Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme

0

Oleh: Ir. Soekarno (Bung Karno)

 

Sebagai Aria Bima-putera, yang lahirnya dalam zaman perjuangan, maka INDONESIA-MUDA inilah melihat cahaya hari pertama-tama dalam zaman yang rakyat-rakyat Asia, lagi berada dalam perasaan tak senang dengan nasibnya. Tak senang dengan nasib-ekonominya, tak senang dengan nasib-politiknya, tak senang dengan segala nasib yang lain-lainnya.

Zaman “senang dengan apa adanya”, sudahlah lalu.

Zaman baru: zaman muda, sudahlah datang sebagai fajar yang terang cuaca.

Zaman teori kaum kuno, yang mengatakan, bahwa “siapa yang ada di bawah, harus terima-senang, yang ia anggap cukup-harga duduk dalam perbendaharaan riwayat, yang barang kemas-kemasnya berguna untuk memelihara siapa yang lagi berdiri dalam hidup”, kini sudahlah tak mendapat penganggapan lagi oleh rakyat-rakyat Asia itu. Pun makin lama makin tipislah kepercayaan rakyat-rakyat itu, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu, adalah sebagai “voogd” yang kelak kemudian hari akan “ontvoogden” mereka; makin lama makin tipislah kepercayaannya, bahwa rakyat-rakyat yang mempertuankannya itu ada sebagai “saudara-tua”, yang dengan kemauan sendiri akan melepaskan mereka, bilamana mereka sudah “dewasa”, “akil-balig”, atau “masak”.

Sebab tipisnya kepercayaan itu adalah bersendi pengetahuan, bersendi keyakinan, bahwa yang menyebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasyhuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukan keinginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negeri rakyat yang menjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banyaknya penduduk, – sebagai yang telah diajarkan oleh Gustav Klemm –, akan tetapi asalnya kolonisasi ialah teristimewa soal rezeki.

“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal – hidup dalam tanah-airnya sendiri”, begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-­rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain! Itulah pula yang menjadi sebab rakyat-rakyat itu menjajah negeri-negeri, di mana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula yang membikin “ontvoogding”-nya ne­geri-negeri jajahan oleh negeri-negeri yang menjajahnya itu, sebagai suatu barang yang sukar dipercayainya. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinya, jika pelepasan bakul itu mendatangkan matinya!

Begitulah, bertahun-tahun, berwindu-windu, rakyat-rakyat Eropah itu mempertuankan negeri-negeri Asia. Berwindu-windu rezeki-rezeki Asia masuk ke negerinya. Teristimewa Eropah-Barat lah yang bukan main tambah kekayaannya.

Begitulah tragiknya riwayat-riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan akan tragik inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu; sebab, walaupun lahirnya sudah alah dan takluk, maka Spirit of Asia masihlah kekal. Roh Asia masih hidup sebagai api yang tiada padamnya! Keinsyafan akan tragik inilah pula yang sekarang menjadi nyawa pergerakan rakyat di Indonesia-kita, yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: NASIONALISTIS, ISLAMISTIS dan MARXISTIS lah adanya.

Mempelajari, mencahari hubungan antara ketiga sifat itu, membuktikan, bahwa tiga haluan ini dalam suatu negeri jajahan tak guna berseteruan satu sama lain, membuktikan pula, bahwa ketiga gelombang ini bisa bekerja bersama-sama menjadi satu gelombang yang maha­besar dan maha-kuat, s a t u ombak-taufan yang tak dapat ditahan terjangnya, itulah kewajiban yang kita semua harus memikulnya

Akan hasil atau tidaknya kita menjalankan kewajiban yang seberat dan semulia itu, bukanlah kita yang menentukan. Akan tetapi, kita tidak boleh putus-putus berdaya-upaya, tidak boleh habis-habis ikhtiar menjalankan kewajiban ikut mempersatukan gelombang-gelombang tadi itu! Sebab kita yakin, bahwa  p e r s a t u a n l a h  yang kelak kemudian hari membawa kita ke arah terkabulnya impian kita: Indonesia-Merdeka!

Entah bagaimana tercapainya persatuan itu; entah pula bagaimana rupanya persatuan itu; akan tetapi tetaplah, bahwa kapal yang membawa kita ke-Indonesia-Merdeka itu, ialah Kapal-Persatuan adanya! Mahatma, jurumudi yang akan membuat dan mengemudikan Kapal­Persatuan itu kini barangkali belum ada, akan tetapi yakinlah kita pula, bahwa kelak kemudian hari mustilah datang saatnya, yang Sang-Mahatma itu berdiri di tengah kita! …

Itulah sebabnya kita dengan besar hati mempelajari dan ikut meratakan jalan yang menuju persatuan itu. Itulah maksudnya tulisan yang pendek ini.

Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme!

Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi r o h n y a pergerakan-pergerakan di Asia itu. R o h n y a pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini.

