MADAH PENGEMBARA
(1)
tak terhitung sudah, entah langkahnya yang ke berapa
sesekali ia pejamkan mata
dan menyebut dua nama: Allah yang Maha Besar dan kekasih yang mempesona
itulah madah dan energi jiwa
sejauh-jauh berkembara hingga mendarat di alas tiba
ditembusnya padatan demi padatan
busur jiwanya adalah cinta
sayap-sayapnya adalah kerinduan
yang melayang-layang di antara fana dan baka
khayalan pun habis-habisan menipu kesadarannya
ternyata sesungguhnya ia adalah pengembara
bumi ini hanyalah rest area
sayap-sayap kerinduanlah yang menghiburnya
(2)
sesosok makhluk termenung
dengan tergopoh-gopoh, langkahnya merengkuh
terngiang-ngiang di telinganya sebuah nyanyian
sembari menatap jauh ke arah sana, ia pun bermadah:
wahai Cahaya
sejatimu adalah Terang
mohon jangan pernah tidak menemaniku
menempuh semesta yang terjal berliku
yang hulunya gelap dan hilirnya keremangan
tidak ada padaku ilmu dan pengetahuan
untuk mengukur jarak tempuh yang dirahasiakan
telah kudengar nama-MU sepanjang hidupku
namun belum benar-benar aku tahu
nama-MU masih sebatas kata-kata dan huruf
telah kudengar hadir-MU di setiap siang dan malam
selalu sangat hadir pada setiap kehadiran
namun terasa sangat jauh
belum pernah benar-benar aku menemukan-MU
wahai Cahaya
tuntunlah aku segera ke sana
nun jauh di seberang kerinduan
(3)
apa sih maunya makhluk yang bernama manusia itu?; berlagak-laku tidak sebagaimana ia tercipta; yang siang dimalam-malamkan; yang malam disiang-siangkan; yang ikan bernafsu terbang; yang burung berlomba renang; yang salah dibenarkan; yang benar disalah-salahkan; yang cinta tapi tidak mengakui; yang setia diam-diam cari keuntungan; yang cari untung tidak setia; yang memburu surga dengan mengkapling-kapling untuk segolongan; yang beragama dengan memonopoli Tuhan; yang mandul doanya karena tanpa ketulusan; yang kering kerontang harapannya karena tanpa cinta dan kasih sayang
wahai manusia, sejatinya hanya pengembara-lah engkau; sesungguhnya engkau diam-diam punya keinginan untuk mendengar suara Tuhan secara langsung; memang itulah hakikat jiwamu: memendam kerinduan terhadap asal-usulmu; selalu mendambakan satu-satunya Terminal Akhir pengembaraan hidupmu
hidupmu adalah sebuah madah
terus terlantun hingga langkahmu terhadang oleh batas-batas tiba
(4)
wahai manusia sang pengembara
kamu hanyalah sehelai daun yang sekarang hijau
nanti juga kering berjatuhan dalam serpihan
menjadi budak-budak kesepian tiada pupus
namun selalu yakin akan hidup dalam keabadian
langkahmu saban hari menjadi syair abadi
layaknya daun-daun hijau yang melambai-lambai diterpa angin
menghijau indah namun fana
pasti jatuh mendebu lantaran kering
mempesona namun hanya sementara
daun berhelai-helai di pepohonan hijau
berdesir dan bermadah tentang hakekatmu
sesungguhnya kamu adalah makhluk picisan dan kerdil
hidupmu di bumi tidak abadi
(5)
menuju kaki langit di tengah-tengah perjalanan
makhluk sang pengembara meniti di atas jalan kata dan nada
menjadi madah yang mengantarnya ke dalam diri
melalui lorong-lorong puisi, lagu dan tari
satu-satunya cinta yang membuat dirinya betah untuk sesekali bertahan
karena kata dan nada pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
suara sang pengembara renyah seperti gairah hujan
menyelinap ke dalam jiwa
satu-satunya energi selama perjalanan
rambutnya yang tergerai serupa hutan tropis
pinggul yang meliuk-liuk membenihkan rindu
bersorak-sorai dengan nyanyian kodok di tepi kali
seperti ingin meringkus malam nan syahdu
tenggelam dalam lamunan sunyi
dalam arus lucu-lucu di zaman serba cepat informasi
ia tidak terhanyut
meski hakekat hidupnya adalah sendagurau
pantang mundur langkahnya menuju kekasih
dan akhirnya menuju Sang ABADI
terpendam rindu sejak dulu
kenyataan yang tidak bisa menipu
**
(gnb:tmn aries:jkt:rabu:6.10.’21)
*) Gerard N Bibang adalah dosen sekaligus penyair kelahiran Manggarai, Flores NTT. Ia adalah penyair yang menahbiskan dirinya sebagai petani humaniora. Gerard saat ini berdomisili di Jakarta.