Memahami Analisis Ontologis Sartre tentang Konsep Ada dan Tatapan

0

FILSAFAT, Bulir.id – Jean-Paul Sartre, seorang filsuf, novelis, dan penulis drama Prancis abad ke-20 yang berpengaruh, dikenal sebagai seorang Eksistensialisme. Nausea (1978), Being and Nothingness (1943), dan Existentialism and Humanism (1946) adalah karya-karyanya yang paling terkenal.

Sartre mengeksplorasi topik-topik seperti kesadaran, filsafat sosial, persepsi, ketiadaan, psikoanalisis, dan kehendak bebas. Dalam bagian ini, Sartre mengeksplorasi masalah orang lain, yaitu, bagaimana seseorang memahami orang lain sebagai subjek?

Sartre mengklaim bahwa melalui Tatapan, seseorang memperoleh kesadaran tematik tentang tubuh, yang mengarah pada pembentukan rasa kesadaran diri pada orang yang sedang ditatap. Ia juga berbicara tentang konsekuensi dari dilihat, dan bagaimana hal itu dapat menyebabkan emosi seperti kesombongan dan rasa malu.

Struktur Ontologis

Sartre menganggap perjumpaan dengan yang lain sebagai peristiwa ontologis yang melaluinya kesadaran diri terbangun. Dipengaruhi oleh Heidegger dan Husserl, ia berbicara tentang peran keberadaan dan eksistensinya.

Ia mengklaim bahwa Ada-dalam-dirinya sendiri, Ada-untuk-dirinya sendiri, dan Ada-untuk-yang-lain adalah tiga cara berada manusia. Dua karakteristik utama yang membentuk dasar ontologinya adalah en-soi (dalam-dirinya sendiri) dan pour-soi (untuk-dirinya sendiri).

En-soi atau yang ada dalam dirinya sendiri, identik dengan dirinya sendiri. Ini berarti bahwa ia berdasar pada dirinya sendiri dan tidak bergantung pada hal lain. Ia tidak diciptakan dan tidak memerlukan akal budi. Wujud seperti itu diungkapkan kepada kita melalui rasa mual dan bosan. Ia juga mencirikan keberadaan objek-objek di dunia.

Di sisi lain, pour-soi atau for-itself, tidak identik dengan dirinya sendiri. Ia dinamis dan aktif, dan dapat dipahami sebagai negasi dari en-soi. Sartre percaya pour-soi adalah kesadaran.

For-itself memiliki kecenderungan bergerak menuju kemungkinan-kemungkinan masa depan, dan kesadaran inilah yang menciptakan kehampaan di inti in-itself. Oleh karena itu, persepsi in-itself ditandai oleh faktisitas sedangkan dalam kasus for-itself, ia ditandai oleh transendensi faktisitas yang disebutkan di atas.

Sifat intersubjektif dari eksistensi manusia ditangkap oleh Being-for-others. Untuk menjelaskannya: saya adalah objek bagi yang lain sebagaimana orang lain adalah objek bagi saya. Sartre menunjukkan sebuah tragedi di sini, bahwa seseorang dapat melihat semua orang kecuali dirinya sendiri.

Tiga Dimensi Tubuh

Sartre menekankan pada poin bahwa keberadaan-untuk-diri-sendiri adalah gagasan tentang perwujudan dan kesadaran yang disengaja yang terwujud melalui tubuh. Tubuh, sebagai dasar bagi subjektivitas, adalah apa yang membentuk ‘totalitas hubungan yang bermakna dengan dunia’.

Sartre menguraikan tiga dimensi ontologis tubuh, yaitu tubuh sebagai makhluk untuk dirinya sendiri, tubuh untuk orang lain, dan diri saya sebagai tubuh yang dikenal oleh Orang Lain.

Dimensi Pertama: Tubuh sebagai makhluk bagi dirinya sendiri

Di sini, Sartre menekankan klaim bahwa tubuh, sebagaimana dijalani, tidak mampu dipandang sebagai dirinya sendiri. Tidak seperti meja dan kursi, tubuh tidak dipandang sebagai objek persepsi ketika ia terlibat secara sengaja dengan lingkungan di sekitarnya.

Dimensi Kedua: Tubuh untuk Orang Lain

Dalam dimensi ini, tubuh dikenal dan dimanfaatkan oleh orang lain. Orang yang dimanfaatkan memperoleh kesadaran bahwa mereka ada sebagai objek bagi orang lain.

