Utama, BULIR.ID – Keith Payne, pakar psikologi dan neuroscience dari University of Nort Carolina, AS, menulis dalam bukunya berjudul The Broken Ladder pada 2017 bahwa ketimpangan akan berpengaruh pada bagaimana seseorang berpikir, menjalani hidup, hingga responsnya dalam menghadapi ancaman kematian.
Buku ini mencerminkan apa yang terjadi di Indonesia saat ini ketika anggapan ketimpangan telah mempengaruhi cara orang berpikir saat merespons suatu persoalan.
Dalam konteks sebuah kebijakan misalnya, penerapan protokol kesehatan pun dilihat dengan kaca mata yang berbeda dari berbagai macam sudut pandang.
Ini pun berlaku pada rumus yang dirancang oleh Payne bahwa ketimpangan menyebabkan perpecahan sosial dan keberpihakan politik.
Payne membuat studi dalam surveinya dan menemukan bahwa responden yang berkontribusi besar atas sesuatu atau orang yang melihat diri mereka sebagai yang berkinerja tinggi cenderung menginginkan orang yang berkinerja rendah dikecualikan dari pengambilan keputusan atau bahkan benar-benar dicabut haknya.
Sebaliknya, responden yang melihat diri mereka sebagai yang berkinerja rendah ingin setiap orang memiliki suara yang sama, bahkan untuk mereka yang tidak sependapat.
Konsep ini menjadi demikian relevan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia dalam kasus Presiden Joko Widodo dilaporkan telah melanggar aturan mengenai kerumunan saat kunjungan kerjanya ke Nusa Tengga Timur (NTT) beberapa waktu lalu.
Beberapa berpendapat dan mengaitkan peristiwa ini dengan kerumunan yang pernah terjadi dalam kasus Rizieq Shihab.
Memang penerapan protokol kesehatan saat ini menjadi hukum tertinggi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam kondisi yang sangat ideal siapa pun pelanggarnya akan menanggung sanksi.
Namun apakah kedua kasus tersebut layak diperbandingkan dalam satu konteks?
Kebencian vs Penegakan Aturan
Upaya pelaporan Presiden Jokowi atas pelanggaran kerumunan kemudian memancing diskusi yang mendalam terkait motif yang melatarbelakanginya.
Apakah pelaporan dimaksud lantaran ada kebencian terhadap Jokowi secara pribadi atau untuk alasan yang lebih luas seperti penegakan aturan?
Di luar semua itu, banyak masyarakat NTT membuat pembelaan bahwa mereka terlampau antusias menyambut kedatangan Presiden sehingga mereka siap dipersalahkan atas apa yang terjadi.
Beberapa di antaranya seperti Koordinator Relawan Jokowi-Makruf Amin Negeriku Indonesia Jaya C Suhadi misalnya sangat menyesalkan pelaporan Presiden Joko Widodo ke Mabes Polri, berkaitan dengan masalah kunjungan kerjanya ke di NTT untuk meresmikan waduk.
Menurut Suhadi, kejadian itu berbeda jauh dengan kejadian di tempat-tempat lain yang pernah ada tapi terjadi masalah, ia menegaskan bahwa kasus yang terjadi jelas berbeda dan tidak bisa dipukul rata.
Presiden datang ke NTT untuk melakukan peninjauan waduk namun masyarakat secara spontan datang agar bisa melihat pemimpinnya dari dekat.
Ia menilai tidak ada unsur apapun yang terindikasi melawan hukum karena tidak ada ajakan untuk berkerumun atau undangan kepada masyarakat agar hadir di satu tempat tanpa protokol kesehatan.
Suhadi menilai apa yang terjadi di NTT lebih merupakan spontanitas dan tidak ada unsur perencanaan yang mengarah pada terciptanya kerumunan.
Ia pun meminta agar semua pihak kembali melihat persoalan dari perspektif yang obyektif, sehat, realistis dan berkeadilan, jangan semua orang berkerumun dijadikan persoalan.
“Bagaimana orang yang berkerumun di pasar yang terjadi setiap hari, tidak bisa disalahkan karena melakukan kegiatan ekonomi,” ungkapnya.
Suhadi meminta agar semua pihak menyikapi keberadaan Presiden sebagai kepala negara dan kehadirannya bukan semata-mata untuk mengundang masyarakat berkerumun. Menurut dia Presiden hadir dalam rangka meresmikan bendungan, sama sekali bukan untuk kampanye politik.
Ketidaksukaan kepada seseorang secara pribadi memang kerap kali membuat seseorang ingin mencari celah kesalahan dengan lebih mudah.
Presiden Mengingatkan
Di tengah pandemi, menjadi sosok yang selalu berada dalam “spot light” seperti Presiden Jokowi tentu akan sulit.
Keberadaannya cenderung akan mengundang perhatian orang untuk mendekat, dan Presiden Jokowi menyadari benar akan hal itu.
Sebagaimana disampaikan Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Negara Bey Triadi Machmudin yang menegaskan Presiden selalu mengingatkan dalam berbagai kesempatan agar kebijakan diterapkan dengan ketat termasuk protokol kesehatan.
Pun demikian ketika kunjungan kerjanya di Maumere. Setibanya di Maumere, ketika itu Presiden dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Bendungan Napun Gete.
Saat dalam perjalanan, ternyata masyarakat sudah menunggu rangkaian mobil kepresidenan di pinggir jalan, saat rangkaian melambat masyarakat maju ke tengah jalan sehingga membuat iring-iringan berhenti.
Spontanitas dan antusiasme masyarakat Maumere saat menyambut kedatangan Presiden Jokowi menjadi tidak terelakkan. Tetapi Bey mengatakan Presiden ketika itu menyapa masyarakat, sekaligus mengingatkan penggunaan masker.
Presiden menjadi bagian dari kampanye besar dalam melakukan protokol kesehatan. Kecenderungan masyarakat untuk mengimitasi pemimpinnya disadari benar oleh Presiden Jokowi.
Oleh karena itu, ia terlihat selalu dan senantiasa menggunakan masker dengan cara yang benar dalam setiap kesempatan dan interaksi dengan masyarakat.
Bahkan sistem kerjanya pun berubah dengan lebih banyak melakukan kerja secara daring, memberikan pidato kunci dalam lebih banyak pertemuan secara daring, hingga rapat-rapat penting secara virtual conference.
Presiden sadar benar bahwa protokol kesehatan harus dijalankan dengan baik oleh masyarakat. Untuk itu seorang pemimpin harus memberikan teladan yang baik.
Dalam kasus ini, ada persamaan sekaligus perbedaan mendasar dengan sejumlah kasus yang terjadi sebelumnya. Faktanya sama bahwa seorang pemimpin akan cenderung menyedot perhatian.
Namun yang berbeda adalah bagaimana seorang pemimpin memiliki kesadaran untuk menerapkan penegakan hukum alih-alih mengajak untuk melanggar aturan.
Sumber: Antara