GEROBAK TUA (Tentang Mengenang)

0

Oleh: Rantho Dannie

 

SPIRITUAL, Bulir.id – Hamparan pasir putih di belakang rumah selalu jadi tempat santai. Usai makan siang, pasti kami menepi ke sana. Sekedar cari angin dan bercerita. Ada guyon ringan di sela-sela cerita. Bapa bilang bahwa ia suka Mama karena betisnya. Bapa punya kisah cinta unik. Bukan dari mata langsung turun ke hati. Tapi dari mata turun ke betis dulu, baru naik ke hati. Lucu. Mama pura-pura tidak dengar. Tetapi ikut senyum dan tertawa. Tertawa kami ternyata tidak lama. Hanya secepat kedip sebab tawa lari menyelinap di barisan pohon bakau yang tumbuh rapat di belakang rumah. Bapa yang tanam pohon-pohon bakau itu. Beliau akan sangat marah bila kami potong bakau itu untuk tiang pagar di sekolah. Wajar dia marah. Baginya, bakau itu seperti “rem” yang menahan laju iringan gulungan ombak. Juga bakau mencegah abrasi. Kami aman karenanya. Pada siang-siang lain, di tempat yang sama, Mama biasa panggil kami satu persatu. Kami harus taruh kepala di pangkuannya. Dia ambil lidi dan “korek” telinga kami. Ia bersihkan kotoran di telinga. Mama tidak pakai katembat. Kapas apalagi. Namun, telinga kami tidak terganggu. Ia lakukan itu dengan hati-hati, teliti dan lembut. Dan kami banyak kali lelap di pangkuannya. Pulas. Puas. Ketika bangun, matahari sudah mulai condong. Ia pakai waktu itu dengan baik. Mama minta kami cari rambut putih. Jika berhasil dapat 10 maka pekerjaan kami di sore hari, ia bebaskan. Itu hadiahnya. Tapi nyatanya hadiah itu tidak pernah kami terima karena rambut Mama 99% masih hitam. Susah untuk temukan 1 % rambut yang putih. Sebenarnya itu hanya “tipuan” saja agar kami senang. Lebih dari itu, ia mau kami “dekat” dengannya melalui cara itu. Sementara pekerjaan sore hari tetap harus dilaksanakan. Kami berempat sudah punya tugas rumah yang terjadwal; cuci piring, ambil air, sapu halaman rumah, kasih makan babi. Ada juga sore di mana pekerjaan rumah akan ditangguhkan dulu. Kami harus sama-sama pergi kumpulkan makanan ternak (sapi dan kambing). Kami kasih mereka makan dan minum air dulu baru pulang rumah. Jika semua pekerjaan beres, Bapa akan kasih kami “reward” saat makan malam. Jatah lauknya akan dibagi untuk kami.

****

Tempat santai itu selalu buat kami rindu. Ketika libur akhir sekolah, kami akan pulang ke rumah dan tak lupa untuk “mampir” di situ. Tempat penuh kenangan. Tempat kami dulu mengumbar cita-cita. Cita-cita yang tinggi sekalipun kami sadar bahwa keadaan finansial Bapa dan Mama begitu darurat. Bapa hanya seorang tukang kayu. Mama seorang ibu rumah. Namun, Bapa dan Mama begitu hebat. Mereka tidak mau kami nanti jadi seperti mereka. Itulah sebabnya, Bapa dan Mama juga bertani dan beternak. Bapa punya beberapa ekor sapi. Beberapa bidang tanah yang ia beli secara “barter”, ditanami padi, “kakao”, jambu mete, pisang, nangka dan mangga. Sementara sebidang tanah warisan buat hak kesulungan Mama, ditanami “king grass” untuk makanan ternak. Bapa tanam juga pohon jati agar nanti dipakai untuk kebutuhan papan. Bapa dan Mama memanfaatkan “harta-harta” itu untuk hidup dan sekolah kami. Mereka adalah pilar kokoh yang tak gentar dihantam badai “kekurangan”. Intinya, kami harus jadi “orang”.

