Logika Kerumunan: Emosi Singkirkan Nalar!

0
Kerumunan Massa menyambut kehadiran Presiden Jokowi di NTT.(Foto:Suara.com)

Oleh: Simon Petu Pane, Tokoh Adat asal Lio, Kabupaten Ende

Jakarta, Bulir.ID – Kunjungan Presiden Indonesia, Joko Widodo, ke Maumere (23/2/2021) memantik perdebatan pro dan kontra. Kelompok pendukung Jokowi cendrung tidak mempermasalahkan kerumunan mesti berpotensi munculnya klaster baru Covid-19. Kelompok ini cendrung melokalisasi isu kerumunan sebagai ekspresi spontan yang sulit dibendung. Sementara kelompok kritis mempermasalahkan kerumunan itu karena melanggar hukum dan mempertontonkan inkonsistensi Pemerintah menegakkan protokol kesehatan.

Sikap pro dan kontra ini persis diwakili oleh empat opini yang ramai dibahas di media-media sosial. Opini pertama ditulis GF Didinong Say, Pengamat Sosial tinggal di Jakarta, berjudul “BKH Lukai Hati dan Bangun Permusuhan dengan Orang NTT”. Opini kedua ditulis Fransisco Soarez, berjudul “Surat Terbuka untuk Benny K. Harman, Anggota DPR-RI”. Opini ketiga ditulis oleh Ferdi Hasiman, berjudul “Benny K Harman dan Metafor Neraka Sartre”. Opini keempat ditulis Deni Sijegal, asal Alok, Lulusan STT Bandung, berjudul “Jawaban Surat Terbuka Fransisco Soarez”.

Keempat opini itu persis mewakili dua posisi di atas, pro dan kontra, dengan dua tokoh sentral yang dibahas: Presiden Indonesia, Joko Widodo dan Anggota DPR-RI, Benny K. Harman. Opini yang ditulis Fransisco Soarez dan GF Didinong Say, membenarkan kerumunan dan penulis cendrung membaca kenyataan faktual dengan porsi sedikit nalar. Sementara opini yang ditulis Ferdi Hasiman dan Deni Sijegal cendrung menempatkan kenyataan faktual di bawah sinaran akal budi.

Opini yang ditulis Fransisco Soarez ditanggapi langsung oleh Deni Sijegal, dan selanjutnya ditanggapi lagi oleh Fransisco Soarez. Dalam surat tanggapannya, Fransisko Soarez, terjebak dalam sesat pikir logika, yang dikenal dengan sebutan sesat pikir presumsi. Jenis sesat pikir ini cendrung digunakan oleh para Advokat dengan mengemukakan bukti yang seharusnya tidak dibuktikan. Sementara bukti yang yang seharusnya dikemukakan justru disembunyikan.

Sejatinya, Fransisco Soarez tidak menanggapi argumen Deni Sijegal yang didukung bukti-bukti dan pola penalaran yang sistematis. Soarez malah menilai atribut-atribut yang remeh temeh. Perbedaan diantara mereka adalah bahwa Deni Sijegal lebih menekankan substansi, sedangkan Fransisco Soarez lebih mementingkan tampilan luar. Fransisco Soarez dan Didinong Say cendrung menekankan bungkusan, sedangkan Deni Sijegal dan Ferdi Hasiman berpikir di level substansi. Yesus mengecam orang-orang Farisi dan Ahli-ahli Taurat, dengan mengatakan seperti ini, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya tampak bersih, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran”.

Soarez dan Didinong Say memutarbalikkan fakta yang jelas-jelas terlihat kasat mata! Kerumunan warga yang jelas-jelas memicu klaster baru covid-19, justru direduksi oleh keduanya menjadi aksi spontan karena rasa cinta. Isi tulisan keduanya menebarkan kesadaran palsu. Palsu dalam pengertian bahwa sesuatu yang jelas-jelas hitam harus dikatakan putih! Jokowi yang jelas-jelas menciptakan kerumunan dan melanggar protokol kesehatan harus dikatakan tidak melanggar!

Orang waras tidak akan terobsesi dengan kerumunan massa di Maumere. Massa yang berkerumun di Maumere bukanlah massa yang dimuliakan seperti dalam teori Karl Marx. Terori Marxis memuliakan massa sebagai penggerak sejarah yang membantu kelahiran tatanan sosial yang adil. Massa yang berkerumun di Maumere itu lebih menyerupai apa yang dikemukakan oleh Psikolog Massa, Gustave Le Bon, massa itu bodoh dan irrasional. Massa yang demikian cendrung menempatkan logika di bawah emosi, membunuh nalar dengan kesan sepintas.

Pendukung Jokowi sendiri menetapkan standar ganda ketika menilai kerumunan massa. Mereka mengecam kerumunan massa di Bandara Soekarno-Hatta dan Petamburan saat Habib Riziqe tiba di Indonesia (10/11/2020). Tapi ketika kelompok massa dari kalangan mereka yang berkumpul dengan melawan protokol kesehatan, mereka malah memujinya. Glorifikasi berlebihan terhadap Jokowi bisa berdampak destruktif. Opini Fransisco Soarez dan Didinong Say cendrung menempatkan diri mereka sendiri dan massa kerumunan seperti kodok rebus. Kalau kodok ditaruh dalam air mendidih, katak tersebut akan melompat keluar. Namun apabila kataknya ditaruh di air dingin yang dipanaskan perlahan-lahan, katak tersebut tidak akan mengetahui bahayanya. Air semakin panas dan katak lupa bahwa dia sudah mati dalam rebusan.

Dalam banyak postingan, pendukung Jokowi tidak mau menyamakan kerumunan Maumere dengan kerumunan di Bandara Soekarno Hatta dan Petamburan. Mereka berargumen bahwa Laut Jawa tidak boleh disamakan dengan Laut Sawu. Padahal orang waras akan berpikir bahwa dua-duanya sama-sama asin! Tapi argumen pendukung Jokowi juga bisa diterima bahwa dua kerumunan itu tidak boleh disamakan. Karena kerumunan Bandara Soekarno-Hatta dan Petamburan membuat Habib Risiqe masuk bui, sedangkan kerumunan Maumere hanya membuat Jokowi masuk mobil!