Oleh: Rantho Dannie
UTAMA, Bulir.id – Toples penyimpan arak penuh dengan ramuan. Mulai dari bawang putih, kulit kayu manis, bintang laut, brotowali sampai anak rusa. Bapa simpan toples itu di lemari kamar. Ramuan itu direndam dalam arak. Bapa biasa ambil satu-dua seloki dari toples itu. Dia minum saat mau tidur malam. Katanya “ramuan itu buat badan ringan. Letih bisa pulih lagi.” Itu benar. Bapa biasa bangun lebih awal tiap pagi. Lalu dia panggil kami ikut bangun. Kami disuruh belajar. Menurut dia, belajar pagi-pagi buta lebih pas. Suasana masih tenang. Ilmu bisa masuk cepat di kepala. Intinya, pantat harus tenang di tempat. Kadang beliau suruh kami masukkan kaki di ember berisi air. Biar kaki dingin dan kami tidak mengantuk. Mama akan bangun juga saat itu. Mama selesaikan porsinya, siapkan sarapan. Ketika tiba jam kerja, Bapa sudah harus mengayuh sepedanya. Pergi cari uang. Memang, Bapa cukup disiplin. Kami bertumbuh dalam ritme hidup yang demikian. Dari bangun pagi sampai tidur malam sudah ada aturan mainnya. Apabila melanggar ritme itu, sanksi ekstrim siap diberi. Kami dipaksa berdiri dengan satu kaki. Mata lihat matahari. Di area tumpuan satu kaki, Bapa hambur ampas kelapa yang santannya Mama sudah pakai gosok di rambut. Maksudnya agar semut ikut ambil bagian menyiksa kami. Ampas-ampas kelapa tentu akan digotong ke liang mereka. Tidak lupa juga semut kasih gigitan pada kaki yang sedang tegak itu. Saat itu, kaki sebelah tidak boleh jatuh. Kalau jatuh, Bapa siap cambuk pakai ranting asam. Hukuman cambuk itu persis cara polisi Malaysia hantam TKI ilegal yang “tidak sopan” masuk ke wilayah mereka. Bapak juga seorang polisi. Polisi rumah. Kejam. Kadang Mama hanya bisa lihat kami dari jauh tanpa berani membantu. Usai dihukum, Mama panggil kami. Mama bilang, “Lain kali, jangan buat lagi. Bapa itu keras. Tidak main-main.”
****
Jelang tamat dari bangku SMP, ritme itu tetap setia kami lakoni. Hasilnya nyata. Nilai-nilai rapor selalu baik. Namun, kebiasaan mencari tahu dan coba hal “aneh” juga mulai kami (saya dan Kakak laki) lakukan diam-diam. Ada celengan Bapa berbentuk kotak. Ia buat sendiri. Alasnya pakai tripleks. Kami sengaja kasih lubang di bagian bawah. Kami curi uang koin pecahan seratus rp untuk beli karet gelang dan es potong. Selain itu, toples arak milik Bapa, juga mulai kami buka dan tes-tes minum. Dua hal baru yang buruk itu kami lakukan berkala. Seminggu bisa sekali sampai dua kali. Suatu hari, Bapa tahu. Celengannya ternyata semakin ringan. Arak di dalam toples berkurang. Beliau panggil kami. Tanpa banyak tanya, beliau “rampas” pipi kiri dan kanan kami penuh emosi pakai telapak tangan. Ranting asam turut memar di badan kami. Toples arak beliau banting. Pecah. Ramuan berhamburan. Beliau tidak puas. Dia masuk kamar, ambil pisau kuning yang lama dibungkus kain merah. Beliau tikam tanpa pikir panjang. Ujung pisau meleset di sisi rusuk kami. Bapa benar-benar buas saat itu. Kami sudah pasrah. Mama histeris melihat kejadian itu. Rahimnya seolah berontak, untuk apa beranak jika akhirnya anak harus mati dengan cara keji itu. Mama teriak tambah kuat. Amarah Bapa mendadak berhenti. Seolah ia pulih dari kesadarannya. Tanpa banyak bicara, ia mengemas satu-dua potong pakaian di tasnya, pergi ke kampung halamannya. Tanpa pamit. Seminggu berselang, beliau datang. Kami dan Mama diam saja.
