Kontribusi Gereja Katolik Terhadap Filsafat Skolastik dan Pendidikan Modern

0

FILSAFAT, Bulir.id – Gereja Katolik memelihara pengetahuan, membentuk pendidikan, dan mengembangkan apa yang dikenal dalam filsafat sebagai Skolastisisme, sebuah tradisi yang memadukan iman dan akal budi.

Dengan menghubungkan iman dan logika secara erat, para cendekiawan skolastik mencari jawaban atas beberapa pertanyaan terbesar umat manusia. Di jantung upaya mereka adalah Gereja Katolik. Dari universitas abad pertengahan hingga perdebatan teologis yang berapi-api, Gereja memainkan peran penting dalam memajukan pertumbuhan filsafat Skolastik.

Gereja menyediakan sebuah forum bagi para intelektual untuk mengeksplorasi titik temu antara iman dan akal budi. Di bawah ini, kita akan melihat bagaimana salah satu tradisi intelektual yang paling penting dalam sejarah dipupuk oleh sebuah institusi yang sering kali lebih dikenal karena usaha-usaha lainnya.

Gereja sebagai Penjaga Pengetahuan

Pada awal Abad Pertengahan, terdapat risiko besar hilangnya sejumlah besar pengetahuan Yunani dan Romawi. Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi, Eropa dilanda gejolak politik, dan banyak teks filsafat terancam punah selamanya. Namun, ada satu organisasi yang menolak membiarkan api kebijaksanaan padam: Gereja Katolik.

Biara-biara Eropa bagaikan urat nadi vital yang mengalirkan informasi ke seluruh benua. Di ruang tulis yang disebut scriptoria, para biarawan menghabiskan waktu berjam-jam menyalin dan melestarikan tulisan-tulisan kuno dengan ketelitian yang luar biasa. Berkat kerja keras mereka, karya-karya para pemikir seperti Plato, Aristoteles dan Agustinus dapat bertahan dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya.

Namun, tulisan-tulisan ini tidak hanya disimpan. Tulisan-tulisan ini juga dibaca dengan penuh semangat oleh para cendekiawan Kristen, yang hampir semuanya religius. Para cendekiawan ini tidak hanya membaca dan membahas teks-teks tersebut. Mereka juga mengutipnya dalam tulisan-tulisan mereka sendiri.

Sebuah perkembangan besar terjadi pada abad ke-12. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai Gerakan Penerjemahan. Para cendekiawan di Spanyol dan Sisilia bergabung dengan para pemikir Islam dan Yahudi. Tujuannya adalah menerjemahkan tulisan-tulisan Aristoteles dari bahasa Yunani dan memperkenalkan logika serta sainsnya ke Eropa Barat, yang memicu minat baru terhadap gagasan-gagasannya dan mendorong kebangkitannya.

Skolastisisme, sebuah gerakan filsafat abad pertengahan yang berpengaruh, tidak akan muncul tanpa Gereja Katolik. Alih-alih hanya melindungi filsafat, kaum Skolastis percaya bahwa iman dan akal budi, bersama-sama, dapat memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan terdalam dalam hidup.

Pengaruh Pendidikan Gereja dan Kebangkitan Universitas Abad Pertengahan

Selama periode abad pertengahan, pendidikan mencakup lebih dari sekadar perolehan fakta. Mereka yang belajar diharapkan mampu berpikir dan memahami dunia melalui logika dan keyakinan agama. Gereja Katolik berperan aktif dalam menciptakan jenis pendidikan ini dengan mendirikan universitas, tempat Skolastisisme berkembang pesat.

Sekolah-sekolah di lokasi seperti Oxford, Paris, dan Bologna menjadi pusat pendidikan tinggi tempat orang-orang datang untuk belajar hukum, filsafat, dan agama. Salah satu ciri pengajaran Skolastik (pendekatan pengajaran yang disukai Gereja) adalah keteraturannya: harus ada pengaturan yang tertib untuk argumentasi atau diskusi berdasarkan aturan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Para guru tidak sekadar menyampaikan fakta kepada murid-muridnya. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam tanpa jawaban yang mudah. ​​Mereka mengajak murid-murid berpikir, tetapi dalam kerangka logis yang akan menuntun mereka kepada kebenaran. Ini mungkin melibatkan penggunaan akal untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang iman agama.

Fakultas paling bergengsi yang terlibat dalam pembentukan pemikiran abad pertengahan adalah fakultas yang berspesialisasi dalam teologi. Dua ordo keagamaan berpengaruh memimpin gerakan intelektual ini: Dominikan dan Fransiskan.

Para cendekiawan dari ordo Dominikan (seperti Santo Thomas Aquinas) cenderung berfokus pada hukum alam dan logika. Sementara mereka yang berasal dari persaudaraan Fransiskan (misalnya, Duns Scotus) sering mengeksplorasi metafisika dan kehendak bebas.

Teologi juga bukan satu-satunya mata pelajaran yang diajarkan Gereja. Teologi juga menciptakan sistem persekolahan modern kita. Karena tanpa masukannya, tidak akan ada Skolastisisme sebuah teori pendidikan yang masih ditemukan di pusat-pusat pembelajaran besar, seperti universitas.