Pengetahuan yang mungkin dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri melalui pengalaman hidup berbeda dengan pengetahuan yang mungkin dimiliki orang lain tentang orang tersebut. Hal ini membantu dalam memahami kesadaran abstrak dan konseptual tentang tubuh seseorang sebagai organisme yang mengetahui yang memiliki ciri-ciri objektif dan ada di antara makhluk lain.

Dimensi Ketiga: Tubuh sebagaimana diketahui oleh Yang Lain

Ini juga disebut sebagai tubuh yang ‘ terlihat ‘. Ini adalah hasil dari interaksi. Untuk menjelaskannya, seseorang tidak mengalami tubuhnya sebagai tubuhnya sendiri, tetapi sebaliknya melihatnya melalui pengalaman orang lain terhadapnya. Oleh karena itu, tubuh yang ‘ terlihat ‘ adalah persepsi seseorang terhadap tubuhnya sendiri bukan dari pengalaman yang dialami, tetapi dari perspektif yang jauh. Melalui inilah seseorang menjadi sadar diri secara reflektif.

Tatapan

Untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana kita tahu bahwa Yang Lain itu ada?” Sartre menunjuk pada perasaan malu, teror, bangga dan sejenisnya, yang merupakan konsekuensi dari Pandangan. Dengan menjadi sadar dan melihat orang lain, kita mampu menilai.

Sartre percaya bahwa tindakan dilihat oleh orang lain (sebagai objek) sangatlah penting. Ia mengklaim bahwa tindakan inilah yang memungkinkan seseorang melihat dirinya sendiri dan menciptakan kesadaran, yang memungkinkan kesadaran diri yang reflektif dan penilaian diri.

“Saya membutuhkan Yang Lain untuk menyadari sepenuhnya semua struktur keberadaan saya.” – Sartre

Sartre menyatakan bahwa ketika seseorang dipandang oleh Yang Lain, ia direduksi menjadi sebuah objek. Penting untuk menunjukkan di sini bahwa Sartre terinspirasi oleh Dialektika Tuan-Budak Hegel. Hal ini terbukti dari deskripsi pertemuan antara kesadaran sebagai perjuangan untuk subjektivitas dan konflik yang tak berujung antara Yang Lain dan Aku sebagaimana diberikan oleh Sartre (dipengaruhi oleh konstitusi subjektivitas dalam pengakuan dan penyangkalan bersama).

Analogi Pengintip

Sartre menjelaskan pentingnya Pandangan dengan contoh populer ini. Misalkan seseorang melihat melalui lubang intip (terinspirasi oleh kecemburuan atau rasa ingin tahu). Orang ini belum menyadari tindakannya dan sifatnya yang tidak etis.

Namun, ketika mereka menyadari orang lain melihat mereka melakukan tindakan seperti itu, mereka diliputi rasa malu. Beginilah cara kehadiran Yang Lain mengganggu dunia seseorang (seseorang kehilangan kebebasannya), dengan mendorong kesadaran diri yang mencerminkan dalam diri mereka.

“Pandangan Yang Lain membuatku berada di luar keberadaanku di dunia ini dan menempatkanku di tengah dunia yang sekaligus merupakan dunia ini dan di luar dunia ini.”

“(Rasa malu) adalah pengakuan atas fakta bahwa saya memang objek yang sedang dilihat dan dinilai oleh Yang Lain. Saya hanya bisa merasa malu jika kebebasan saya lepas dari diri saya untuk menjadi objek tertentu.” — Sartre dalam Being and Nothingness.

Kesimpulan

Pandangan Sartre merupakan pandangan yang memiliki banyak sisi tentang objektifikasi, visibilitas, subjektivitas, dan intersubjektivitas. Pandangan ini menekankan pada kekuatan orang lain untuk mengobjektifikasi objek persepsi (manusia).

Meskipun setiap contoh dari pandangan yang ditujukan kepada seseorang (objektifikasi) tidak mengarah kepada perasaan seperti rasa malu (keterasingan), penjelasan Sartre mengenai Tatapan sangat penting untuk memahami perkembangan kesadaran diri, dan bagaimana keberadaan orang lain (dalam masyarakat, misalnya) berperan dalam hal itu.

Oleh karena itu, Tatapan dapat dipahami sebagai analisis fenomenologis dan ontologis yang penting dan mendalam tentang eksistensi.*