Dilema Pernikahan Beda Agama Dan Kehendak Bebas

0

Oleh: Djanuard Lj*

UTAMA, Bulir.id – Beberapa waktu lalu, saya menghubungi pater Tuan Kopong melalui salah satu media sosialnya untuk sekedar meminta tanggapan terkait berita pernikahan beda agama yang tengah viral di Semarang dan Jakarta. Sebagai seorang awam, saya tergelitik oleh rasa ingin tahu. Sehingga memberanikan diri untuk bertanya pada orang yang tepat, Pater Tuan Kopong.

Beliau adalah salah satu misionaris yang disela-sela kesibukannya sering menulis untuk memberikan tanggapan atas serpihan-serpihan realitas sosial yang sensitif (iman kristiani), di media sosial miliknya.

Pada ulasan singkat itu, Tuan Kopong dengan jelas memberikan pandangan baru. Terlepas dari ajaran iman dan hukum positif tentang pernikahan, beliau secara jelas lebih menekankan tentang kehendak bebas.

Pernikahan beda agama, baginya merupakan sebuah pilihan bebas dari kedua mempelai. Dengannya, kita perlu menghormati pilihan bebas itu tanpa harus menghakimi.

Namun sayang, Tuan Kopong tidak menggali lebih jauh konsep kehendak bebas itu. Mungkin karena kesibukannya dalam karya dan pelayanannya. Beliau belum sempat menjelaskan secara detail konsep kehendak bebas yang dimaksud.

Bagi saya konsep kehendak bebas yang dimulai Tuan Kopong itu menarik untuk digali. Ia telah merangsang dan membangkitkan gairah pikiran saya untuk kembali mengembangkan pemikiran yang telah didahuluinya.

Manusia pada prinsipnya ingin bebas. Bebas menentukan keputusan terkait dengan arah hidupnya. Ingin berpikir dan bertindak bebas, seturut dengan pilihannya.

Keputusan bebas untuk memilih orang yang kita cintai dan agama yang kita anut. Meski demikian kebebasan kita sering kali berbenturan dengan kemampuan dan keadaan diri kita. Sekaligus kita dibatasi oleh masyarakat yang ingin memenjara kita dengan norma-norma yang tak masuk akal, misalnya dalam hal ini norma agama.

Fenomena pernikahan beda agama yang terjadi di Semarang dan Jakarta tersebut kini menjadi topik menarik. Berbagai kalangan angkat bicara, mulai dari tokoh agama, pemerintah dan para aktivis. Masing-masing memberikan pandangan berbeda berdasarkan latar belakang keilmuannya.

Meski demikian saya ingin mengajak untuk melihat fenomena itu dari perspektif yang lain. Sebab manusia bukanlah robot yang hanya bisa digerakkan oleh remot kontrol. Sehinga kita mesti juga mendekatkan diri dengan pendekatan kehendak bebas dan hak asasi yang melekat pada dirinya.

Kehendak Bebas

Manusia merupakan makhluk yang otonom. Sebagai makhluk otonom, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sikap dan pilihannya.

Bagi Immanuel Kant kebebasan adalah otonomi moral. Dalam arti ini otonomi adalah kemampuan orang untuk menentukan dirinya sendiri. Dengan akal budinya orang bisa secara rasional menentukan, apa yang baik dan apa yang jahat. (Kant, Critique of Practical Reason)

Otonomi inilah yang memungkinkan manusia untuk memutuskan dan menentukan pilihannya seturut kehendak bebasnya. Menentukan dengan siapa ia menikah, agama apa yang dianut dan sebagainya.

Ada keyakinan bahwa, keputusan menikah beda agama kedua mempelai itu adalah keputusan yang rasional. Mereka sudah mempertimbangkan situasi secara sadar (rational deliberation) dan rasional (masuk akal) (rational reasoning). Keputusan yang sudah diputuskan secara matang, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.

Manusia memang ciptaan Tuhan. Namun manusia memiliki status istimewa, karena ia memiliki kehendak bebas di dalam dirinya. (Augustine, Confession).

Tuhan pun tidak bisa ikut campur mempengaruhi kehendak bebas manusia. Tuhan bisa memerintah namun manusia bisa menolak, karena ia memiliki kehendak bebas.