****

Suatu hari Minggu di musim libur, kami duduk sama-sama di tempat “itu” usai misa. Bapa tidak sempat ada di antara kami. Dia langsung bergegas ke kebun untuk jaga anak sapi yang baru saja lahir. Anak sapi dan induknya akan dia jaga berjam-jam. Ia pastikan induk dan anak sapi itu aman dulu baru ia pulang. Bisa sampai malam. Di pinggir jalan, ada mobil berhenti depan rumah. Kami saling lihat. Ada tanya yang terpental dari sorot mata kami. Sorot mata tanya. Ternyata, itu teman kelas Kaka perempuan waktu SMP. Dia tahu rumah kami. Dia kenal kami. Dulu dia pernah kerja tugas bahasa Inggris di rumah bersama Kaka dan teman-teman. Guru bahasa Inggris juga pernah tampar dia. Gara-gara, kata “understand” diterjemahkan menjadi “di bawah berdiri”. Dia sekedar singgah di rumah. Sebenarnya dia mau kunjung keluarganya di kampung sebelah. Kami berempat memutuskan ikut dengannya. Jalan-jalan. Mama tidak ikut. Mama jaga rumah. Tapi paras wajahnya kasih kode bahwa dia sebenarnya tidak mau kami pergi. Kami tidak tangkap pesan kode itu. Kami berangkat. Perjalanan aman. Tiba selamat. Saat pulang, matahari sudah terbenam. Senja turun. Hujan mengguyur. Jalanan basah. Mobil jadi seperti “payung bermesin” yang jaga kami dari hujan. Mobil laju dengan kelambatan tinggi. Maklum, itu mobil tua. Benang ban sudah muncul. Ban “botak”. Kurang dari dua jam, kami tiba lagi di rumah. Hujan masih bertahan.

****

Di depan pintu rumah, Bapa tunggu kami. Dia marah. Dia suruh kami jalan sambil berlutut. Kami turut. Takut kalau nanti amarahnya tidak surut. Hujan setubuhi kami. Basah kuyup. Seretan lutut di tanah jadi serupa asap roket di angkasa. Membekas. Kerikil jadi pagar sepanjang lintasan itu. Tangan tak jedah mengusap air mata bercampur air hujan. Kami berempat beriringan. Sulung di muka. Kami dua laki-laki di tengah. Bungsu di belakang. Di langit, guntur menggelegar. Petir seolah turut dalam amarah. Petir saling sambar. Kami “dicahayai” berulang kali. Cahaya itu buat kami tambah takut. Bapa tidak peduli. Kami tiba sejajar di depan rumah. Tepat di jatuhnya air hujan dari atap rumah. Kami “dicurahi” air hujan. Hari itu kami dapat pencahayaan dan pencurahah. Dua moment yang beda jauh dengan pengalaman nabi-nabi di dalam Kitab Suci. Di hadapan Bapa, kami tunduk. Diam. Lalu Bapa ambil alih suasana itu. “Jalan lupa pulang. Jangan bantu Bapa dan Mama. Nanti masuk libur baru minta uang”, kata Bapa. Kami tetap tak bersuara. “Jawab!”, bentak Bapa. Kami bingung. Mau jawab apa. Kadang amarah Bapa itu sifatnya retoris. Namun beliau paksa kami jawab. Aneh. Sebelum tinggalkan kami, beliau bilang, “Tidak boleh makan, malam ini. Kamu sudah kenyang jalan-jalan.” Tak lama berselang, Mama datang. Ia suruh kami mandi dan ganti baju. Kami begitu kedinginan. Gemetar. Mama sempat simpan jatah makan malam kami namun Bapa kasih habis. Dia kasih makan anjing-anjing juga. Kami tidur tanpa makan. Bapa punya prinsip keras, “Tidak mau jilat kembali air ludah.”

****

Sekejam apapun ia, Bapak tidak simpan amarah sampai esok pagi. Hari baru dimulai dengan sapaan baru. “Bangun sudah dan siap sarapan. Bapa tidak marah lagi”, katanya. Suasana libur jadi lebih baik hari itu. Sore hari, kami sama-sama pergi kebun. Kami bawa “gerobak” yang Bapa buat untuk angkut makanan ternak. Gerobak itu sudah tua. Sudah ada sejak kami masih SD. Kayu-kayunya sudah mulai kusam. Panas dan hujan sudah menyatu dengannya. Tangan-tangan kami seolah sudah membekas di pegangan gerobak tua itu. Gerobak itu hidup kami. Sampai saat ini, gerobak itu masih ada. Ia rindu akan jamahan kami. Ia juga bangga lihat adanya kami saat ini. Gerobak tua jadi saksi perjuangan keluarga kami. Roda-rodanya sudah memutar kami ke segala tempat, Lembata-Kalimantan-Merauke-Bajawa.

(16.40 pm)


*Rantho Dannie merupakan alumnus di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif Ledalero. Kini ia sedang menebarkan benih kebijaksanaan (staf pengajar) di salah satu lembaga pendidikan di bumi Cendrawasih Merauke-Papua.