Utama. Bulir.id – Filsuf Arthur Schopenhauer punya satu ungkapan yang khas: “velle non docere”. “Jangan coba mengajari [seseorang] apapun”. Bagi Schopenhauer hidup hanyalah ke-putus asa-an dan kesia-siaan. Segala sesuatu pada akhirnya tidak dapat diubah, sehingga lebih baik menanam kangkung atau bernyanyi, daripada mengajarkan orang mengubah takdir.
Karenanya, jika takdir adalah belenggu, maka pendidikan adalah upaya tanpa faedah. Bagaimana pendidikan mau merubah manusia, jika pada akhirnya suratan nasib tak terelakkan?
Kita tahu bahwa Scopenhauer adalah wakil dari pesimisme. Namun, dunia tampaknya tidak berpihak pada kaum pesimis, sebagaimana dunia tampaknya menolak Schopenhauer di masa hidupnya, dan lebih hangat menyambut saingannya yang bersemangat dan optimis; Hegel.
Hegel yang optimis mau memahami segenap realitas. “Yang ada itu rasional, dan yang rasional itu ada” Ungkapnya. Namun, Hegel tampaknya gagal, karena pada akhirnya realitas adalah misteri, dan segenap realitas tidak mungkin dipahami sepenuhnya secara rasional. Rasionalitas sejati justru terletak pada pengakuan akan batas nalar dan adanya misteri.
Di tengah pesimisme dan optimisme, terdapat jalan tengah yang ditekankan dalam religiositas, yaitu “harapan”.
Harapan bukanlah pesimisme, karena harapan mengandaikan keyakinan positif akan sesuatu. Namun, harapan juga bukanlah optimisme, karena optimisme mengandung sebentuk kesombongan, bahwa semuanya seakan sudah berada dalam kendali dan genggaman.
Harapan mengandung keyakinan bahwa hal ikhwal dapat berjalan baik, namun juga ada bentuk rasa mawas diri, bahwa hal ikhwal sering tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan. Dalam harapan, orang sadar bahwa biar realitas bisa kelam, tetap ada setitik cahaya, yang dengannya arah perjalanan tertuju. Dalam harapan, orang tahu bahwa kegagalan bisa saja menanti. Namun, orang berpengharapan pasti akan selalu bangun kembali tiap kali jatuh, oleh keyakinan akan terbitnya terang, walau samar di kejauhan.
Kiranya roh pendidikan di bagian Timur Indonesia adalah harapan. Pelbagai kesulitan serta minimnya infrastulruktur adalah bagian dari nafas hidup kami. Ada sekolah yang bacaannya sebagian besar terdiri atas buku cerita sumbangan sejak masa pemerintah Orde Baru. Banyak tempat belum tersentuh internet. Jangan tanya tentang peralatan penelitian atau laboratorium. Bisa didaftarkan pelbagai kesulitan lainnya. Namun, harapan bertumbuh paling indah dan subur di sini.
Jika anda seorang yang pesimis, anda akan menemukan lahan paling subur di Timur, dan pendidikan pasti macet. Jika anda orang optimis, maka anda akan mudah jatuh tanpa bangkit lagi, karena pelbagai hal ikhwal kadang tidak bisa ditebak dan sering di luar perkiraan. Di Timur Indonesia, anda harus mempunyai harapan, karena tidak ada yang mudah, semua serba sulit, namun tetap ada hal baik yang bisa dicapai.
Saya teringat orang-orng berpengharapan, seperti sahabat saya Gody Usnaat yang menjadi guru di pedalaman Papua. Mereka telah menyalakan lilin harapan, tanpa menepuk dada. Justru dengan segenap kesunyiannya, ia jadi produktif dan berhasil menulis buku “Mama Menganyam Noken”; yang berisi puisi-puisi yang menyentuh.
Kita juga mesti takjub dan hormat pada semua guru di Flores dan Indonesia Timur yang berjuang selama bertahun-tahun, membentuk manusia yang walau keras namun jujur dan setia. Saya ingat akan semua guru sejak sekolah dasar, yang bukan hanya mengajar, namun mendidik dengan seluruh hidup dan keteladanan. Mereka adalah lilin harapan yang terbakar tanpa dikenal, namun memberi jalan bagi suatu dunia baru yang lebih terang.
Di Indonesia Timur kita bisa saksikan semakin banyak orang yang mulai menyalakan lilin harapan. Ada yang melalui kelompok-kelompok pelatihan, kelompok-kelompok literasi, atau para pendidik yang setia. Kita harapkan akan muncul lebih banyak orang atau tokoh yang menyalakan lilin harapan, biar temaram. Sehingga Fajar Timur semakin Bederang.
*sumber: FanPage Dunia Filsafat-Ledalero. Dengan judul Filosofi Harapan di Timur. Penulis: P. Silvester Ule, SVD. Di upload atas izin admin fanpage.