Invasi Rusia ke Ukraina Sebuah Keniscayaan?

0

Djanuard Lj*

UTAMA, Bulir.id – Perang sudah terjadi jauh sebelum terbentuknya negara-negara modern. Perang dunia pertama dan kedua telah meluluhlantakkan peradaban dan kemanusiaan menyadarkan manusia untuk hidup damai dan berdampingan satu sama lain.

Kini di zaman kontemporer, warga dunia dikejutkan lagi dengan dentuman bom serta letupan senapan yang dilancarkan oleh militer Rusia terhadap Ukraina. Nagara itu dianggap telah mengancam eksistensi Rusia akibat menjalin hubungan dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO.

Putin memiliki kekhawatiran liberalisasi dan demokratisasi Ukraina akan menyebar ke Rusia, mengancam otoritarianisme kleptokratisnya.

Invasi Rusia itu telah memporakpkrandakan hak dan kebebasan serta kemanusiaan. Sebagai negara yang berdaulat Ukraina memiliki hak untuk menjalin hubungan dengan negara mana pun, tanpa harus ada campur tangan dari pihak lain termasuk Rusia.

Apa pun alasannya secara moral tidak dibenarkan invasi negara yang damai dan berdaulat. Sangat jelas bahwa perang Putin di Ukraina tidak adil dan telah melanggar kemanusiaan sebab telah mencabut manusia dari akar budaya dan kemanusiaannya.

Prinsip dasar humanisme adalah bahwa kita tidak boleh menggunakan kekerasan yang menimbulkan pertumpahan darah. Hal ini berlaku untuk siapa pun termasuk semua negara.

Spekulasi tentang perang dan perdamaian sebagai kondisi hubungan antarnegara cenderung dibagi ke dalam dua kelompok. Mereka yang menganggap perang sebagai hal yang tak terhindarkan, bahkan mungkin diinginkan, dan mereka yang menganggapnya sebagai kejahatan yang mampu digantikan oleh perdamaian abadi.

Kelompok pertama digambarkan sebagai “realis” dan yang kedua sebagai “idealis”, tetapi istilah-istilah ini memiliki kelemahan bahwa para filsuf idealis (dalam pengertian ontologis) seperti Plato dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel sering menerima perang sebagai kondisi permanen manusia.

Pandangan Filsuf Yunani Kuno

Pemikiran Yunani kuno umumnya menerima perang antara negara-kota itu sendiri dan antara orang Yunani dan “orang barbar” sebagai bagian dari tatanan alam. Dewa-dewa Yunani adalah jenis yang suka berperang yang berkuasa setelah perjuangan brutal dengan para Titan.

Pandangan tentang perang yang lazim di Yunani adalah pandangan Heraclitus dari Efesus. Heraclitus mengajarkan, perang adalah “bapak dari semua dan raja dari semua.” Melalui perang kondisi umat manusia saat ini, beberapa orang bebas dan beberapa diperbudak, telah berkembang.

Jika perselisihan antara unsur-unsur yang bertikai di alam dihapuskan, tidak ada yang bisa terjadi. “Segala sesuatu,” menurut Heraclitus, “menjadi ada dan lenyap melalui perselisihan atau perang.”

Gerakan Perdamaian

Lawan perang yang luar biasa selama Renaisans adalah humanis besar Desiderius Erasmus. Dalam bukunya Anti-polemus, atau Plea of Reason, Religion and Humanity against War (1510), Erasmus berargumen bahwa tugas setiap orang adalah berusaha keras untuk mengakhiri perang.

Perang secara langsung bertentangan dengan setiap tujuan yang diciptakan untuk manusia. Manusia dilahirkan bukan untuk kehancuran tetapi untuk cinta, persahabatan, dan pelayanan kepada sesamanya.

Abad kesembilan belas bahkan lebih produktif dalam rencananya untuk mengorganisir bangsa-bangsa untuk memastikan perdamaian. Di Eropa dan Amerika Serikat muncul gerakan perdamaian yang mendesak pembentukan badan-badan arbitrase antarnegara dan penyelesaian masalah politik yang adil, bersama-sama dengan penguatan dan kodifikasi hukum internasional.

Harapan akan sebuah majelis internasional permanen yang dapat berkembang menjadi sebuah badan legislatif dunia dimunculkan pada konferensi-konferensi Den Haag tahun 1899 dan 1907. Tampaknya semakin besar kepentingan negara-negara dalam hubungan perdamaian akan segera membuat perang menjadi usang.

Utilitarian Inggris, seperti Jeremy Bentham , James Mill, dan John Stuart Mill, memberikan banyak latar belakang teoretis gerakan perdamaian. Mereka berpendapat bahwa perang adalah beban anakronistik pada masyarakat bebas, tidak menguntungkan siapa pun kecuali bangsawan dan tentara profesional.

Richard Cobden menyuarakan ketidaksukaan kelas komersial terhadap perang dalam pamfletnya Rusia (1836). Herbert Spencer, seorang eksponen ekstrim masyarakat laissez–faire, mencela perang dalam Statika Sosialnya(1851) sebagai akibat dari otoritas pemerintah yang berlebihan; dengan fungsi pemerintah berkurang dan kebebasan individu dipulihkan, semua alasan untuk perang akan hilang.

Kasus ekonomi liberal untuk perdamaian ini memuncak dalam klaim mencolok oleh Norman Angell dalam The Great Illusion (1908) bahwa perang telah menjadi begitu merusak semua nilai ekonomi sehingga negara-negara tidak akan pernah lagi terlibat di dalamnya.

Belajar dari Masa Lalu

Menilik sejarah kelam masa lalu, perang dunia pertama dan kedua yang menimbulkan penderitaan dan kehancuran telah memunculkan pertanyaan. Masih perlukan perang antar negara-negara di dunia? Adakah dalil yang membenarkannya?

Bukankah kita sudah diberi pelajaran masa kelam itu? Perang hanya meninggalkan kehancuran. Desiderasmus dengan jelas menolak perang dan mengajukan tesis perdamaian dan cinta.

Baginya manusia dilahirkan bukan untuk kehancuran tetapi untuk cinta, persahabatan, dan pelayanan kepada sesamanya.

Penolakan terhadap perang adalah keniscayaan. Semua alasan dan argumen apa pun tidak lantas membenarkan invasi kepada negara mana pun.

Perang bukanlah sebuah kondisi alamiah seperti yang digambarkan oleh para filsuf Yunani Kuno termasuk Heraklitos. Perang hanya merusak semua tatanan hidup manusia. Dengan demikian perang perlu ditentang dan dilawan dengan menawarkan dialog terbuka satu sama lain. Perdamaian dunia akan tercapai hanya dengan dialog keterbukaan antar negara yang bertikai.*


*Djanuard Lj merupakan alumnus Fakultas Filsafat salah satu Universitas di kota Surabaya, Jawa Timur. Kini penulis tinggal dan bergulat dengan bisingnya kota Jakarta.