Partai Boedi Oetomo, “marhum” Nationaal Indische Partij yang kini masih “hidup”, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa; Partai Komunis Indonesia, dan masih banyak partai-partai lain … itu masing­-masing mempunyai roh Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme adanya. Dapatkah roh-roh ini dalam politik jajahan bekerja bersama-sama menjadi satu Roh yang Besar, Roh Persatuan? Roh Persatuan, yang akan membawa kita ke lapang ke-Besaran?

Dapatkah dalam tanah jajahan pergerakan Nasionalisme itu dirapatkan dengan pergerakan Islamisme yang pada hakekatnya tiada bangsa, dengan pergerakan Marxisme yang bersifat perjuangan internasional?

Dapatkah Islamisme itu, ialah sesuatu agama, dalam politik jajahan bekerja bersama-sama dengan Nasionalisme yang mementingkan bangsa, dengan materialismenya Marxisme yang mengajar perbendaan?

Akan hasilkah usaha kita merapatkan Boedi Oetomo yang begitu sabar-halus (gematigd), dengan Partai Komunis Indonesia yang begitu keras sepaknya, begitu radical-militan terjangnya? Boedi Oetomo yang begitu evolusioner, dan Partai Komunis Indonesia, yang walaupun kecil sekali, oleh musuh-musuhnya begitu didesak dan dirintangi, oleh sebab rupa-rupanya musuh-musuh itu yakin akan peringatan A l  C a r t h i l l, bahwa “yang mendatangkan pemberontakan-pemberontakan itu biasanya bagian-bagian yang terkecil, dan bagian-bagian yang terkecil sekali”?

Nasionalisme! Kebangsaan!

Dalam tahun 1882 Ernest Renan telah membuka pendapatnya tentang faham “bangsa” itu. “Bangsa” itu menurut pujangga ini ada suatu nyawa, suatu azas-akal, yang terjadi dari dua hal: pertama-tama rakyat itu d u l u n y a harus bersama-sama menjalani satu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, keinginan hidup menjadi satu.

Bukannya jenis (ras), bukannya bahasa, bukannya agama, bukannya persamaan butuh, bukannya pula batas-batas negeri yang menjadikan “bangsa” itu.

Dari tempo-tempo belakangan, maka selainnya penulis-penulis lain, sebagai Karl Kautsky dan Karl Radek, teristimewa O t t o  B a u e r  lah yang mempelajari soal “bangsa” itu.

“Bangsa itu adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, begitulah katanya.

Nasionalisme itu ialah suatu iktikad; suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu ada satu golongan, satu “bangsa”!

Bagaimana juga bunyinya keterangan-keterangan yang telah diajarkan oleh pendekar-pendekar ilmu yang kita sebutkan di atas tadi, maka tetaplah, bahwa rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri, rasa yang mana adalah perlu sekali untuk mempertahankan diri di dalam perjoangan menempuh keadaan-keadaan, yang mau mengalahkan kita.

Rasa percaya akan diri sendiri inilah yang memberi keteguhan hati pada kaum Boedi Oetomo dalam usahanya mencari Jawa-Besar; rasa percaya akan diri sendiri inilah yang menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusioner-nasionalis dalam perjoangannya mencari Hindia­Besar atau Indonesia-Merdeka adanya.

Apakah rasa nasionalisme, – yang, oleh kepercayaan akan diri sendiri itu, begitu gampang menjadi kesombongan-bangsa, dan begitu gampang mendapat tingkatnya yang kedua, ialah kesombongan-ras, walaupun faham ras (jenis) ada setinggi langit bedanya dengan faham bangsa, oleh karena ras itu ada suatu faham biologis, sedang nationaliteit itu suatu faham sosiologis (ilmu pergaulan hidup),  – apakah nasionalisme itu dalam per­joangan-jajahan bisa bergandengan dengan Islamisme yang dalam hakekatnya tiada bangsa, dan dalam lahirnya dipeluk oleh bermacam­macam bangsa dan bermacam-macam ras; -apakah Nasionalisme itu dalam politik kolonial bisa rapat-diri dengan Marxisme yang internasional, inter-rasial itu?

Dengan ketetapan hati kita menjawab: bisa!

