Oleh: Wilfrid Valiance, Imam Projo Keuskupan Maumere, mahasiswa calon doktoral Sosiologi UI
Tilik, BULIR.ID – Kunjungan Presiden Joko Widodo dalam rangka peresmian bendungan Napun Gete di Maumere sudah berakhir. Bendungan sudah diresmikan.
Presiden sudah kembali ke istana. Tetapi kontroversi kerumunan di Maumere terus meluas bahkan memicu kisruh politik nasional. Opini-opini yang bertabrakan berkelindan di berbagai platform media.
Perang Framing
Kunjungan presiden dan kerumunan itu terjadi di tengah pandemi Covid 19, persis ketika angka statistik di seantero negri menyentuh titik paling menggelisahkan. Sangat masuk akal bahwa kejadian di sebuah titik kecil republik ini mendapat sorotan nasional. Publik terbelah dan kontroversi merebak.
Kalangan yang membela presiden dan massa yang berkerumun membangun framing “spontanitas”. Logika pembenar framing ini bermacam-macam: Jokowi orang baik, presiden pro rakyat, pemimpin rendah hati dan seterusnya.
Ada lagi alasan emosional pembenar framing ini yaitu kerinduan warga akan kehadiran pemimpin negara setelah terakhir dikunjungi Soeharto. Framing ini didukung koalisi besar warga, tokoh politik nasional dan para aktivis.
Opini mereka jelas, presiden tidak mengundang, sementara warga berkerumun karena tergerak oleh rasa cinta akan pemimpinnya. Maka baik presiden maupun warga yang berkerumun sama-sama tidak bersalah.
Kelompok kontra, menyodorkan framing “petaka Covid”. Framing ini juga didukung warga, tokoh politik nasional, jurnalis dan aktivis nasional. Mereka terang-terangan mengeritik presiden dan warga yang berkerumun.
Caranya bermacam-macam. Mengabaikan perbandingan apple to apple kerumunan Maumere dan Petamburan, mereka menyoroti substansi resiko yang sama yaitu bahwa baik Jokowi maupun Riziek Shihab sama-sama “menciptakan” kerumunan yang potensial bagi ledakan eksponensial penyebaran virus.
Sebagai pemimpin negara dan penanggungjawab kemaslahatan rakyat, presiden, menurut logika framing ini, seharusnya menginstruksikan prototokol kenegaraan ketat untuk mencegah kerumunan.
Framing mana yang paling dapat diterima tergantung dari sudut pandang mana orang membaca fenomena kerumunan Jokowi di Maumere dan kepentingan mana yang hendak dibela.
Para pendukung framing “spontanitas” nampak simpatik karena meengekpresikan apresiasi dan antusiasme sambutan terhadap sosok presiden populis yang merupakan simbol negara hadir.”
Sementara para pembela framing “petaka Covid,” meski menggaungkan signal bahaya, mendapat serangan dan bully massif persis karena yang dikritik adalah seorang presiden.
Problem Panopticon
Benar bahwa baik presiden maupun warga tidak bisa dipersalahkan atas spontanitas yang terjadi. Tetapi tidak benar juga jika setiap kritik selalu dituding sebagai serangan haters dan lawan politik.
Kontroversi kerumunan di Maumere dan framing-framing yang bertabrakan sebetulnya merefleskikan bahwa ada yang salah dalam disiplin tubuh di tengah pandemic Covid 19.
Framing “spontanitas” membuat orang seakan-akan takluk pada otonomi diri dan rela mati atas nama cinta kepada pemimpin kebanggaan.
Sementara framing “petaka Covid” dengan paksaan agar Presiden Joko Widodo menginstruksikan protokol kenegaraan ketat, jelas menegaskan ketergantungan tubuh pada pendiplinan yang dipaksakan.
Persis ini kritik Michael Foucault (1995). Melalui gagasan panopticon, Foucault mengkritisi mekanisme kontrol yang teliti atas tubuh sebagai kejahatan hukum dan beroperasinya kekuasaan yang dipraktekkan melalui menara pengawas (panopticon) dalam penjara-penjara Prancis.
Mekanisme panopticon membuat orang merasa terus terpantau. Orang merasa berada dalam pengawasan permanen meski pengawasan sebenarnya tidak ada. Inti panopticon adalah bahwa orang menjadi disiplin karena merasa diawasi, bukan karena kesadaran internal.*