Kisah di Balik Tiwu Ndegar Peka Misterius dan Keberadaan ‘Kakar Tana’ Bermata Kucing

0
Wisata,  BULIR.ID – Pernah melihat ‘Kakar Tana dan pengin melihat seperti apa kecantikannya? Silahkan berkunjung ke Tiwu Ndegar Peka, sebuah desa di kecamatan Kuwus Manggarai Barat, NTT. 

Menurut cerita masyarakat setempat,  “Kakar Tana” Kolang, perempuan yang sangat cantik dari alam gaib atau disebut bidadari kolang, sesekali mandi di tiwu (kolam) Ndeghar Peka, Desa Ranggu, Kecamatan Kuwus Barat. 
 
Dikisahkan bahwa kakar tana itu berparas cantik, tinggi, berambut panjang, kulit putih, bola matanya seperti mata kucing.
 
Untuk bisa menjumpai atau melihat sang kakar tana Kolang sedang mandi, dikisahkan secara turun temurun oleh leluhur orang Kolang bahwa ada tanda-tanda alam di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) Wae Impor di Lembah Ranggu.
 
Tanda-tanda alam yang bisa diketahui bahwa kakar tana Kolang itu sedang mandi yakni, hujan gerimis bercampur matahari, orang Kolang menyebutnya ‘Uhang Mela’.
 
Jika ada tanda-tanda alam seperti itu maka sang bidadari dari alam di sekitar Poso Kuwuh (Gunung Poso Kuwuh) dan sekitarnya menandakan bahwa Sang Bidadari secara berkelompok sedang mandi di kolam tersebut.
 
Kisah ini diketahui secara luas oleh orang Kolang dari zaman dulu hingga sekarang. Jadi ada orang-orang tertentu yang berani mengintip dari pinggir kolam atau Tiwu tersebut untuk melihat paras cantik dari bidadari tersebut.
 
Hingga saat ini orang-orang yang berani di sekitar kawasan lembah Kolang atau yang sedang lewat di sekitar kolam atau tiwu itu sering melihat kakar tana itu sedang mandi. Saat kakar tana itu mandi, orang hanya bisa melihat bagian punggungnya dan sesekali menampakkan wajahnya yang sangat cantik.
 
Selanjutnya, saat ‘uhang mela’ berhenti maka kakar tana itu selesai mandi dan menghilang dan kembali ke tempatnya tinggalnya entah dimana di sekitar Lembah kolang. Jadi kalau di Pulau Jawa ada kisah ratu penjaga pantai selatan, maka di Lembah Ranggu-Kolang, ada kakar tana yang menjaga kolam atau tiwu itu sekaligus tempat permandiannya.
 
Berani anda mencoba dan berjumpa dengan kakar tana khas Kolang, silakan berkunjung di kolam atau tiwu Ndeghar Peka. Memang belum ada penelitian khusus, apakah makhluk halus dari alam gaib atau orang Kolang menyebut kakar tana berjenis kelamin perempuan atau laki-laki. Namun, dari ciri-cirinya, seperti seorang perempuan cantik.
 
Staf Bappeda Kabupaten Manggarai Barat, Yuvensius Aquino Kurniawan memperoleh kisah ini dari berbagai sumber di Lembah Kolang serta meneruskan kisah ini kepada Kompas.com, Jumat (25/1/2019).
 
Kurniawan menjelaskan, pesona destinasi wisata daerah Kolang, Flores Barat seakan tidak ada habisnya. Setiap kali mengayunkan kaki kita, begitu pula panoramanya tidak akan membosankan mata untuk menikmatinya.
 
Di sini terdapat sebuah kolam mistis, di mana kolam ini terbentuk dari tumpahan tuak raja atau moke. Leluhur orang Kolang biasa mengolah air nira menjadi tuak atau moke serta wae minse. Tuak atau moke berbeda dengan wae minse.
 
Tuak atau moke berwarna seperti kabut dan rasa asam. Tuak atau moke ini disebut Tuak Raja, karena zaman dulu disuguhkan bagi kalangan Raja atau Dalu yang berkunjung di kampung-kampung dalam wilayah kekuasaannya.
 
Selanjutnya tuak ini diolah menjadi minuman keras, yang kini dijual untuk menghasilkan uang oleh orang Kolang. Seseorang yang mengolah tuak menjadi minuman keras disebut pante tuak.
 
Sedangkan wae minse berwarna bening dan rasanya manis. Wae minse ini diolah menjadi gola dereng atau gula merah atau gola kolang khas masyarakat Kolang. Seseorang yang mengolah wae minse menjadi gula merah disebut pante minse. Hanya orang tertentu yang memiliki keterampilan dalam mengolah air nira ini.
 
Kurniawan melanjutkan, nama kolamnya adalah Tiwu Ndeghar Peka. Tiwu berarti kolam dan ndeghar berarti meluap atau tumpahan, sedangkan peka berarti takaran wadah bambu atau gogong.
 
