Oleh: Gregorius Sukur
OPINI, Bulir.id – Goenawan Muhammad dalam sebuah catatan pinggir seri-4 menulis demikian: “Mengapa merdeka?“ Baginya, pertanyaan itu penting, mengingat hari ini, kemerdekaan yang dirayakan setiap tanggal 17 Agustus cenderung diamini sebagai warisan tradisi yang kaku (take for granted).
Wacana yang sering kita dengar menjelang Agustus adalah soal bagaimana mengisi kemerdekaan, seakan-akan kemerdekaan adalah ruang kosong yang perlu dihiasi dengan aneka macam kegiatan menarik, necis dan kadang menghebohkan. Namun pada sisi yang lain, kita lupa cerita dari seorang veteran perang berusia 81 tahun bernama Gani yang terpaksa menghabiskan sisa waktu hidupnya di rumah sederhana, di bibir sebuah kali yang menyusuri Kota kecil Cirebon (Merdeka.Com). Mungkin ia bertanya: “Untuk apa merdeka?”
Kemerdekaan dalam pengertian historis adalah pengakuan akan kedaulatan, kemandirian, otonomi suatu Negara. Hal itu dirumuskan secara rinci oleh Soekarno, Hatta dan Soebardjo di ruang makan Maeda. Naskah sebanyak dua alinea yang penuh dengan pemikiran tersebut lalu selesai dibuat 2 jam kemudian.
Naskah itu diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik dan diproklamirkan secara lantang pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 03.00 WIB. Ini adalah sebuah penegasan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah sebatas pemberian belaka, melainkan pencapaian atas proses perjuangan dan pengorbanan yang panjang serta penuh duka dan lara di Tanah Air beta.
Mardiyanto S.H. Lebih jauh merumuskan secara filosofis konsep kemerdekaan Indonesia itu ke dalam tiga anasir penting, yakni ontologi (eksistensi realitas), epistemologi (esensi realitas), dan aksiologi (nilai realitas). Secara ontologi, kemerdekaan Indonesia adalah realitas nyata perwujudan dari kehendak masyarakat Indonesia untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai bangsa yang merdeka. Secara epistemologis, kemerdekaan Indonesia adalah konstruksi berpikir para founding fathers tentang design Negara yang merdeka dengan segenap cita-cita kemerdekaannya. Secara aksiologi, kemerdekaan Indonesia adalah upaya untuk memperjuangkan sebuah nilai (value). Nilai yang secara tegas menentang setiap bentuk kolonialisme di atas dunia.
Leo Kleden meringkas gagasan penting itu dengan rumusan yang sederhana, yang ia sebut sebagai “Meta Poetik”. Meta poetic adalah semacam “grand narasi” atau kisah dari semua kisah. Kisah yang melahirkan suatu bangsa yang kokoh. Ia mengambil contoh Bangsa Israel yang tercerai-berai tetapi menjadi kuat karena unsur “meta poetik” kisah mereka terus dirawat. Sebagai kontrari bangsa-bangsa besar lainnya, misalnya Babilonia, hilang ditelan sejarah karena mereka tidak memiliki “meta poetik” yang sama kuat.
Bercermin pada kisah itu, maka perayaan 17 Agustus mesti menjadi momen sekaligus momentum yang baik agar “meta poetic” bangsa ini tetap terjaga dan terawat dengan baik. Ingatan kolektif kita terhadap kemerdekaan mesti dihidupi secara terus menerus. Meminjam Rocky Gerung, “sudah saatnya Indonesia dibangun bukan di atas Big Data melainkan Big Ideas”.
Melalui cara berpikir yang demikian, maka kita akhirnya cukup mampu untuk menjawab pertanyaan yang enggan kita ucapkan: “Mengapa merdeka?” Jawabannya jelas, bahwa orang ingin merdeka karena ia tahu apa artinya tidak merdeka. “Tahu” di sini juga berarti mengalami apa yang mereka alam pada masa lampau, bahwa tidak merdeka berarti adalah suatu keadaan di mana kita dihina, dibentak-bentak, ditempeleng, dilempar ke dalam sel dan atau dibunuh. Akhirnya selamaat merayakan 17 Agustus. Merdeka!*