Menikah dengan pasangan yang dicinta bukanlah sesuatu ada begitu saja. Ia bukanlah jodoh atau takdir sebagaimana diyakini dalam agama-agama.

Ia bebas memilih seturut kehendak bebasnya. Apakah ia akan menikah dengan si A atau B. Pilihan bebas kedua mempelai itu berimplikasi pada kebahagiaan di masa mendatang.

Dengan demikian siapa pun, baik negara dan agama tidak boleh mengintervensi pilihan bebas tersebut. Kebahagiaan bukan ditentukan oleh aturan agama atau negara melainkan oleh pasangan yang menikah tersebut.

Baik negara maupun agama tidak boleh mengintervensi pilihan bebas pasangan tersebut. Sebab pilihan bebas yang mereka pilih tentu memiliki konsekuensi.

Konsekuensi logisnya adalah keduanya memiliki tanggung jawab untuk mempertanggungjawabkannya di hadapan keluarga dan Tuhan sebagai wujud tertinggi yang mereka yakini.

Sejatinya agama dan negara menghormati pilihan bebas keduanya untuk menikah beda agama. Biarkan tanggung jawab iman itu sebagai tanggung jawab pribadi kedua mempelai yang menikah. Bukan tanggung jawab pemuka agama maupun pemerintah sebagai penyelenggara.

Sebagaimana kebahagiaan itu bersifat subjektif. Tujuan menikah adalah mencapai kebahagiaan. Tak seorang pun bisa menentukan kebahagiaan orang lain Termasuk agama dan negara.

Hak Asasi

Memilih dan menikah merupakan hak asasi yang melekat pada setiap orang. Tidak seorang pun mengintervensi pilihan tersebut.

Mengintervensi pilihan tersebut merupakan pelanggaran dan pelecehan terhadap hak yang melekat pada setiap warga negara.

Agama dan undang-undang hannyalah pedoman untuk menjadikan manusia beradab dan otonom. Bukan mencabut hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia.

Tokoh agama dan penyelenggara negara dan aktivis mestinya membela martabat manusia yang di semua kubu telah dilecehkan sebagai alat-alat ideologis belaka. Melindungi martabat manusia dari penafsiran-penafsiran picik metafisis dan sikap-sikap eksklusivitas dalam agama.

Seperti dalam kedua kasus pernikahan di atas. Kedua fenomena itu sering kali hanya di pandang dari satu perfektif saja (agama) yang cenderung eksklusif dan cenderung tidak mengedepankan humanisme.

Kini kita telah hidup di zaman yang sudah terbuka dan modern. Tanpa harus meninggalkan nilai-nilai positif dari agama dan norma-norma, juga perlu menghargai hak dasar setiap orang dengan tidak kaku mempraktikkan sebuah pandangan ideologis tertentu.

Kita mestinnya memoderasi dan bersikap kritis untuk mengembalikan setiap persoalan pada akal sehat dengan tidak mengesampingkan ajaran agama dan norma.

Martin Luter dan Mahatma Gandhi merupakan dua sosok tokoh spiritual yang boleh dicontoh dalam memperjuangkan humanisme dari bilik agama. Keduanya berjuang untuk menegakkan hak-hak warga negara yang didorong oleh keyakinan religius yang menjangkau aspirasi mendasar manusia. Perjuangan mereka tidak hanya didasarkan pada moral rasional murni melainkan juga dari palung-palung terdalam spiritualitas manusia.

Perlunya keberanian para tokoh agama untuk mempertimbangkan nila-nila humanisme sehingga agama tidak terlihat menjadi kaku. Misalnya dalam fenomena di atas para tokoh agama pun mestinya juga mempertimbangkan nilai-nilai humanisme.

Akhir tulisan ini saya mengutip penggalan kalimat yang ditulis F. Hadirman yang dapat kita refleksikan bersama:

Kita semua berpikir dan percaya; berpikir dengan percaya; percaya dengan berpikir. Jika kepercayaan kita menghalau pemikiran, Itu pun sebuah pikiran melawan pikiran.

Jika pikiran kita menghalau kepercayaan, itu sebuah kepercayaan yang menghalau kepercayaan. Kepercayaan mencari pengetahuan, dan pengetahuan mengokohkan kepercayaan.*