Cinta yang Membuahkan

0
Cinta yang Membuahkan
Warga Labuan Bajo, Sil Joni.(Istimewa)

Oleh: Sil Joni*

Bulir.ID – Manusia seturut narasi kitab genesis merupakan ko-kreator Allah. Kita diberi potensi untuk menjadi rekan yang akan menciptakan ‘makhluk yang baru’. Allah berfirman: “Beranak-cuculah dan bertambah banyaklah. Penuhilah muka bumi seperti pasir di laut dan bintang di langit”.

Kita ‘tidak mungkin’ menjalankan amanat Ilahi itu seorang diri. Kehadiran ‘alter ego’ untuk membangun sebuah communio (persekutuan) menjadi sebuah conditio sine qua non. Dua insan mesti ‘menjalani’ ritual satu daging agar dimensi prokreasi bisa termanifestasi.

Tetapi, untuk sampai pada ‘level persekutuan’ itu, mesti ada semacam faktor pendorong dan perekat sehingga dua insan yang serba beda boleh ada bersama menjelmakan imperasi biblis: Menjadi rekan Pencipta Allah. Rasanya, hanya bahasa cinta yang memungkinkan persekutuan itu terwujud.

Dalam cinta, dua makhluk beda jenis ‘saling berbagi’. Karakter utama dari cinta adalah ‘memberi’. Kita mesti keluar dari cangkang egoisme untuk ‘menemui dia’ yang juga siap menyambut kehadiran yang lain dalam hidupnya. Pemberian yang paling berarti adalah tubuh manusia itu sendiri. Tubuhnya ‘ditakdirkan’ untuk membuat tubuh yang lain ‘mempunyai arti’. Tindakan memberi arti terhadap tubuh yang lain pasti ‘melahirkan’ sesuatu.

Bagi yang ‘memilih hidup berkeluarga’ (perkawinan hetero seks) sebagai medan pengabdian, memiliki anak adalah salah satu bentuk dari produktivitas cinta. Kendati memiliki keturunan bukan tujuan utama sebuah perkawinan, tetapi anak bisa menjadi salah satu kemungkinan ‘berbuahnya’ cinta yang bersemayam dalam raga kita.

Tentu, ada banyak kemungkinan dan ekspresi lain sebagai bentuk perwujudan dari ‘bahasa cinta’ itu. Memiliki anak tidak bisa ditakar sebagai ‘indikator absolut’ dari cinta yang berbuah itu. Pelbagai kreativitas dan inovasi yang meluncur dari seorang individu, bisa dilihat sebagai ‘manifestasi’ buah-buah cinta.

Sadar akan bunyi Sabda Tuhan, “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”, maka pada tanggal 30 Agustus 2016, status lajang dalam diri saya, tanggal di Golo Lajang Pacar. Relasi cinta yang kami bina sebelumnya akhirnya ‘dikukuhkan’ melalui prosesi pernikahan yang sederhana menurut tata cara perkawinan dalam agama Katolik.

Lusia Sedia ‘bersedia’ menjadi istri sekaligus ‘rahim’ yang merawat, menumbuhkan, melahirkan, dan mengasuh ‘buah cinta’ yang bakal ada kala itu. Kurang lebih 15 hari pasca mendapat ‘sakramen nikah’ atau persisnya tanggal 14 September 2016, buah cinta kami yang pertama lahir. Patrick Graciano Roharjo beralih dari ‘jagat mikrokosmos ke alam makrokosmos’ dengan proses persalinan yang lancar di Puskesmas Golo Welu.

Peristiwa ‘kelahiran Patrick’ menjadi ‘tonggak bersejarah’ dalam hidup saya. Betapa tidak, sejak saat itu, predikat saya bertambah. Selain sebagai ‘suami’, saya menyandang gelar baru sebagai ‘ayah’. Dengan demikian, relasi triadik antara suami, istri, dan anak mulai terukir kala itu hingga detik ini.

Saya sungguh ‘menikmati’ peran sebagai ayah itu. Ada niat untuk menjadi ‘ayah yang baik’ di mata anak-anak. Tetapi, rasanya saya masih berada dalam ‘proses menjadi ayah yang baik’ itu. Boleh jadi, apa yang saya tampilkan di hadapan Patrick masih jauh dari apa yang diidealkannya sebagai seorang anak.

Saya tidak mempunyai barang berharga sebagai kado di hari bahagiamu. Goresan ini, kalau dapat menjadi wujud ‘pemberian diri saya’ dalam merayakan momen hari lahirmu itu. Harapannya, semoga Patrik boleh bertumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik.

Ayah selalu merasa punya alasan yang cukup untuk berbangga dalam hidup ini sejak Patrik tampil ke panggung semesta ini. Rasa ‘kebapakan’ begitu membuncah ketika para sahabat dan kenalan menyapa saya dengan sebutan ‘Bapa Patrick’. Kehadiranmu membuat gairah hidup saya menjadi kian berlipat.

Sekali lagi, tak ada permata pada saya sebagai ayahmu. Saya hanya seorang ‘pemulung dan penganyam kata’ yang tak selalu menghadirkan harta berlimpah. Merayakan ulang tahunmu melalui tulisan, menjadi satu-satunya persembahan yang ayah bisa berikan.

Usia lima tahun merupakan fase yang amat menentukan dalam perkembangan seseorang. Berharap apa yang ayah dan ibu lakukan dalam rentang usia lima tahun ini, sudah lebih dari cukup dalam membekalimu mengarungi samudra kehidupan selanjutnya.

Saya tahu bahwa engkau sedang berjuang ‘mengenal angka dan aksara’. Tetapi, kami tidak terlalu ‘memaksamu’ untuk selekas mungkin akrab dengan angka dan aksara tersebut. Ayah tidak ingin engkau dewasa secara prematur. Sedapat mungkin, engkau tidak melompat ke fase yang lebih tinggi. Berjalanlah dalam proses yang wajar dan sehat.

Ayah dan ibu hanya sebagai ‘fasilitator’ bagi dirimu dalam ‘menulis bab demi bab sejarah hidupmu. Kami berusaha untuk menyiapkan kondisi yang memungkinkan dirimu bisa mengaktualisasikan potensi dalam merangkai serangkaian kisah dalam hidupmu. Patrik sendirilah yang akan ‘menulis cerita’ itu di hari esok. Selamat Ulang Tahun sayang. Ad Multos Annos!

*Penulis adalah warga Labuan Bajo.