Oleh: Tarisya Maharani Ohorella
Tilik. Bulir.di–Apa yang diajarkan sekolahmu tentang toleransi?
Konsep toleransi memang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Sekolah, di jenjang pendidikan apapun, selalu mengajarkan hal tersebut: toleransi penting dilakukan di dalam masyarakat yang beragam. Kita sebagai bagian dari masyarakat multikultur harus bisa menerima perbedaan tersebut, dan hidup dalam keadaan yang damai. Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda namun tetap satu jua.
Edukasi tersebut telah disampaikan berulang-ulang, dan menjadi sebuah ingatan yang tertanam karena penyampaiannya yang repetitif. Namun, bagaimana dengan praktiknya? Saya sendiri kesulitan apabila harus menjawab pertanyaan di awal tulisan ini. Apa yang harus saya sampaikan selain ‘tidak mengganggu umat beragama lain ketika beribadah? Mengapa masih banyak diskriminasi yang terjadi di sekolah, ketika pengajaran mengenai toleransi telah disampaikan berulang-ulang?
Toleransi adalah bagian dari budaya damai atau peace culture. Sehingga jelas tujuan akhir dari pendidikan ini adalah mewujudkan masyarakat yang damai. Damai dalam artian dapat menjalani hidup tanpa merasakan adanya ancaman dan rasa tidak aman ketika menjadi diri mereka sendiri. Terlepas dari agama, kepercayaan, budaya, dan way of life-nya.
Lalu, apa yang membuat edukasi mengenai toleransi di sekolah tidak efektif? Permasalahan dalam pengajaran saat ini adalah hanya ada pengulangan pada definisi konsep toleransi saja, tidak dalam penyampaian esensi dari toleransi itu sendiri. Toleransi bukan hanya sebuah ide, meskipun harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari sekolah.
Sekolah sebagai institusi pendidikan formal memiliki peran aktif dalam menciptakan peace agent atau agen perdamaian. Pendidikan perdamaian memang sudah seharusnya disampaikan sejak kecil. Selain itu, siswa menghabiskan banyak waktu di sekolah, sehingga seharusnya kesempatan ini digunakan untuk membentuk pola pikir siswa yang berorientasi pada perdamaian.
Namun, di sekolah ada beberapa permasalahan yang menjadi hambatan pendidikan perdamaian dalam bentuk toleransi ini. Banyak institusi pendidikan formal di Indonesia yang belum menciptakan suasana kondusif untuk proses pengajaran pendidikan perdamaian. Hal ini tercermin dari bagaimana sekolah memperlakukan siswa yang menganut agama minoritas.
Ada tindakan segregasi antara siswa beragama mayoritas dan minoritas, dengan alasan yang beragam, yang menyebabkan pola pikir membeda-bedakan teman berdasarkan agama pada siswa. Pembiasaan ini membuat siswa menjadi gagap ketika harus berdinamika dan beradaptasi dalam keberagaman. Pada akhirnya, kegagapan tersebut akan berpotensi menumbuhkan bibit konflik.
Selain itu, terdapat silabus pendidikan yang kaku dan tidak memberi ruang pada pengajar dan murid untuk berinteraksi secara kritis mengenai fenomena yang terjadi di masyarakat. Misalnya, pendidikan sejarah hanya berfokus pada hafalan sejarah konflik dan perpecahan di masa lampau. Perang tahun sekian, pembunuhan oleh tokoh anu. Padahal, seharusnya subjek sejarah dapat digunakan sebagai sesi refleksi bagi siswa yang diarahkan oleh pengajar. Sehingga, sejarah tidak terpisah secara linimasa, namun mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Begitu pula dengan pendidikan agama. Pendidikan agama seharusnya lebih condong mengajarkan nilai-nilai dan moral yang dapat diaplikasikan di kehidupan sehari-hari, di masyarakat. Namun, dalam prosesnya, harus ada dialog yang terjadi antara pengajar dan murid mengenai moral value ini. Karena tidak dapat dipungkiri, dinamika di masyarakat memungkinkan adanya perbedaan moral value antara generasi pengajar dan generasi murid yang sedang diajar.
Apabila moral value ini hanya diberikan satu arah, ada kemungkinan besar keterhubungan antara murid dan pengajar terputus, sehingga pemahaman tidak dapat tersampaikan dengan baik. Kenyataannya, justru terjadi diskriminasi dan juga aktivitas segregasi yang dilakukan oleh beberapa pengajar pelajaran agama di Indonesia. Beberapa lebih menekankan pentingnya praktik dan simbol, dibandingkan fungsi moral value yang dapat diaplikasikan dari agama tersebut untuk siswa di sekolah.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa pendidikan mengenai toleransi di sekolah masih dalam level ko-eksistensi. Ko-eksistensi yang dimaksud adalah keadaan di mana adanya perbedaan yang hidup bersamaan saja dalam lingkungan yang multikultur. Seharusnya, toleransi ditujukan untuk menciptakan keadaan yang pro-eksistensi. Di mana masyarakat pro-eksistensi tidak hanya mengetahui dan mengakui adanya perbedaan tersebut (acknowledging the diversity), namun bekerja sama dalam membentuk lingkungan yang ramah perbedaan tersebut (making inclusion environment). Masyarakat yang pro-eksistensi mampu mengarahkan dan memanfaatkan perbedaan tersebut untuk membentuk satu masyarakat yang damai.
Berbagai konflik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh perbedaan ras, etnis, dan agama, harus dijadikan sebagai wake up call bagi pengajar-khususnya institusi pendidikan pada jenjang awal seperti Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, maupun Sekolah Menengah Pertama. Di usia krusial, nilai dan esensi toleransi harus dapat tertanam dengan baik, namun juga dapat terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dari pengajar, maupun murid, harus menyadari adanya urgensi dari budaya toleransi ini. Sehingga, kita dapat membentuk pondasi masyarakat damai yang kuat untuk kehidupan Indonesia.
***
Penulis merupakan mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya yang tertarik dengan isu-isu perdamaian. Penulis juga aktif berorganisasi. Apabila sedang tidak mengerjakan tugas kuliah, penulis senang membaca novel roman dan berselancar di Pinterest.