Ini pernyataan Sikap Penolakan Masyarakat Adat Fatukusi TTS Terkait Pengukuran Hutan Laob Tumbesi dan Hutan Mutis Timau

0

Bulir.id – Masyarakat adat Desa Fatukusi, Kecamatan KiE Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak tegas pengukuran dan pemasangan batas definitif hutan Laob Tumbesi dan hutan Mutis Timau yang berlokasi di daerah itu.

Sikap penolakan masyarakat adat Desa Fatukusi ini merujuk pada surat Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan Wilayah XIV Kupang tertanggal tertanggal 22 Agustus 2023 dengan nomor surat: S.348/BPKHLT.XIV/PPKH/PLA.2/8/2003.

Surat ini memerintahkan penataan batas definitif kawasan hutan Kabupaten Timor Tengah Selatan, yang isinya akan diadakan kegiatan pengukuran dan pemasangan batas definitif kelompok hutan Laob Tumbesi (Tunbesi) dan kelompok hutan Mutis Timau.

Terkait dengan surat ini, kelompok Masyarakat Adat Desa Fatukusi menyatakan, tetap tunduk dan taat terhadap keputusan pemerintah namun dalam hal ini tokoh adat, tokoh masyarakat dan perwakilan lembaga adat desa Fatukusi Kecamatan KiE menyampaikan hal-hal sebagai berikut.

1. Dengan tegas menyatakan bahwa seluruh tanah yang berlokasi di dalam wilayah Desa Fatukusi, Kecamatan KiE, Kabupaten TTS, Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah merupakan tanah warisan leluhur ratusan tahun yang lalu/tanah milik masyarakat sejak turun-temurun yang dikuasai untuk Kebutuhan Pemukiman Warga, Perkebunan, Pertanian Terpadu, Tempat Pemakaman Umum, Padang Ternak, Fasilitas Umum (Kantor Desa, Jalan Raya, Sekolah, Gereja, Posyandu, Masjid, Kapela, dll) sebelum Pemerintah NKRI ini ada, dengan status Tanah Milik Masyarakat Pribumi yang dikuasai hingga hari ini, tetapi tidak pernah ada pernyataan kepemilikan atau penguasaan kawasan kerajaan Amanabun oleh pihak manapun di wilayah Desa Pillli, Desa Fatukusi dan sekitarnya hingga hari ini.

2. Tanah/wilayah tersebut secara historis perlu diakui……bahwa hampir dirampas dan dikuasai oleh para penjajah/kolonial Bangsa Eropa seperti Belanda, Portugis, Inggris dan lain-lain; tetapi karena kegigihan dan keuletan para pendahulu (Nenek Moyang) yang berjuang melawan penjajah saat itu walaupun darah dan nyawa jadi taruhan……, akhirnya tetap menegakkan kehormatan dan menguasai kembali seluruh wilayah Desa Fatukusi dan sekitarnya serta mengembalikan kejayaan suku Amanabun di bawah pimpinan Raja Amanabun (Raja Nope) dan para tokoh yang strukturnya di bawah Raja seperti: Off-Fetor, Nai, Meo, Temukung dan Anna’ amnes.

3. Pusat kerajaan Amanabun berlokasi mula-mula di Tunbes (sekarang Desa Pilli), selanjutnya dipindahkan ke Besabnao (juga wilayah Desa Pilli) dan akhirnya pusat kerajaan (Sonaf) dipindahkan ke Niki-Niki Kecamatan Amanabun Tengah hingga NKRI dinyatakan merdeka tahun 1945 tapi TIDAK PERNAH ADA KLAIM ATAU TIDAK PERNAH ADA PERNYATAAN KEPEMILIKAN ATAU PENGUASAAN KAWASAN KERAJAAN AMANABUN OLEH PIHAK MANAPUN DI WILAYAH DESA PILLI DAN SEKITARNYA; maka atas dasar itulah tanah tersebut dikuasai dan dihuni oleh masyarakat hingga sekarang sebagai tanah warisan para leluhur/tanah masyarakat pribumi.