Landasan Teologis Skolastisisme

Iman dan akal budi dianggap sebagai kekuatan yang saling bertentangan. Namun, Gereja Katolik tidak memandangnya demikian. Alih-alih memihak salah satu pihak, tradisi Skolastik mencoba menunjukkan bahwa iman dan akal budi dapat bekerja sama. Bahkan, mereka berpendapat bahwa analisis logis justru dapat memperkuat keyakinan.

Para skolastik menerapkan pendekatan ini pada beberapa pertanyaan besar. Misalnya, apakah Tuhan itu ada? Apakah manusia memiliki kehendak bebas? Apa yang membuat suatu tindakan bermoral? Alih-alih hanya mengandalkan wahyu agama untuk mengeksplorasi hal-hal tersebut, mereka juga menggunakan perangkat seperti filsafat dan logika.

Argumen ontologis tentang keberadaan Tuhan, yang dikembangkan oleh Santo Anselmus menggambarkan metodenya dengan baik: argumen ini didasarkan pada gagasan bahwa karena kita dapat membayangkan keberadaan yang sempurna, keberadaan tersebut pasti ada. Dengan kata lain, iman dapat dibuktikan masuk akal.

Sikap para pemikir Kristen awal terhadap akal budi mungkin sulit dipahami oleh kita, orang-orang modern. Seperti Bapa Gereja lainnya, Santo Agustinus percaya bahwa karena Tuhan menciptakan dunia, kajiannya akan mengungkapkan kebenaran tentang-Nya.

Santo Thomas Aquinas dan Sintesis Doktrin Kristen dan Pemikiran Aristoteles

Filsafat Santo Thomas Aquinas merevolusi bidang ini. Meskipun banyak umat beragama ragu untuk sepenuhnya menerima logika Aristoteles, Aquinas berpendapat bahwa iman dan akal budi tidaklah bertentangan. Alih-alih menghindari filsafat kuno, ia justru merangkulnya, menunjukkan bahwa alih-alih melemahkan keyakinan Kristen, gagasan-gagasan Yunani justru dapat memperkayanya.

Summa Theologica karyanya tetap menjadi salah satu teks kunci Skolastisisme. Dengan pendekatan metodis, Aquinas membahas pertanyaan-pertanyaan sulit tentang doktrin Kristen, seperti apakah mungkin membuktikan keberadaan Tuhan atau bagaimana manusia seharusnya menentukan benar dan salah.

Aquinas juga terkenal karena mengembangkan Lima Jalan penjelasan logis tentang keberadaan Tuhan berdasarkan gerak, kausalitas, dan rancangan. Karya ini membentuk pemikiran Katolik dalam berbagai bidang, termasuk hukum alam (bagaimana hukum yang dibuat manusia mencerminkan prinsip-prinsip abadi) dan filsafat moral (apa yang dimaksud dengan perilaku yang benar dan salah?).

Aquinas disambut dengan sepenuh hati oleh Gereja Katolik. Meskipun beberapa teolog awalnya ragu, mereka segera mengenalinya sebagai tokoh kunci dalam filsafat Kristen. Bahkan, pada tahun 1323, ia menjadi santo dan kemudian, menjadi “Doktor Gereja”, salah satu pemikir terbesar dalam iman.

Aquinas tidak hanya memandang agama. Ia mendefinisikan ulang makna agama. Dengan menggabungkan gagasan-gagasan dari Kekristenan dan filsuf kuno Aristoteles, ia memberikan prinsip-prinsip inti kepada Skolastisisme. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi dasar ajaran dan pembelajaran Katolik bagi generasi-generasi mendatang.

Peran Ordo-Ordo Religius dalam Pemikiran Skolastik

Skolastisisme lebih dari sekadar gerakan intelektual. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, skolastisisme didukung oleh ordo-ordo keagamaan, terutama Dominikan dan Fransiskan, yang meninggalkan jejak mereka pada pemikiran abad pertengahan dengan berbagai cara, memperdebatkan isu-isu seperti logika, kehendak bebas dan hakikat Tuhan.

Para Dominikan yang secara resmi dikenal sebagai Ordo Pengkhotbah tertarik pada akal budi dan teologi sistematis. Dalam tradisi ini, tokoh terkemuka mereka adalah Santo Thomas Aquinas, yang menggunakan logika Aristoteles untuk membangun fondasi rasional bagi keyakinan Kristen.

Pemikir Dominikan terkemuka lainnya, Albertus Magnus, menyarankan bahwa, bersama dengan teologi, orang harus mempelajari sains, alam, dan filsafat.

Salah satu bidang di mana kaum Dominikan meninggalkan jejak adalah dalam hukum alam: gagasan bahwa kebenaran moral merupakan bagian dari tatanan alam semesta dan dapat ditemukan menggunakan akal karena kebenaran tersebut melekat pada hakikatnya.

