Tabur, BULIR.ID – Masyarakat Amerika cendrung menggunaan frasa ‘fake news’ daripada istilah ‘hoax’ untuk menyebut berita bohong. Fake news bermakna berita bohong atau berita yang direkayasa, dimana berisi informasi palsu dengan motif untuk memfitnah dan mencelakakan orang lain.
Demikian disampaikan Direktur Media Bulir.id Rikard Djegadut ketika dimintai pandangannya terkait masalah hoax di sela-sela acara pertunjukan band PlaySet yang digawangi Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim era SBY di Klub Eksekutif Persada Jakarta Timur, Kamis (28/11/21).
“Sebagian besar masyarakat Indonesia salah kaprah mengartikan kata hoax yang berkembang. Padahal hoax sebenarnya berisi informasi bohong yang tujuannya untuk bercanda atau sekedar untuk menghibur. Sedangkan fake news berisi informasi bohong dengan tujuan mencelakakan orang lain,” kata Rikardo-sapaan akrabnya.
Kata hoax sendiri pertama kali muncul dan langsung populer di pertengahan hingga akhir abad ke-18. Banyak yang meyakini kata ini berasal dari hocus, kependekan dari istilah pesulap hocus pocus yang berarti fokus mengelabui. Kalimat pendek ini sendiri muncul di awal abad ke-17.
Menurut Pakar Bahasa Ingris Robert Nares, Hocus pocus mengacu pada mantra para penyihir yang sering digunakan para pesulap dalam membuat trik, sebagai sarana hiburan. Meski demikian, tak ada satu pun yang dirugikan dalam hal ini. Nares mengungungkapkan bahwa latar belakang inilah sebagai konfirmasi kuat asal kata hoax.
“Jadi sebaiknya masyarakat kita mulai membiasakan penggunaan berita bohong, dan bukan hoax untuk menyebut sebuah berita yang diduga memenuhi unsur berita bohong. Dan sebagai catatan bahwa untuk menentukan sebuah berita itu fake news atau tidak, membutuhkan sejumlah kriteria yang dapat didalami,” beber Rikardo.
Menurutnya, setidaknya terdapat puluhan kriteria agar sebuah berita dikatakan fake news atau berita bohong. Pertama dapat menciptakan kecemasan, kebencian, permusuhan. Sumber tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi.
“Pesan sepihak, menyerang, dan tidak netral atau berat sebelah. Kemudian mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal. Memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat. Judul dan pengantarnya provokatif dan tidak cocok dengan isinya,” urai Rikardo.
Berikutnya, Ia menambahkan, berita bohong juga dapat dideteksi dengan memberi penjulukan. Minta berita supaya di-share atau diviralkan. Menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya.
Selain itu, artikel yang ditulis biasanya menyembunyikan fakta dan data serta memelintir pernyataan narasumbernya. Berita ini biasanya ditulis oleh media abal-abal, di mana alamat media dan penanggung jawab tidak jelas.
“Terakhir, manipulasi foto dan keterangannya. Foto-foto yang digunakan biasanya sudah lama dan berasal dari kejadian di tempat lain dan keterangannya juga dimanipulasi,” imbuhnya.
Rikardo mengatakan, jika sebuah berita memuat unsur-unsur dan atau kriteria-kriteria di atas, baru dapat dikatakan berita bohong. Namun sayangnya, tambah Rikardo, masyarakat kita cendrung melabeli sebuah berita dengan kata ‘hoax’ berdasarkan preferensi sang pembaca berita tersebut.
Rikardo montohkan, ia dan timnya pernah mengungkap sebuah kasus korupsi yang melibatkan seorang tokoh. Dalam berita yang diturunkan tersebut memuat agenda pemeriksaan oleh Jaksa terhadap tokoh tersebut. Mirisnya, Rikardo menyimpulkan, medianya disebut menyebarkan berita bohong.
“Padahal informasi soal agenda itu datang langsung dari Humas Kejaksaan. Jadi karena berita ini berpotensi menyudutkan pihak tertentu, lalu media dibilang menyebarkan informasi bohong. Ini salah besar,” tegas Rikardo.
Menurut Rikardo, pemahaman seperti ini jelas salah. Sebab media fungsinya menyampaikan (delivere) pesan dari narasumber. Jadi seharunya, jika informasi yang disampaikan narasumber tersebut bertentangan, maka jangan media atau beritanya dilabeli bohong, tapi narasumbernya.
“Salah kaprah mengartikan berita bohong ini perlu diluruskan. Sebab bagaimana pun juga, ini sangat berdampak secara psikologis bagi para wartawan itu sendiri. Mereka yang tadinya punya niat mengebu-ngebu untuk berada di garis terdepan memerangi korupsi, justru dihalangi dengan pelabelan menyebarkan berita bohong oleh masyarakat. Untuk itu, masyarakat kita perlu diedukasi,” jelas Rikardo.
Rikardo menjelaskan, media yang dikelola secara profesional tidak akan menyebarkan berita bohong. Sebab ketika sebuah berita itu ditayangkan, ada sejumlah tahapan yang dilewati. Dimulai dari pekerjaan sang jurnalis melakukan croscheck terhadap informasi yang diperolehnya, yang meliputi upaya konfirmasi dan klarifikasi terhadap narasumber yang ada dalam informasi itu.
“Selanjutnya, berita akan naik ke redaksi. Di sana, editor dan redaktur akan melakukan cross check terhadap tulisan wartawan tersebut. Jika sebuah tulisan dinilai cukup sensitif dan dapat merugikan pihak tertentu, diperlukan tulisan yang sifatnya cover both side dan lain sebagainya,” urai Rikardo.
Sementara terkait kebijakan publik yang merupakan konsumi masyarakat umum, pendapat satu pakar saja tidak cukup, dibutuhkan pendapat dari pakar lainnya.
“Mengapa hal ini perlu karena, kadang para pakar dan ahli ini berbicara berdasarkan kepentingannya. Jadi ada kepentingan politis tertentu. Makanya butuh pendapat dari pakar lainnya, yang sekiranya ia berbicara apa adanya dan tidak mengabaikan kebenaran,” beber Rikardo.*