Kurniawan mengisahkan, pada suatu hari seorang petani di Kampung Tado, Kolang pergi pante tuak atau menyadap tuak nira untuk dijadikan tuak raja. Seperti biasa sebelum gogongnya diikat pada pohon nira, dilakukan proses tewa raping yaitu memukul tandan buah nira sedemikian rupa agar airnya mengalir keluar.
 
Ada pun proses pante tuak, si petani harus memiliki kedisiplinan waktu dan batang kayu yang digunakan. Biasanya secara rutin dilakukan pada pagi hari dan sore hari. Jadi memukul tandan Nira dilakukan dua kali dalam sehari selama kurang lebih tiga minggu atau sebulan penuh.
 
Sore itu kraeng tu’a atau si petani ini rupanya tidak lekas pulang ke rumahnya, akan tetapi pergi bergabung dengan sekelompok pemuda kampung dan mulai mabuk-mabukan tuak raja. Alhasil akibat bergadang semalaman, si kraeng tu’a bangunnya kesiangan.
 
Teringatlah ia akan raping atau pohon nira yang dia sadap pada sore hari sebelumnya. Lekas dia melompat dari tempat tidur, lalu bergegas menuju tempat nira yang kemarin disadap. Apa yang terjadi? Tuak raja ndeghar atau meluap dari gogong peka atau takaran wadah bambu lalu tumpah mengalir ke dalam tanah.
 
Betapa kagetnya kraeng tua tadi kerena di tanah tumpahan tuak raja tersebut berubah menjadi kolam raksasa yang berasal dari tuak raja yang ndeghar peka atau meluap semalaman.
 
Kolam tersebut sekarang dikenal dengan nama Ndeghar Peka atau Tiwu Peka. Pada dasar kolam Tiwu ini hidup seekor tuna gendang atau belut sebesar alat musik gendang. Di saat tertentu belut ini berubah wujud menjadi kakar tana, atau seorang permaisuri cantik dan sering berjemur di tebing batu tiwu peka.
 
Ada pun kakar tana atau permaisuri cantik jelita ini adalah jelmaan tuak raja karena itu air nira akan mucul dari pohon, apabila si kraeng tu’a petani pandai merayunya keluar dari pohon nira. Jadi oleh sebab itu tidak semua pohon nira bisa menghasilkan tuak dan wae minse.
 
Petani akan mengeluarkan segala bentuk keahlian seperti landunya atau nyanyian rayuan dalam lirik-lirik lagu tradisional yang khas Kolang.
 
Ndeghar peka atau tiwu peka sudah dijadikan situs budaya oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat berkat cerita mistisnya dan sudah lama dijadikan destinasi wisata. Selain itu, kolam mini sebagai tempat berenang atau melatih seseorang anak muda untuk bisa berenang.
 
Rofinus Oso, staf Dinas Pariwisata pengelola situs Tiwu Peka, mengatakan bahwa sudah banyak wisatawan yang berkunjung ke Tiwu Ndeghar Peka, khususnya wisatawan minat khusus, antara lain, para misionaris Eropa dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
 
“Sementara kami memandu wisatawan dengan fasilitas seadanya sambil berkoordinasi dengan pihak Pemerintah di Labuan Bajo. Mudah-mudahan akses masuk ke situs wisata Tiwu Peka ini serius diperhatikan kembali oleh pemerintah, untuk itu kerja sama pemerintah Desa Ranggu dan Dinas Pariwisata sangat bisa terwujud,” kata Rofinus.
 
Pastor Martinus Tolen, belum lama ini kepada Kompas.com menjelaskan, beberapa tahun lalu ada seorang calon imam atau Frater yang sedang menjalankan Tahun Orientasi Pastoral (TOP) atau praktik pastoral di Paroki Tritunggal Mahakudus Ranggu memberanikan diri menyelam di tiwu atau kolam Ndeghar peka.
 
Calon Imam Katolik itu yang disebut Frater, lanjut Pastor Tolen, berjumpa dengan belut raksasa yang seukuran dengan alat tabuh gendang. Pendek dan belut itu besar. Tidak ke mana-mana di dasar kolam tersebut. Ada goa kecil untuk tempat persembunyian dari belut raksasa tersebut. Selain itu ada banyak belut- belut kecil di kolam tersebut.
 
Pastor Tolen mengisahkan, zaman dulu kolam atau tiwu itu sangat ditakuti oleh orang di sekitar lembah Ranggu. Ada kisah bahwa ada seorang yang berani memancing belut di kolam itu. Namun, alat pancing itu mengenai belut raksasa tersebut.
 
Belut raksasa itu mengeluarkan suara seperti teriakan seekor babi. Seketika itu terjadi ‘Uhang Mela” atau hujan gerimis bercampur matahari.
 
Orang itu melepaskan alat pancing itu dan pulang ke rumah. Setiba di rumah mengalami sakit. Mulai saat itu, orang di lembah Ranggu takut untuk menangkap belut di kolam tersebut.