MADAH WAKTU
(1)
sejauh-jauh berkayuh; menyampan samudera dihantam ombak berdebur; aku mendengkur dalam lamunan nikmat-nikmat waktu; ketika wajah terangkat ke langit ceria; di mana-mana terdengar alam bermadah
aku menyejarah dan menarasi turun temurun; tentang waktu yang adalah keberlangsungan dan rahmat; di dalamnya langkahku mengayun hingga ke alas tiba; di saat itulah, kematian datang tidak perlu diundang
aku dan engkau bernasib sama; di depan ruang dan waktu, kita adalah makhluk fana
(2)
sesekali tataplah tanah; untuk sekedar tahu seberapa jauh kita telah berjalan; tataplah tetumbuhan dan desiran dedaunan mereka; untuk sekedar tahu betapa mereka menjadi madah orkestra tentang waktu; yang direkam oleh mata hati di lubuk kalbu; sesekali kita menjadikannya sebuah syair; karena kita yang meruang dan mewaktu adalah sebuah puisi
tataplah, waktu telah menapaki tanah; amat perlahan dan meresap ke dalam rahimnya; jika saja diperkenankan, waktu ingin tinggal abadi padanya; waktu tak akan pergi darinya; wahai mahkluk di bumi; cintailah waktu, di dalamnya engkau berlangsung dan berahmat; jangan sekali-kali melintasinya dengan tergesa-gesa dan bernapsu cepat-cepat minggat; gaulilah waktu dengan kasih sayang; ia adalah khronos dan khairos; adalah keberlangsungan dan keselamatan Allah; maka hidupmu tak kembali ke titik nol
(3)
sesekali tataplah kota-kota; mereka sudah lupa waktu; karena kota-kota merengkuhnya; mengangkanginya tanpa rasa syukur sedikit pun; mereka mengepaknya dalam paket-paket;
yang penting segala sesuatu cepat-cepat beres
lihatlah, kota-kota dengan peradaban moderen sedang menghinakannya; sedang menyamakannya dengan lempengan mata uang; betapa kota-kota itu menurunkan derajat waktu; dengan menjadikan tumpukan uang, nama dan kuasa, tujuan hidup
(4)
lihatlah, waktu hinggap di pucuk-pucuk pepohonan, menggerakkan dedaunan; ia bernyanyi di paruh burung-burung; mengaliri sungai-sungai, sampai ke seribu muara, menjadikan samudera bergolak, beribu samudera menjadi lingkaran sungai-sungai; berlompatan dari planet ke planet, dari galaksi ke galaksi
waktu melewatimu, menyentuh tengkukmu dan saat itu juga meninggalkanmu; ia mengucapkan salamnya kepadamu setiap hitungan detik, menjadikanmu berusia setahun, dua
tahun, tiga tahun dan bertahun-tahun; tanpa pernah usia itu menjadi milikmu
waktu padamu adalah pengurangan jatahnya atas hakmu; ia hadir di malam pesta ulang tahunmu; untuk mengingatkan bahwa yang bisa ia ucapkan kepadamu hanyalah selamat tinggal yang pedih; untuk hari-hari selanjutnya yang engkau tak kan tahu kapan berakhir
yah, itulah waktu; yang terjadi padamu, terjadi padaku; waktu mendatangimu, juga mendatangiku
(5)
ketika engkau berulang tahun; waktu berpapasan dengan usiamu; maka siapakah engkau? engkau adalah tegangan yang muncul tatkala mereka yang datang berpesta bersalaman-salaman; waktu bertegur sapa dengan usiamu: hei, siapakah namamu? waktu sendiri menjawab: engkau adalah sekelebatan; engkau adalah makhluk yang numpang sebentar di resta area bumi; engkau tidak abadi; engkau adalah bayangan yang melintas ketika sorot mata mereka bertemu; waktu berderak-derak menghambur ke satu arah; dan usiamu melaju berlari ke arah yang sebaliknya
waktu senantiasa mengucapkan janji kepadamu untuk bertemu pada suatu hari; di halaman rumah Tuhan, saat engkau mati; janji itu harus dijawab dari mulutmu yang berulang-tahun; siapa kah penentu terlaksananya janji kalau bukan engkau
waktu senantiasa mengulangi sumpah cintanya; jika dari mulutmu ia cium bau harum karena hatimu beraroma kasih sayang; maka dijunjungnya-lah engkau; jika dari badanmu ia hirup bau busuk karena ambisi kebesaran nama, harta dan kuasa; maka usiamu menjadi sampah; ia campakkan ke ruang-ruang kehinaan
maka lantunkanlah madah waktu
ia adalah keberlangsunan dan rahmat
sepanjang-panjang nafasmu berhembus
*
(gnb:tmn aries:jkt:senin:4 oktober ’21)
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.