Nikah Beda Agama: Aturan Agama Dan Kehendak Bebas, Sebuah Tanggapan Pater Tuan Kopong MSF

0

Oleh: Tuan Kopong MSF*

UTAMA, Bulir.id – Salah satu tujuan dari perkawinan, apapun agamanya adalah untuk kebahagiaan dan damai sejahterah pasangan suami-istri dan keluarga. Demikian juga semua agama sepakat bahwa untuk masuk dalam jenjang perkawinan harus didasari pada kehendak bebas dari kedua calon pasangan tersebut dan bukan karena paksaan atau akibat dijodohkan.

Beberapa hari terakhir ini, jagad dunia maya dihebohkan dengan perkawinan beda agama yang dilaksanakan di Gereja Santo Ignatius Krapyak-Semarang, pun kemudian dilanjutkan di KUA. Pada upacara itu mempelai wanita mengenakan jilbab. Muncul perdebatan pro dan kontra terhadap perkawinan ini setelah Ahmad Nurcholish (Konselor sekaligus Saksi Nikah Beda Agama) memposting peristiwa ini di akun facebooknya.

“Perbedaan Itu Menyatukan, Bukan Memisahkan. Dua tahun lalu sejoli ini komunikasi dan kemudian bersama ortu pihak perempuan bertemu dengan saya. Setelah itu ada lika-liku dan dinamika diantara keluarga mereka. Tapi hari ini alhamdulillah, puji Tuhan keduanya menyatu dalam pernikahan. Tadi pagi saya dampingi mereka untuk pemberkatan nikah di gereja. Setelah itu, jelang siang dilanjutkan dg akad nikah. Beginilah seharusnya: perbedaan tak (lagi) menjadi penghalang untuk mengarungi hidup bersama dan juga bahagia..Pasangan ke-1.424 @ Semarang.” Demikian petikan caption yang ditulis konselor itu.

Saya sempat diinbox oleh beberapa umat terkait perkawinan ini, tentunya dilihat dari sudut pandangan hukum perkawinan Gereja Katolik. Saya menjawab demikian; perkawinan beda agama ini menjadi viral karena pertama, sang mempelai wanita menggunakan jilbab dan diposting di laman facebook. Padahal kalau kita mau jujur, banyak juga terjadi perkawinan beda agama sebelum-sebelumnya namun tidak heboh, misalnya pasangan Mayong Laksono dengan Nurul Ariffin, mungkin karena menggunakan pakaian adat Jawa.

Kedua saya kalau melihat perkawinan ini dari sudut hukum agama kita; tentu dengan keyakinan semua prosedur termasuk Dispensasi Disparitas Cultus dari Ordinaris Wilayah (Dispensasi Nikah Beda Agama; bdk. Kitab Hukum Kanonik-KHK. 1086 § 1-3 dan Kan. 1125-1126), maka perkawinan mereka sah. Walaupun kemudian dilangsungkan kembali perkawinan di KUA.

Dari kacamata Gereja Katolik, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sudah dilaksanakan di Gereja. Tentu ada situasi yang sangat pelik dihadapi oleh kedua mempelai saat itu sehingga melaksanakan dua kali perkawinan walaupun secara Hukum Gereja Katolik tidak diperkenankan (bdk. KHK-Kan. 1127 § 1-3).

Kan. 1127 § 3: Dilarang, baik sebelum maupun sesudah perayaan kanonik menurut norma § 1, mengadakan perayaan keagamaan lain bagi perkawinan itu dengan maksud untuk menyatakan atau memperbaharui kesepakatan nikah; demikian pula jangan mengadakan perayaan keagamaan, di mana peneguh Katolik dan pelayan tidak Katolik menanyakan kesepakatan mempelai secara bersama-sama, dengan melakukan ritusnya sendiri-sendiri.”

Memang ada larangan seperti itu. Namun saya mencoba untuk melihat kasus ini juga secara bijak dengan keyakinan bahwa pasti ada situasi sulit yang dihadapi mereka berdua. Sehingga dengan pertimbangan dan tentunya melalui pembicaraan antara imam dengan Ordinaris Wilayah atau dengan Bapak Uskup pasti ada langkah pastoral bagi perkawinan ini.

Meski demikian kitapun harus bijak dan arif melihat kasus ini. Ketika dihadapkan pada hukum agama masing-masing maka pandangan dari agama mempelai wanita sudah jelas bahwa melihat perkawinan ini tidak sah. Demikian juga dengan agama Katolik, sebuah perkawinan campur beda agama maupun beda gereja dinyatakan tidak sah ketika tidak ada dispensasi Disparitas Cultus dan Forma Canonica (KHK, Kan 1108).

Artinya masing-masing agama akan melihat dan menilai sah tidaknya sebuah perkawinan campur beda agama dan beda gereja dari sudut hukum agama masing-masing termasuk juga penilaian negara berdasarkan UU Perkawinan seperti perkawinan beda agama di Semarang yang viral, adalah sah-sah saja. Namun jangan sampai perdebatan dengan menggunakan kaca mata hukum agama dan negara melupakan kehendak bebas kedua pasangan yang telah memilih jalan demikian dan tentu sudah menyadari konsekuensi yang akan dihadapi kedepannya.

Mereka yang menjalani, suka duka akan mereka lalui. Bahwa ada hukum agama dan negara yang patut ditaati ya, tapi jangan sampai perdebatan yang demikian membuat kedua pasangan merasa dihakimi dan digugat kebahagiaan mereka melalui ikatan perkawinan suci yang sudah dilaksanakan.

Bagi saya, peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang akan melangsungkan perkawinan campur beda agama dan beda gereja, bahwa perkawinan campur baik beda agama maupun beda gereja tidak semudah yang dijalani seperti waktu masih pacaran.

Sebaiknya kita membantu kedua mempelai, mendoakan mereka dan menjadi teladan bagi mereka agar perkawinan yang sudah dilaksanakan menjadikan mereka satu seumur hidup dan selamanya. Jika ada “kesalahan” yang dilakukan oleh kedua mempelai, mari kita temukan solusi bersama bagi mereka berdua dan membantu mereka menjadi pasangan yang baik dan menjadi teladan.

Kita perlu juga menghargai pilihan dan kehendak bebas mereka berdua, di mana melalui kursus maupun pembinaan mereka tentu sudah siap menghadapi segala konsekuensi ke depannya.*


Manila: 09-Maret 2022

Tuan Kopong MSF