Sebaliknya, para Fransiskan mendekati Skolastisisme dengan lebih banyak intuisi dan mistisisme. Misalnya, Duns Scotus tidak sependapat dengan pandangan Aquinas. Ia percaya bahwa kehendak Tuhan mengalahkan akal manusia, sebuah perspektif yang menunjukkan bahwa pilihan ilahi (bukan hanya logika) menentukan benar dan salah.

Ockham juga menantang Thomas dengan memperkenalkan ” Pisau Cukur Ockham “, yang menyatakan bahwa kita sebaiknya lebih menyukai penjelasan sederhana jika memungkinkan. Gagasan ini sejak saat itu sangat berpengaruh dalam sains dan filsafat.

Keduanya memiliki pengaruh yang bertahan lama. Para Dominikan berusaha menciptakan sistem atau kerangka kerja teologi yang lengkap; beberapa bagiannya masih digunakan hingga saat ini. Sebaliknya, para cendekiawan Fransiskan memperdebatkan hakikat kuasa ilahi dan kehendak bebas, pertanyaan-pertanyaan yang telah membentuk filsafat Barat sejak saat itu.

Kemunduran dan Warisan Skolastisisme: Pengaruh Gereja Melampaui Abad Pertengahan

Selama periode abad pertengahan, Skolastisisme mendominasi pemikiran intelektual. Namun, hal ini mulai berubah seiring dengan Renaisans. Kebangkitan humanisme menyebabkan pergeseran prioritas: alih-alih teologi yang semata-mata didasarkan pada logika, orang-orang mulai memandang seni, pengalaman manusia individual, dan pengetahuan ilmiah.

Beberapa cendekiawan pada masa itu termasuk Erasmus dan Desiderius merasa bahwa perdebatan dalam filsafat Skolastik telah menjadi terlalu abstrak. Mereka ingin para pemikir lebih memperhatikan masalah-masalah sehari-hari.

Pada periode yang sama, cara-cara baru dalam melakukan sains ( Francis Bacon ) atau membuat argumen ( Rene Descartes ) sedang dikembangkan, yang tidak mengikuti garis-garis Skolastik tradisional.

Meskipun para filsuf arus utama menjauh dari Skolastisisme setelah Renaisans, aliran ini tetap digunakan dalam Gereja Katolik. Bahkan, gereja menghidupkan kembali beberapa gagasan ketika Neo-Thomisme menjadi terkenal antara tahun 1800-an dan 1900-an, yang kembali menekankan ajaran Aquinas.

Didorong oleh Paus Leo XIII, para cendekiawan Katolik kembali kepada penalaran Skolastik untuk mempertahankan iman mereka terhadap sekularisme. Kembalinya mereka kepada Skolastik ini berdampak positif pada pendidikan (menjadikannya lebih Katolik), teologi moral, dan hukum kodrat.

Dampak dari gagasan Skolastik ini masih terasa dalam pemikiran Katolik saat ini; orang dapat melihat para pemikir Gereja menggunakan struktur logika Aquinas untuk membahas hukum, etika, sains, dan hubungan timbal baliknya.

Bukan hanya orang beriman yang menemukan nilai dalam argumentasi rasional semacam ini. Bahkan beberapa filsuf atau pengacara yang bekerja di luar tradisi agama pun dapat memperoleh manfaat dari penekanannya pada debat dengan aturan dan bukti.

Meskipun aliran semacam ini tidak lagi berpengaruh seperti pada abad-abad sebelumnya, warisannya masih bertahan, membentuk pemikiran, argumen dan pencarian kita akan kebenaran.

Peran Gereja Katolik dalam Pengembangan Filsafat Skolastik

Gereja Katolik memainkan peran penting dalam perkembangan filsafat Skolastik. Gereja telah melakukan segalanya, mulai dari melestarikan ajaran biara-biara kuno hingga mendirikan universitas-universitas tempat para cendekiawan dapat berdebat tentang berbagai gagasan.

Di bawah naungannya, “Skolastisisme” telah berkembang, dan bersamanya, cara berpikir baru tentang agama, moral, dan hukum pun muncul. Dalam sistem ini, iman tidak bertentangan dengan akal; melainkan, iman hidup berdampingan secara harmonis.

Skolastisisme memungkinkan orang untuk menyelaraskan keyakinan agama mereka dengan intelektualisme selama berabad-abad. Skolastisisme memengaruhi etika, teologi, dan pendidikan. Tidak lagi sedominan dulu, gereja masih melanjutkan doktrin-doktrinnya melalui Neo-Thomisme, sebuah kebangkitan pemikiran dari zaman Thomas Aquinas dengan sentuhan baru.

Namun, saat ini, apakah masih ada yang tertarik dengan tradisi ini? Kita berada di era perubahan ilmiah yang semakin cepat, di mana pertanyaan-pertanyaan moral terus-menerus ditafsirkan ulang: dapatkah sintesis iman dan akal budi abad pertengahan menawarkan sesuatu yang relevan saat ini?

Mungkin saja. Skolastisisme mungkin bukan sekadar masa lalu, melainkan sebuah metodologi yang dapat membantu kita menemukan kebenaran di zaman kita juga.*