****
Bapa bawa daging babi. Ada juga beras tumbuk sebakul dan telur ayam kampung. Opa titip untuk kami. Mama diam saja. Bapak tidak peduli dengan reaksi Mama. Bapak buat seolah-olah tidak ada “masalah”. Saat makan malam, ia cerita bahwa Opa marah dia. Opa suruh dia harus cepat pulang karena kami dan mama sendiri di rumah. Usai makan, Bapa sudah tidak cerita lagi tentang litani kemarahan Opa. Tetapi ia tampil lebih sebagai pencerita kisah yang baik buat kami. Mama tidak mau jadi pendengar. Ia sengaja sibuk dengan urusannya sendiri; makan kerak nasi. Bisa juga Mama makan sambil dengar tapi ia tidak mau.
****
(1)
Opa adalah seorang petani ulet dan pemburu terlatih. Opa tahu banyak cara untuk menjaga diri, menjaga keluarga, menjaga rumah, kebun, de el el. Cara itu ternyata sudah menyatu di dalam kain “merah” pembungkus pisau “sial” yang dipakai seminggu lalu. Sebagai seorang petani, Opa punya kebun padi yang luas. Luasnya tidak diukur dalam hitungan hektar are. Pokoknya dari bukit yang satu ke bukit lain. Hasil panen selalu melimpah. Lumbung padi selalu terisi sampai musim tanam berikutnya. Biasanya, Opa ambil padi dan tumbuk seperlunya apabila kami pergi kunjung dia. Setiap hari, dia lebih senang makan ubi, pisang, daun pepaya, ditambah daging bakar hasil jerat atau berburu. Daging itu pasti sudah dikeringkan dan digantung di atas tungku api. Opa punya dua tungku api. Tungku utama ada di dapur. Tungku yang lain ada di samping rumah. Opa lebih sering ada di sekitar tungku api kedua. Pagi hari, dia pasang api untuk kasih panas badan. Lalu dia bakar ubi, pisang untuk makan pagi. Sore hari pun demikian. Ayam peliharaannya sudah tahu di mana titik kumpul di pagi dan sore hari bila mau dapat makan. Tentu di tungku api kedua.
****
(2)
Opa punya anak 11 orang termasuk Bapa Sembilan di antaranya telah meninggal sebelum kami lahir. Hanya dua anak yang hidup, Bapa dan Bapa Besar. Mungkin karena cara “merah” itu terlalu panas sehingga 9 anak itu harus jadi “pendingin”. Hampir saja Bapa Besar putus nafas juga saat pergi berburu bersama Opa. Opa sudah tarik anak panah. Ujung panah itu bersayap. Busur pun sudah dalam posisi cembung sempurna. Target ada di hadapan Opa. Seekor rusa lembah. Gemuk. Tanduknya sudah memiliki “cucu”. Di seberang, Bapa Besar berjaga juga. Opa lepas panah. Rusa putar arah. Kabur. Bapa Besar rebah ke tanah. Panah ternyata melesat ke bagian rusuk kirinya. Tembus. Opa panik. Ujung panah ditarik keluar. Ada luka terusan. Dua pintu luka itu menganga. Darah tumpah banyak. Opa petik daun segenggam. Setelah dikunyah, daun itu dimasukkan ke dalam luka terusan. Kain merah disobek dua potong dan ditutup pada dua pintu luka. Mulut Opa komat-kamit. Tidak butuh waktu lama, Bapa Besar sadar. Selama sebulan, lukanya mengering. Sembuh. Tapi bekasnya mengekal. Cara “merah” memang manjur.
****
Dua kisah itu berakhir. Mama tiba dari dapur. Ia bereskan meja makan. Lalu mulai angkat bicara tanpa diminta. “Anak-anak yang harus kuburkan orang tua. Anak-anak itu harta hidup. Uang dan anak rusa bisa dicari”, kata Mama dengan nada pelan. Suaranya lembut saja. Bapa diam. Sejak saat itu, ada yang berubah dalam diri Bapa. Bapa berhenti menghukum kami walau ritme “itu” mulai kami langgar. Ia berubah jadi Bapa yang lebih sabar. Lebih “dingin” mengambil keputusan. Amarahnya sudah lebih kecil daripada rasa sayang dan peduli. Ingat Mama punya pesan saat nanti jadi Bapa.
(12.30 PM)
*Rantho Dannie merupakan alumnus di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero. Kini ia sedang menebarkan benih kebijaksanaan (staf pengajar) di salah satu lembaga pendidikan di bumi Cendrawasih Merauke-Papua.