FILSAFAT, Bulir.id – Ungkapan Julius Caesar, “Veni, Vidi, Vici” (“Aku datang, aku melihat, aku menaklukkan”) merupakan salah satu ungkapan paling terkenal dari zaman kuno. Ungkapan terkenal itu menggambarkan kemenangan spektakuler dan cepat atas raja Pontus. Namun, ungkapan itu juga menandai momen ketika Julius Caesar memperoleh kekuasaan absolut di Roma.
Meskipun banyak orang mengetahui ungkapan itu, hanya sedikit yang memahami konteks sejarahnya secara lengkap. “Veni, Vidi, Vici” lebih dari sekadar seruan kemenangan. Itu adalah slogan politik yang sempurna. Sebuah slogan yang menggambarkan Caesar sebagai jenderal yang brilian, politikus yang cerdik, dan seorang pria yang berhasil melakukan apa yang tidak dapat dilakukan oleh para pesaingnya dalam waktu yang jauh lebih singkat.
Sebuah slogan yang menjadikan Julius Caesar sebagai pemimpin, pelopor, yang akan mengubah arah sejarah Romawi. Dengan demikian, “Veni Vidi, Vici” meramalkan transisi Roma dari Republik menjadi Kekaisaran.
Kemenangan Cepat Julius Caesar di Asia
Kisah “Veni, Vidi, Vici,” salah satu frasa dari Julius Caesar, sama menariknya dengan makna frasa itu sendiri. Pada musim panas tahun 47 SM, jenderal Romawi yang hebat itu baru saja meraih kemenangan di Mesir, tempat ia mengalahkan pasukan Ptolemeus, mengamankan takhta untuk sekutu dan gundiknya, Ratu Cleopatra.
Caesar tidak bisa beristirahat lama, karena masalah lain sedang terjadi di Timur. Sementara Caesar disibukkan dengan Perang Alexandrine, Pharnaces II, raja Pontus, kerajaan Helenistik di Asia Keci, memanfaatkan kesempatan itu dan mengalahkan pasukan Romawi di daerah tersebut. Caesar harus bertindak cepat jika ingin meredakan pemberontakan.
Dan dia melakukan hal itu. Dalam sebuah blitzkrieg kuno, Julius Caesar berbaris dengan legiunnya ke utara, mencapai Pontus dalam beberapa minggu. Pharnaces, yang terkejut oleh kecepatan tentara Romawi yang tak terduga, mencoba untuk berunding, tetapi Caesar menolaknya mentah-mentah. Apa yang terjadi selanjutnya adalah salah satu perang Romawi terpendek.
Pada bulan Agustus 47 SM, legiun Romawi mengalahkan pasukan Pharnaces, sehingga mengakhiri kampanye Pontic yang berlangsung selama lima jam. Kemenangan yang cepat dan menentukan itu memunculkan frasa legendaris, “Veni, Vidi, Vici” atau “Saya datang, saya melihat, saya menaklukkan.”
Sumber Slogan
Beberapa sumber mencatat slogan ikonik tersebut, yang paling utama adalah Lives of Twelve Caesars karya Suetonius , Life of Caesar karya Plutarch dan The Histories karya Appian. Akan tetapi, sumber-sumber tersebut tidak sepakat tentang asal-usul dan penggunaan kutipan tersebut secara pasti.
Menurut Plutarch, yang lahir hampir seabad setelah Pertempuran Zela, Caesar menciptakan “Veni, Vidi, Vici” dalam percakapan dengan temannya Amantius. Appian, yang menulis pada abad kedua, mengklaim bahwa frasa ikonik tersebut tidak diucapkan tetapi ditulis dalam sebuah surat yang memberi tahu Senat Romawi tentang kemenangan tersebut.
Yang paling menarik adalah laporan dari Suetonius, yang memberi tahu kita bahwa Caesar menggunakan “Veni, Vidi, Vici” sebagai slogan dalam kemenangannya di Pontus selama parade kemenangan spektakuler di Roma pada tahun 46 SM. Kemenangan itu, yang merupakan bagian dari beberapa kemenangan yang dirayakan Caesar pada kesempatan ini, mengakhiri Perang Mithridatic yang panjang dan mahal yang telah diperjuangkan Roma melawan Pontus selama beberapa dekade. Slogan yang pendek dan kuat itu menyoroti kemenangan Caesar yang cepat dan tuntas serta memperkuat posisinya sebagai orang paling berkuasa di Roma.
Kata-kata Kemenangan
Menurut Suetonius, selama kemenangan pada tahun 46 SM, Julius Caesar memajang plakat (titulus) di antara tandu-tandu prosesi kemenangan. Plakat itu bertuliskan tiga kata yang kuat: “VENI, VIDI, VICI.”
Caesar secara strategis menggunakan frasa ini untuk menekankan kecepatan berakhirnya perang. Tidak seperti beberapa ucapan Caesar yang terkenal lainnya, yang kemungkinan diucapkan dalam bahasa Yunani, “Veni, Vidi, Vici” diucapkan dalam bahasa Latin.
Frasa “Veni, Vidi, Vici” bukan sekadar pernyataan yang berdiri sendiri; frasa itu merupakan elemen strategis dari kampanye politik Julius Caesar yang dikelola dengan cermat. Ditampilkan secara mencolok selama prosesi kemenangannya yang agung, frasa itu menggambarkan Caesar sebagai pemenang yang tak terbantahkan.
Slogan ini dibuat untuk masyarakat, bertindak sebagai perangkat retorika yang sempurna yang merangkum dan menyoroti pencapaian militer dan aspirasi politik Caesar. Julius Caesar kini berada di ambang mengambil alih kekuasaan absolut di Republik Romawi.
