Perjanjian Perkawinan

0

Ditulis oleh : Rio Djajatmadja, S.H. (Advokat/Ketua DPC FAPRI Jakarta Barat)

 

TilikBulir.id. Hukum – Di negara kita, urusan perkawinan di atur dalam sebuah undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan). Perubahan UU Perkawinan di atas memiliki latar belakang terkait dengan terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017, khususnya terkait dengan batas usia minimal perkawinan antara pria dan wanita.  Dalam tulisan kali ini, penulis tidak membahas mengenai adanya perubahan usia minimal perkawinan antara pria dan wanita, namun penulis ingin mengangkat topik mengenai perjanjian kawin.

Dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Perlu digarisbawahi bahwa berdasarkan Pasal di atas, perjanjian kawin dapat dilakukan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Namun, dengan adanya  Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Tahun 2015 (selanjutnya disebut Putusan MK No. 69/2015), ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan telah diubah menjadi sebagai berikut:

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Putusan MK No. 69/2015 ini memang telah memperluas makna perjanjian kawin, sehingga perjanjian kawin dapat dilakukan selama dalam ikatan perkawinan. Hanya saja yang menjadi catatan adalah perjanjian kawin dianggap mengikat atau berlaku apabila perjanjian tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Sesuai Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/2015 disebutkan bahwa perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah perjanjian kawin dapat diubah? Apabila kita merujuk pada Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/2015, disebutkan bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga. Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan tersebut perjanjian kawin tidak dapat diubah atau dicabut kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga. Selain itu terhadap perubahan perjanjian kawin dimaksud harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris.

Terkait dengan Putusan MK No. 69/2015 ada hal menarik lainnya yang dapat dibahas. Adapun Putusan MK dimaksud dimohonkan oleh seorang wanita Warga Negara Indonesia (WNI) bernama Ny. Ike Farida yang menikah dengan Warga Negara Asing (WNA). Yang menjadi latar belakang dari diajukannya permohonan tersebut adalah karena pemohon yang bermaksud untuk membeli sebuah rumah susun (rusun) dengan status Hak Guna Bangunan (HGB), namun setelah pemohon membayar lunas rusun dimaksud, unit rusun tersebut tidak kunjung diserahkan, bahkan perjanjian pembelian dibatalkan secara sepihak oleh pengembang dengan alasan suami dari pemohon adalah seorang warga negara asing dan pemohon tidak memiliki perjanjian kawin, sedangkan pada saat atau sebelum perkawinan, pemohon tidak membuat perjanjian kawin dengan suaminya.

Apabila merujuk pada Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Selanjutnya disebut UUPA) memang disebutkan bahwa yang dapat mempunyai HGB adalah Warga Negara Indonesia. Karena pemohon juga tidak memiliki perjanjian kawin, maka sesuai Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, maka  harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Berdasarkan hal-hal tersebut dianggap bahwa apabila pemohon membeli unit rusun, karena tidak mempunyai perjanjian kawin, maka unit rusun tersebut menjadi harta bersama dan menjadi milik suaminya juga yang seorang warga negara asing. Hal ini telah melanggar ketentuan Pasal 36 ayat (1) UUPA di atas.

Berarti, apakah seorang WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan seorang WNA tidak dapat memiliki unit properti di Indonesia? Jawabannya adalah dapat, namun ada satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu membuat perjanjian kawin. Dengan adanya perjanjian kawin yang menyebutkan poin pemisahan harta, dapat membuat seorang WNI mendapatkan haknya atas kepemilikan properti di Indonesia. Dan berkat Putusan MK No. 69/2015, perjanjian kawin dapat dibuat sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan.

Demikian kiranya, semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. *kontributor Bulir.id