Pak Presiden yang masih tertutup begitu rapat untuk kemanusiaan di Papua, hingga masalah di tanah Papua tumbuh bagai jamur dimana-mana, tapi tak pernah ada cara menyelesaikan masalah. Bahkan “Paniai berdarah 8 Desember 2014” yang Pak Presiden janjikan akan selesaikan pun sampai sekarang masih di titik “NOL”.

Pak Presiden yang terhormat, Jakarta selalu berusaha memakai perspektif Jakarta untuk Papua, hasilnya hanya menuai masalah baru terus menerus. Bahkan kami kaget kalau ternyata lebel atau stigmatisasi “makar, teroris dan lainnya hanya untuk membungkam orang Papua mencari keadilan”, dimana sesungguhnya itu hanya trik untuk mengedepankan kekerasan dan menciptakan jalan Tol Investasi di tanah Papua. Blok Wabu yang lagi viral, bahkan Haris Azhar disomasi, sementara dia hanya moderator dalam acara tersebut.

Pak Presiden yang terhormat, kami tahu bahwa selama kepemimpinan bapak, banyak sekali masalah-masalah bangsa, baik masalah pelanggaran Ham, masalah ekonomi, masalah rasisme dan masalah intoleran. Di Papua, banyak rakyat masih mengungsi. Setelah di Intan Jaya, Nduga dan Puncak Papua, sekarang rakyat di Maybrat pun mulai mengungsi. Rakyat traoma dengan pendekatan militer. Pak Presiden barang kali sering ke Papua, tapi kami tak paham apa yang pak Presiden lakukan di Papua, karena tidak menyelesaikan kejahatan HAM dan masalah-masalah di Papua. Bahkan banyak pengungsian, masyarakat adat makin kehilangan tanah adat. Markus menyebutnya “tidak ada masa depan orang Papua di Indonesia”.

Pak Presiden yang terhormat, kejahatan rasisme terhadap orang Papua begitu tinggi. Orang Papua seakan tak layak hidup di Indonesia. Filep Karma menulis buku dengan judul “seakan kitong setengah binatang”. Buku itu mencerikan situasi objektif orang Papua selama di Indonesia. Bahkan tokoh nasional asal Papua, Natalius Pigai selalu disebut “Monyet, Gorila”. Kau diam tanpa kata. Bahkan Kabinet Pak Presiden hampir semua ras Melayu, bukankah itu juga praktek rasisme? Belum lagi dirjen-dirjen dan hampir semua pegawai di Kementerian (rasisme dalam distribusi kekuasaan). Bahkan seorang menteri masih mengeluarkan bahasa yang tendensius rasisme tapi tetap dibiarkan tanpa tegur.

Pak Presiden yang terhormat, atas semangat melawan kejahatan terhadap ras, Viktor Yeimo berjuang bersama seluruh rakyat di tanah Papua yang merasa hitam dan kriting. Perjuangannya menyangkut harga diri dan martabat orang hitam yang diinjak-injak. Viktor Yeimo seharusnya diberikan penghargaan, karena ketika pak Presiden membisu soal rasisme, Viktor Yeimo bangkit dan bersuara lantang untuk melawan rasisme. Viktor pantas diberikan penghargaan sebagai tokoh penghapus rasisme. Sayangnya, malah Viktor Yeimo ditangkap dan dicari-cari deliknya.

Pak Presiden yang terhormat, kenapa Viktor dikenakan delik makar yang dalam hukum pidana tidak ada kesesuaian? bahkan pasal-pasal yang dikenakan pada Viktor pernah juga dikenakan pada 7 aktivis Papua yang dalam putusan PN-nya mereka dinyatakan bebas, artinya bahwa pasal tersebut sesungguhnya tidak layak dikenakan pada Viktor (yuris prudensi), apalagi Viktor hanya terlibat dalam aksi 19 agustus 2019. Terkesan adanya dugaan membelenggu kebebasannya. Bahkan dalam tahanan, Viktor sekarang sakit.

Pak Presiden yang terhormat, Papua punya banyak sekali masalah yang tidak pernah terselesaikan. Bahkan, Otsus yang dipaksakan hanya memperpanjang jalan menuju marjinalisasi dan kepunahan, hal itu bisa dilihat dari pasal-pasal yang tidak jelas antara problematika di Papua dan rumusan pasal, belum lagi cara pandang Jakarta yang hanya diukur dari uang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merumuskan adanya 4 masalah besar di Papua, rumusan itu dalam situasi adanya Otsus, dan masalah itu masih terus terjadi dan makin parah.