Slogan Politik yang Sempurna
Namun, “Veni, Vidi, Vici” memiliki makna lain yang lebih halus dan tidak kalah kuat. Kemenangan Pontic adalah salah satu dari empat kemenangan yang dirayakan Caesar pada tahun 46 SM. Tituli , plakat besar, merupakan bagian penting dari budaya militer Romawi.
Setiap kali para jenderal kembali ke Roma dari kampanye yang berhasil, mereka menyelenggarakan kemenangan mewah untuk merayakan kemenangan mereka. Tituli akan memiliki tujuan yang sama seperti spanduk dan papan reklame modern, menyampaikan informasi penting kepada khalayak ramai. Sebelum Julius Caesar, Pompey yang Agung juga telah menyelenggarakan kemenangan besar setelah kemenangannya di Timur.
Namun pada tahun 46 SM, Pompey meninggal, kekalahan dan kematiannya mengakhiri perang saudara dan menjadikan Caesar sebagai pemenang yang tak terbantahkan. Dengan demikian, kemenangan Caesar di Pontic bukan sekadar perayaan kehebatan militernya, tetapi juga pernyataan politik.
Kemenangan ini memungkinkannya untuk secara halus menutupi kemenangannya dalam perang saudara, yang sering kali dianggap kurang terhormat dibandingkan penaklukan di negeri asing. Yang lebih penting, kemenangan ini juga menampilkan Caesar sebagai orang yang mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh para pendahulunya, termasuk Pompey, yaitu memenangkan Perang Mithridatic, dan dengan kemenangan yang cepat dan spektakuler.
Slogan sebagai Provokasi
Tituli tersebut biasanya menyampaikan perincian praktis tentang kampanye: jumlah musuh yang tewas, tawanan yang ditawan, nilai harta yang disita, dan daftar kota-kota yang ditaklukkan dan dihancurkan. Namun, “Veni, Vidi, Vici” menyampaikan pesan yang berbeda, pesan yang belum pernah terlihat dalam kemenangan Romawi, tetapi juga kecepatan kampanye Pontic yang luar biasa dan penuh kemenangan.
Intinya, “Veni, Vidi, Vici” adalah pernyataan lugas tentang keunggulan Julius Caesar atas musuh-musuhnya, para pesaingnya termasuk Pompey yang Agung dan yang paling penting adalah Senat, yang secara tradisional memerintah Republik Romawi.
Jadi, “Saya datang, saya melihat, saya menaklukkan” merupakan provokasi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu menggambarkan Julius Caesar sebagai seorang jenderal yang menang yang tidak seperti para pendahulunya, hanya menganggap prestasinya sebagai satu-satunya yang patut dipuji.
Ia adalah seorang pria yang dapat mengalahkan siapa pun yang menentangnya, seorang politikus yang kuat yang mampu mengatasi semua rintangan. Seorang pemenang yang siap untuk mengambil alih kekuasaan absolut di Roma. Dan itulah yang telah dilakukan Caesar. Dua tahun setelah kemenangannya yang keempat, pada tahun 44 SM, Julius Caesar menjadi diktator seumur hidup.
Refleksi Caesar
“Veni, Vidi, Vici” adalah mahakarya propaganda Caesar, slogan politik efektif yang tidak hanya menjadi penutup perang Pontic tetapi juga kemenangan Caesar di Galia, Mesir, Afrika, dan perang saudara. Jika “Alea iacta est” (“Biarkan dadu dilempar”) mencerminkan tekad dan kemauan Caesar yang tak tergoyahkan untuk menantang tradisi dan otoritas, bahkan dengan risiko kehilangan segalanya. Maka “Saya datang, saya melihat, saya menaklukkan” dengan sempurna merangkum karakter Julius Caesar dan kariernya yang cemerlang.
Karier Caesar merupakan serangkaian langkah yang diperhitungkan, dari peran dominannya dalam Triumvirat Pertama di mana ia berhasil mengalahkan Pompey dan Crassus, hingga penaklukannya di Galia yang membuatnya mendapatkan kesetiaan tak terbantahkan dari legiunnya dan membuatnya sangat populer. Perannya yang penting dalam perang saudara menjadikan Caesar sebagai satu-satunya penguasa Roma. Pada akhirnya, frasa tersebut menandai ambisi besar Caesar untuk mengambil alih kekuasaan absolut.
“Veni, Vidi, Vici” sebagai Warisan Julius Caesar
Namun, “Veni, Vidi, Vici” juga mencerminkan keangkuhan Caesar, yang akhirnya menyebabkan kejatuhannya. Pada pertengahan bulan Maret tahun 44 SM, tahun yang sama saat ia mendeklarasikan dirinya sebagai diktator seumur hidup, Caesar dibunuh dalam sebuah rencana senat. Namun, para konspirator, yang dipimpin oleh Brutus gagal memutar balik waktu.
Akibat kematian Caesar, terjadi perang saudara lagi, yang semakin merusak fondasi tradisional. Akhirnya, Republik runtuh, dan Kekaisaran Romawi baru muncul. “Veni, Vidi, Vici” dengan demikian menjadi pertanda perubahan, yang menandakan runtuhnya tatanan lama dan munculnya tatanan baru.
Di era baru ini, seorang pria, yang juga disebut Caesar yaitu, kaisar dapat mengambil alih semua prestasinya, berkembang menjadi penguasa absolut yang akan membentuk kembali Roma menurut citranya. Dan seperti Julius Caesar, pria ini akan mengklaim kemenangan demi dirinya sendiri.