4. Setelah pusat kerajaan Amanabun dipindahkan dari Basebnao ke Niki-Niki Amanabun Tengah, seluruh tanah-tanah yang terhampar di Desa Pilli, Desa Fatukusi dan sekitarnya; DENGAN TULUS DIKEMBALIKAN oleh Raja Nope bagi para Amaf/bangsawan pribumi yakni Amaf/Kepala Suku : Nuban, Nubatonis, Tenis dan Asbanu yang sering disebut: Atoin ha-Moen ha dan Amaf-amaf yang lain sebagai pewaris seluruh tanah-tanah tersebut sebagai persatuan keturunan suku Amanabun. Itulah alur penguasaan tanah-tanah yang terhampar di Desa Pilli, Desa Fatukusi dan desa-desa sekitarnya, yang sesungguhnya merupakan tanah warisan para leluhur yang akan dijaga, dikuasai dan diolah untuk kesejahteraan semua penghuninya selaku masyarakat pribumi Amanabun.

5. Dalam menyikapi penyebutan nama tempat atau tutur budaya suatu daerah/tempat perlu kami tegaskan bahwa sejak zaman dahulu hingga sekarang, kerajaan Amanabun tidak pernah ada di tempat wilayah Desa Pilli dan sekitarnya yang disebut LOAB TUMBESI, kecuali Tunbes.

Untuk itu, usul konkrit kami sebagai Persatuan Masyarakat Adat Desa Pilli Kecamatan Kie bagi pemerintah, yakni mohon tinjau kembali daerah/tempat Laob-Tumbesi yang disebut-sebut sebagai kawasan kehutanan jangan sampai daerah/tempat lain.

6. Bahwa berdasarkan pemahaman, tanah adalah keutuhan peninggalan para leluhur sebagai dasar kehidupan yang menghidupkan masyarakat atau manusia itu sendiri; maka kecintaan seluruh anak keturunan masyarakat Amanabun terhadap wilayah kerajaan Amanabun adalah bersifat MUTLAK semenjak kerajaan Amanabun di Tunbes ada hingga hari ini. Untuk itu kami selaku masyarakat, Tokoh Adat dan Lembaga Adat Amanabun pada umumnya dan Lembaga Adat Desa Pilli pada khusunya menyatakan TIDAK PERNAH MENJUAL / MENYERAHKAN TANAH TERSEBUT kepada pihak manapun dan pada waktu kapanpun sekalipun zaman selalu berubah.

7. Bahwa berdasarkan UU RI NO 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang salah satunya adalah Kerajaan Amanabun Lokasi Desa Pilli, Kecamatan Kie mengisyaratkan bahwa Desa Pilli semenjak zaman dahulu telah menjadi Perkampungan Tua yang ditandai dengan benda-benda zaman dulu seperti: Kuburan Para Leluhur, Rumah Tua, Tumpukan Batu, Puing-puing Lopo, Tulisan-tulisan, Batu dan lain-lain, yang sesungguhnya membenarkan bahwa tanah/kawasan kerajaan Amanabun adalah Tanah Milik Masyarakat Pribumi yang tidak bisa diklaim kepemilikannya oleh siapapun.

Pernyataan Sikap Penolakan Masyarakat Adat Desa Fatukusi

Oleh karena beberapa fakta historis di atas, masyarakat adat Desa Pilli, Kecamatan KiE, Kabupaten TTS, NTT menyatakan:

1. Dengan TEGAS MENOLAK Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Lingkungan Wilayah XIV Kupang, Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Dinas Kehutanan Kabupaten TTS, Dinas UPT KPH Wilayah Kab.TTS serta tingkatannya masing-masing di tempat untuk menetapkan tanah-tanah masyarakat yang ada di seluruh Wilayah Desa Fatukusi Kecamatan KiE Kab. TTS sebagai kawasan kehutanan yang akan diukur dan dipasang patok sebagai batas definitif kehutanan secara sewenang-wenang.

