Gereja Yang “Cuek” di Wae Sano

0
Rian Agung adalah warga Manggarai Barat. Rian merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta (Foto: Ist)

Oleh Rian Agung*)

Tilik, BULIR.ID – Terselenggara dengan baiknya sejumlah pembangunan di Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan berkat keterlibatan dan pelibatan Gereja setempat. Gereja merupakan ujung tombak sekaligus mitra dalam mewujudkan program pemerintah dalam banyak aspek, baik pendidikan, ekonomi, politik maupun sosial-budaya.

Peran Gereja dalam menyukseskan Pembangunan di NTT bisa ditelusuri dari periode ke periode, dari sejak jaman pra kemerdekaan sampai saat ini. Di Flores, khususnya di Manggarai raya, Gereja telah sejak awal meletakkan dasar-dasar pembangunan dengan membangun fasilitas-fasilitas publik seperti Jalan raya dan rumah sakit, membantu mengembangkan pendidikan umat/masyarakat dengan membangun lembaga-lembaga pendidikan, baik Pendidikan Dasar, Menengah dan Perguruan Tinggi.

Gereja juga membangun dan turut mengembangkan pendidikan non formal dengan membuka tempat-tempat pelatihan bagi mereka yang punya keterampilan khusus baik di bidang pertanian, peternakan dan otomotif. Karya sosial Gereja yang lain bisa dilacak dari kepekaannya terhadap mereka yang mengalami keterbelakangan dalam banyak aspek di tengah-tengah masyarakat.

Di Ruteng dan di beberapa kota lain di Flores misalnya, Gereja membangun panti asuhan untuk menampung sekaligus mendampingi mereka yang mengalami cacat mental maupun fisik.

Namun sekalipun begitu, Gereja sendiri tidak asal membangun. Gereja Selalu memiliki perspektif yang khas dan posisi moral yang kuat sebelum mengagendakan sebuah pembangunan. Paling kurang ada dua sikap Gereja dalam memahami pembangunan sebagai bagian tak terpisahkan dari ajaran Kristiani sendiri.

Pertama, pembangunan harus bisa memberdayakan umat/masyarakat, dan yang kedua, pembangunan harus berorientasi pada keutuhan lingkungan hidup. Dua sikap Gereja ini merupakan implementasi dari refleksi religius dan filosofis atas bahaya pembangunanisme yang seringkali mengancam peradaban dan keberlangsungan hidup manusia.

Dengan itu, Gereja sebenarnya ingin menggugah kesadaran publik bahwa kesejahteraan dan kemashalatan hidup tidak sesederhana dengan menggejot secara masif pembangunan infrastruktur melainkan dengan terlebih dahulu memastikan keseimbangan ekosistem alam.

Gereja dengan posisinya itu juga memberikan kita pemahaman yang holistik akan adanya kesatuan yang tak terpisahkan di antara unsur-unsur semesta. Bahwa tak ada satupun dari unsur-unsur semesta yang tidak terikat dengan unsur-unsur lainya. Konsekuensinya, jika satu unsur tercederai maka unsur yang lain ikut terancam.

Kalau dicermati, Gereja cukup konsisten dengan sikap kritisnya ini – setidaknya sejak geliat pembangunanisme semakin marak. Di Manggarai, Gereja menyuarakan ini dengan sangat berani, sekalipun oleh keberaniannya itu Gereja sering dihujat dan dicap anti pembangunan.

Di Manggarai Barat misalnya, Gereja berhasil menghentikan dua proyek besar yang secara saintifik berpotensi membawa kerusakan pada lingkungan hidup dan menggeser keberadaan masyarakat lokal, yakni: kasus tambang Batu Gosok pada kepemimpinan Alm. Fidelis Pranda dan privatisasi pantai Pede pada kepemimpinan Gusti Dula.

Pada saat itu, tidak sedikit birawan-biarawati yang dicaci maki dan dituding sebagai provokator yang menghambat proses pembangunan. Bapa Uskup sendiri, Mgr. Hubertus Lereng, Pr. sebagai uskup Ruteng pada waktu itu juga tidak luput dari tudingan miring dari penguasa lokal dan kroni-kroninya yang melihat Gereja sebagai musuh besar yang terus mengintai agenda busuk mereka.

Sekalipun begitu, Gereja tidak pernah goyah, Gereja tetap konsisten dan perjuangannya semakin kencang. Sikap yang sama Gereja tunjukan ketika berhadapan dengan rencana penambangan dan pembangunan pabrik semen di Kampung Luwuk Manggarai Timur dan beberapa kasus lain di Mabar seperti rencana relokasi pulau Komodo yang mendapat penolakan keras dari warga.

Kondisi lalu berubah total ketika Gereja berhadapan dengan proyek Geothermal di Wae Sano, Manggarai Barat. Di sana, Gereja tampak cuek (Masa bodoh) menghadapi protes warga yang meminta pembangunan itu ditinjau kembali demi alasan kemanusiaan.

Protes warga kurang lebih karena dua Faktor berikut. Pertama, lokasi pengeboran proyek Geothermal itu sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Kedua, kehadiran Geothermal berpotensi mengancam salah satu sektor pariwisata unggulan di Wae Sano, yakni Danau Sano Nggoang.

Namun oleh Gereja, penolakan masyarakat ini tidak diposisikan sebagai bagian urgen dari perjuangan dan pelayanannya. Gereja justru berdiri di posisi yang berseberangan dengan situasi kerentanan yang dialami masyarakat.

Sikap masa bodoh Gereja ini dikuatkan oleh surat rekomendasi Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat yang meminta Presiden Jokowi meneruskan pembangunan Geothermal di wilayah tersebut.

Secara moral, legitimasi surat rekomendasi itu cacat dalam dirinya, yang secara tidak langsung pula membuka keburukan Gereja karena isinya bertolak belakang dengan suara hati umat. Bagi umat/masyarakat Wae Sano, surat rekomendasi ini merupakan pisau tajam yang menikam masa depan mereka dengan segala mimpi-mimpi indah akan hari esok yang lebih baik.

Hari ini, masyarakat Wae Sano sedang bergulat dengan bayang-bayang kehidupan yang menyesakkan. Lantas, mereka membutuhkan dukungan sejumlah pihak agar rencana pembangunan Geothermal di wilayah itu tidak mengorbankan masa depan dan alam sekitar yang selama ini menyuplai keberlangsungan hidup mereka.

Gereja, haruslah tetap menjadi garda terdepan untuk sama-sama berjuang, paling tidak untuk memastikan pembangunan Geothermal di Wae Sano tidak mengeksploitasi keberlangsungan hidup warga dan kelestarian alam.

Gereja dengan itu haruslah berhenti untuk bersikap cuek, apalagi memberikan karpet merah bagi perusahaan raksasa menindas rakyat kecil dengan iming-iming pembangunan.

Untuk konteks Wae Sano, Gereja pertama-tama mesti mencabut kembali surat rekomendasi yang kontraproduktif di atas, sambil terus berjuang untuk menganulir keinginan umat agar pembangunan Geothermal Wae Sano tidak sampai mengorbankan keberlangsungan hidup umat dan alam sekitar.*

*) Penulis adalah warga Manggarai Barat, alumnus Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul Jakarta. Saat ini tinggal di Orong, Welak.