Jakarta, Bulir.ID – Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme membuka peluang untuk diusulkannya KKB dan OPM menjadi organisasi teroris. Usulan tersebut akan diteruskan dalam ajakan diskusi bersama Komnas HAM serta perwakilan di DPR RI.
Menanggapi usulan BNPT menetapkan OPM sebagai organisasi teroris, Senator Filep Wamafma mengatakan, pemerintah seharusnya fokus menyelesaikan seluruh masalah masyarakat Papua yang begitu kompleks mulai dari persoalan kemiskinan, masalah lingkungan hingga persoalan pelanggaran HAM yang terjadi lama.
Menurut Filep, fokus pemerintah saat ini adalah menjawab tuntutan masyarakat Papua terhadap penyelesaian pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum militer di Papua, bukan memberi label OPM sebagai organisasi teroris. Pemberian label organisasi teroris terhadap OPM tidak akan menyelesaikan masalah di berbagai sektor di tanah Papua.
“Menurutnya saya, fokus pemerintah yang utama adalah penuntasan sejumlah kasus pelanggaran terhadap warga sipil di Papua. UU HAM dan Peradilan HAM menuntut diselesaikannya berbagai pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan atas nama penegakan keamanan dan ketertiban di Papua. Jadi fokus negara tidak sekadar menetapkan KKB/OPM sebagai teroris. Yang utama dan yang pertama ialah berkewajiban menuntaskan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oknum-oknum militer terhadap warga sipil sebagaimana hasil temuan KOMNAS HAM dan pihak-pihak lain misalnya dari agama, adat, dan lembaga internasional,” kata Filep Wamafma dalam keterangan tertulisnya kepada media di Jakarta, Rabu,(24/04/2021)
Masalah yang terjadi di tanah Papua hari ini, lanjut Filep, mengharuskan pemerintah pusat untuk melakukan dialog dua arah. Satu sisi, pemerintah memberikan pandangannya terkait dengan pembangunan Papua. Sisi yang lain, pemerintah perlu mendengarkan suara-suara kritis masyarakat Papua.
“Minset Pemerintah kok tidak berubah ya. Melakukan pressure terbukti gagal sejak lama. Titik tekannya adalah Pelanggaran HAM yang terjadi sudah sejak puluhan tahun. Itu yang seharusnya diselesaikan. Dari dulu kita usulkan pendekatan dialog,” tegas Filep.
Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk menyelesaikan masalah Papua, perlu mendengarkan berbagai macam sudut pandang, termasuk keinginan masyarakat Papua dan Papua Barat. Hal ini penting karena masyarakat di Papua yang merasakan betul kondisi di lapangan.
Mereka yang selama ini tergabung dalam organisasi OPM, merupakan warga Indonesia yang ingin suaranya didengar oleh pemerintah. Karena itu, pemerintah terutama BNPT perlu mendengar dan tidak memaksakan cara pandang yang justru menimbulkan masalah baru terhadap keberadaan OPM.
“Secara teoritis, harus ada keadilan sebagai kejujuran, justice as a fairness, supaya jangan ada persoalan baru lagi di mana warga sipil menjadi korban akibat pengambilan kebijakan sebagaimana usulan BNPT tersebut,” ungkapnya.
Filep menyebut, upaya diplomasi pernah berhasil di era almarhum Presiden Gusdur.
Menurut Filep, Gus Dur telah menunjukkan contoh yang patut dengan membuka ruang dialog yang egaliter, sehingga mampu menggugah rasa cinta Orang Papua terhadap Pemerintah. Era tersebut bisa menjadi acuan pemerintah dalam mengambil kebijakan.
“Belajarlah juga pada Soekarno yang melakukan diplomasi cerdas, berjumpa dengan tokoh-tokoh yang mencari keadilan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan yang menunjukkan kewibawaan Pemerintah,” kata Filep.
Sebagai Senator Papua Barat, Filep mempertanyakan semua janji presiden di berbagai forum, terkait penuntasan pelanggaran HAM di Papua. Menurutnya, janji-janji tersebut hanya berjalan di tempat.
“Bagaimana rakyat bisa percaya pada Pemerintah bila semua janji tersebut tidak ditepati? Apa gunanya semua rekomendasi lembaga-lembaga independen di bidang HAM terhadap Pemerintah, bila semua hanya berpikir soal pendekatan represif? Jika warga sipil terutama Orang Papua menjadi korban dalam kebijakan selanjutnya, maka sebaiknya dibuka ruang dialog yang bermartabat agar keadilan itu lebih berdampak kepada masyarakat sipil,” tutupnya.*(MJ)