2. Dengan Tegas Menolak segala upaya pemerintah untuk mengklaim dan mengidentifikasi seluruh atau sebagian tanah yang terhampar di wilayah Desa Fatukusi Kecamatan KiE dengan status atau rumor yang berkembang bahwa wilayah atau daerah kami adalah Kawasan Hutan Produksi Laob Tumbesi sebab di daerah kami bernama Tunbes bukan Laob Tumbesi, tanpa melibatkan serta mendapat persetujuan semua masyarakat, Para Tokoh Adat dan seluruh Lembaga Adat Amanabun. Singkat kata, dikatakan bahwa tanah-tanah yang ada di Desa Fatukusi dan sekitarnya adalah Tanah Milik Masyarakat Bukan Tanah Kehutanan.

3. Dengan adanya UU NO 5 Tahun 1992 tentang Cagar Budaya yang Nota-benenya adalah kerajaan Amanabun dengan situs bersejarah Tunbes, maka menunjukkan secara jelas bahwa Tunbesi / Kerjaaan Amanabun Bukan Merupakan Hutan melainkan Kampung Tua / Pusara Kerajaan Amanabun (sekarang Desa Pilli, Kecamatan KiE – TTS). Untuk itu, mohon kepada Pemerintah Daerah yakni Kabupaten dan Provinsi serta Pemerintah Pusat agar merevisi kembali Surat Keputusan Menteri Kehutan RI tersebut.

4. Apabila Pemerintah Daerah, yakni Kabupaten maupun Provinsi serta Pemerintah Pusat mengklaim bahwa tanah tersebut adalah kawasan kehutanan, pertanyaan sederhana kami bahwa sejak kapan Desa Pilli, Desa Fatukusi dijadikan Kawasan Kehutanan, siapa yang menyerahkan wilayah tersebut kepada pemerintah (pihak kehutanan) & apa dasar hukumnya, beserta waktu dan tempat kejadian.

5. Sehubungan dengan penyebutan dan status tanah-tanah yang terhampar di sekitar wilayah Kerajaan Amanabun dan sekitarnya (sekarang Desa Pilli, Desa Fatukusi dan desa-desa tetangga yang tidak disebutkan satu per satu) terlanjur disebut-sebut sebagai kawasan kehutanan……….kiranya ada langkah bijak untuk merevisi kembali SK Menteri Kehutan RI tahun 2014 tersebut dan perkenankan kami selaku masyarakat menyampaikan Permohonan Perubahan Status Tanah dari Kehutanan Menjadi Tanah Milik Masyarakat Desa Fatukusi untuk selanjutnya dapat diakses kepemilikannya secara hukum oleh semua masyarakat seperti sertifikasi mandiri atau program nasional (Prona) sertifikasi tanah masyarakat oleh pemerintah secara gratis sebagai bentuk Win-Solution.

Demikian surat pernyataan penolakan Masyarakat Adat Desa Fatukusi, Kecamatan KiE, Kabupaten TTS, NTT atas pengukuran pemasangan batas definitif hutan Laob Tumbesi dan hutan Mutis Timau.

Surat pernyataan penolakan ini dibuat oleh Masyarakat Adat Desa Fatukusi dengan Ketua: NITANAEL NUBAN & SANTHO KIKHAU serta Sekretari SAMUEL KIKHAU dan YUSTUS BOSOIN. Selain itu surat pernyataan penolakan ini juga ditandatangani oleh 212 orang warga yang tak lain merupakan masyarakat Adat Desa Pilli.

Surat ini juga dibuat dengan tembusan sebagai berikut:

1. Presiden RI di Jakarta
2. Komisiaris Hak Asasi Internasional (OHCHR) di Jenewa
3. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI di Jakarta
4. Direktorat Jendral Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan di Jakarta
5. Ketua DPR RI di Jakarta
6. Mahkamah Agung RI di Jakarta
7. Gubernur Nusa Tenggara Timur di Kupang
8. Ketua DPRD Provinsi NTT di Kupang
9. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT di Kupang
10. Kepala Badai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan NTT di Kupang
11. Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan di Soe
12. Ketua DPRD TTS di Soe
13. Kepala UPT KPH Wilayah Kab. TTS di Soe
14. Camat KiE di KiE
15. Arsip