Pak Presiden yang terhormat, Indonesia itu sistim pemerintahannya adalah presidensil, artinya bahwa Indonesia bisa maju dan damai tergantung pada seorang pemimpin yang bernama Presiden. Hal itu juga yang pernah dilakukan oleh Gus Dur dan bisa menciptakan Papua damai. Mestinya di era baru, era digital dan modern sekarang jauh lebih damai dan bermatarbat, sayangnya, berbalik arah jauh.

Pak Presiden yang terhormat, Papua itu bukan tanah kosong. Papua dihuni oleh 7 wilayah adat masyarakat yang terdiri lebih dari 250 suku. Setiap suku memiliki batasan wilayah adat. Bahkan sebelum sentuhan dengan dunia luar, satu suku dengan suku yang lain, tahu menghormati dan menghargai batasan-batasan suku, begitu juga batasan-batasan marga. Bahkan di Jaman Belanda, hal itu dihargai dan dihormati, bahkan Belanda melindungi, membimbing dan membangun Papua dengan pendekatan kemanusiaan dan pendekatan kultur. Sayangnya, di Jaman Indonesia, semuanya hilang dan lenyap. Investasi masuk ke Papua dengan menghancurkan tanah adat dan merampas seluruh tanah adat tanpa menghormati dan menghargai masyarakat adat, pelanggaran HAM tinggi, kerusakan lingkungan dimana-mana, rakyat makin marjinal dan kehilangan sumber makanan mereka. Ini macam dugaan adanya jajahan baru.

Pak Presiden yang terhormat, masalah Papua selama kepemimpinan bapak, masalah kian rumit bahkan istilah bagi pejuang politik saja dilebeling teroris, pada hal ukuran teroris jelas dan unsur-unsur juga jelas. Dampaknya adalah pengiriman pasukan yang berlebihan dan melahirkan pelanggaran HAM serius karena rakyat mengungsi dari tempat tinggal mereka (banyak yang korban di pengungsian). Bahkan dalam pengungsian negara mengabaikan rakyat yang ada di pengungsian (by omission). Sementara, pejuang Indonesia di Jaman Belada pun tidak pernah disebut teroris karena mereka berjuang untuk kemerdekaan atau berjuang untuk capaian politik Indonesia merdeka.

Pak Presiden yang terhormat, mengakhiri tulisan ini, saya meminta pada pak Presiden agar lakukan dua hal untuk selesaikan masalah di Papua, yaitu: (1) Bebaskan Viktor Yeimo. Walau Eksekutif tidak bisa ikut campur dalam rana Yudikatif, tapi presiden bisa lakukan beberapa hal yaitu (a) perintahkan Kapolri untuk tertibkan kepolisian di daerah agar professional dan kedepankan prinsip hukum, bukan politik atau tindakan bias hukum dan berikan sanksi pada mereka yang bias hukum, bila perlu dipecat karena ini menyangkut marwah hukum; (b) perintahkan Kejaksaan Agung untuk evaluasi kejaksaan di daerah agar menunjukan profesionalisme, serta untuk Viktor segera dipindahkan tahanannya dari Mako Brimob ke Lapas dan segera memenuhi kebutuhan kesehatan Viktor. Prinsip-prinsip kemanusiaan harus diperintahan untuk dipatuhi apalagi jelas dalam aturan hukum, dan jika lalai, diberikan sanksi serius karena ini ancaman bagi hak orang dalam mendapatkan keadilan; (c) meminta Komnas HAM untuk segera lakukan penyelidikan adanya dugaan pelanggaran HAM terhadap Viktor; (2) Lakukan Perundingan dengan ULMWP dengan cara (a) mengumumkan ke publik bahwa untuk menyelesaikan masalah di Papua, akan digelar perundingan (b) menunjuk Wakil Presiden sebagai penanggungjawab politik (c) mengangkat special Envoy untuk mempersiapkan tahapan perundingan.

Pak Presiden yang terhormat, demikian surat terbuka yang saya sampaikan kepada bapak agar kiranya ditindaklanjuti oleh bapak Presiden agar dapat mewujudkan Papua tanah damai dan agar ada keadilan bagi Viktor, dan kiranya hukum benar-benar bisa hadir sesuai dengan prinsipnya, serta agar rasisme pun hilang dan tidak ada lagi kejahatan kemanusiaan di Papua dam bagi orang Papua. Dan Jika adanya upaya politisasi yang dilakukan oleh penegak hukum, harus diberi sanksi yang berat karena penegak hukum adalah cerminan hukum.

Penulis surat terbuka adalah Marthen Goo, aktivis kemanusiaan asal Papua.