Sebab, walaupun Nasionalisme itu dalam hakekatnya mengecualikan segala fihak yang tak ikut mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” dengan rakyat itu; walaupun Nasionalisme itu sesungguhnya mengecilkan segala golongan yang tak merasa “satu golongan, satu bangsa” dengan rakyat itu; walaupun Kebangsaan itu dalam azasnya menolak segala perangai yang terjadinya tidak “dari persatuan hal-ikhwal yang telah dijalani oleh rakyat itu”, –  maka tak boleh kita lupa, bahwa manusia-­manusia yang menjadikan pergerakan Islamisme dan pergerakan Marxisme di Indonesia-kita ini, dengan manusia-manusia yang menjalankan pergerakan Nasionalisme itu semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu”; – bahwa mereka dengan kaum Nasionalis itu merasa “satu golongan, satu bangsa”; – bahwa segala fihak dari per­gerakan kita ini, baik Nasionalis maupun Islamis, maupun pula Marxis, beratus-ratus tahun lamanya ada “persatuan hal-ikhwal”, beratus-ratus tahun lamanya sama-sama bernasib tak merdeka! Kita tak boleh lalai, bahwa teristimewa “persatuan hal-ikhwal”, persatuan nasib, inilah yang menimbulkan rasa “segolongan” itu. Betul rasa-golongan ini masih membuka kesempatan untuk perselisihan satu sama lain; betul sampai kini, belum pernah ada persahabatan yang kokoh di antara fihak-fihak pergerakan di Indonesia-kita ini, – akan tetapi b u k a n l a h pula maksud tulisan ini membuktikan, bahwa perselisihan itu tidak bisa terjadi. Jikalau kita sekarang mau berselisih, amboi, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang pula!

Maksud tulisan ini ialah membuktikan, bahwa  p e r s a h a b a t a n  bisa tercapai!

Hendaklah kaum Nasionalis yang mengecualikan dan mengecilkan segala pergerakan yang tak terbatas pada Nasionalisme, mengambil teladan akan sabda Karamchand Gandhi: “Buat saya, maka cinta saya pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan bercara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga.” Inilah rahasianya, yang Gandhi cukup kekuatan mempersatukan fihak Islam dengan fihak Hindu, fihak Parsi, fihak Jain, dan fihak Sikh yang jumlahnya lebih dari tigaratus juta itu, lebih dari enam kali jumlah putera Indonesia, hampir seperlima dari jumlah manusia yang ada di muka bumi ini!

Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya bekerja bersama-sama dengan kaum Islamis dan Marxis. Lihatlah kekalnya perhubungan antara Nasionalis Gandhi dengan Pan-Islamis Maulana Mohammad Ali, dengan Pan-Islamis Syaukat Ali, yang waktu pergerakan non-cooperation India sedang menghaibat, hampir tiada pisahnya satu sama lainnya. Lihatlah geraknya partai Nasionalis Kuomintang di Tiongkok, yang dengan ridla hati menerima faham-faham Marxis: tak setuju pada kemiliteran, tak setuju pada Imperialisme, tak setuju pada kemodalan!

Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita ialah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu.

Bahwa sesungguhnya, asal  m a u  sahaja … tak kuranglah jalan ke arah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, keinsyafan akan pepatah “rukun membikin sentausa” (itulah sebaik­-baiknya jembatan ke arah persatuan), cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan dan keseganan antara segala fihak-fihak dalam per­gerakan kita ini.

Kita ulangi lagi: Tidak adalah halangannya Nasionalis itu dalam geraknya, bekerja bersama-sama dengan Islamis dan Marxis.

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah-air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka, – nasionalis yang bukan chauvinis, tak boleh tidak, haruslah menolak segala faham penge­cualian yang sempit-budi itu. Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copie atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, – nasionalis yang menerima rasa-nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti, adalah terhindar dari segala faham kekecilan dan kesempitan. Baginya, maka rasa cinta­bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada lain-lain sesuatu, sebagai lebar dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupya segala hal yang hidup.

Wahai, apakah sebabnya kecintaan-bangsa dari banyak nasionalis Indonesia lalu menjadi kebencian, jikalau dihadapkan pada orang­-orang Indonesia yang berkeyakinan Islamistis? Apakah sebabnya kecin­taan itu lalu berbalik menjadi permusuhan, jikalau dihadapkan pada orang-orang Indonesia yang bergerak Marxistis? Tiadakah tempat dalam sanubarinya untuk nasionalismenya Gopala Krishna Gokhate, Mahatma Gandhi, atau Chita Ranjam Das?

Janganlah hendaknya kaum kita sampai hati memeluk jingo-nationalism, sebagai jingo-nationalismnya Arya-Samaj di India pembelah dan pemecah persatuan Hindu-Muslim; sebab jingo-nationalism yang semacam itu “akhirnya pastilah binasa”, oleh karena “nasionalisme hanialah dapat mencapai apa yang dimaksudkannya, bilamana bersendi atas azas-azas yang lebih suci”.

Bersambung ………..


“Suluh Indonesia Muda”, 1926
Ir. Soekarno (Proklamator & Presiden Republik Pertama Republik Indonesia)
Dicuplik dari Buku “Di Bawah Bendera Revolusi” karya Ir Soekarno – Jilid Pertama Cetakan Ketiga tahun 1964.

Sumber:https://normantis.com/2017/08/17/tulisan-karya-ir-soekarno-nasionalisme-islamisme-dan-marxisme/