Menelisik Jawaban Pertanyaan 4 Filsuf Besar,  Apakah Kekerasan Dapat Dibenarkan?

0

FILSAFAT, Bulir.id – Dalam dunia yang penuh dengan pertikaian, kita dihadapkan dengan pertanyaan apakah kekerasan terkadang dapat menyelesaikan masalah.

Menempatkan masalah ini secara filosofis berarti menyelidiki akar etika, meneliti apa yang kita maksud dengan “dibenarkan” dan mengungkap implikasi moral dari berbagai jenis kekerasan.

Namun, pada akhirnya, dengan mengeksplorasi berbagai teori etika dan pandangan filosofis, kita dapat memperoleh wawasan baru tentang dilema lama: Apakah ada alasan yang baik untuk terlibat dalam kekerasan?

Kekerasan adalah masalah yang rumit. Kekerasan mencakup berbagai hal yang menyakiti atau merusak tubuh atau emosi orang lain atau melanggar hak-hak mereka.

Kekerasan fisik terjadi saat seseorang menggunakan kekerasan untuk menyakiti orang lain secara fisik. Hal ini dapat terlihat dalam hal-hal seperti perkelahian, di mana orang saling memukul atau bahkan dalam perang, di mana militer suatu negara melukai atau membunuh musuh di negara lain (misalnya).

Kekerasan psikologis tidak meninggalkan bekas di luar seperti kekerasan fisik, tetapi dapat membuat orang sangat kesal di dalam hati. Penindasan adalah salah satu contohnya: kritik terus-menerus dan penggunaan ancaman untuk mengendalikan atau menakut-nakuti seseorang juga dapat dianggap sebagai kekerasan psikologis.

Lebih jauh, kekerasan dapat berbentuk agresi struktural, yang berakar dalam sistem dan institusi sosial. Jenis agresi ini dapat muncul dari ketidakseimbangan kekuasaan yang mengakibatkan marginalisasi atau penindasan kelompok tertentu, yang mengakibatkan kebutuhan mereka tidak terpenuhi atau hak-hak mereka diabaikan.

Misalnya, perhatikan masyarakat tempat orang-orang dengan latar belakang etnis yang berbeda tidak menikmati manfaat yang sama atau perlakuan yang adil. Ini akan menjadi contoh kekerasan struktural di tempat kerja.

Jadi, pada hakikatnya, kekerasan bukan hanya tentang bagaimana kita berperilaku saat kita “kehilangan kendali.” Kekerasan merupakan masalah yang memiliki banyak sisi dengan dimensi moral, hukum, dan filosofis yang mendalam bagi masyarakat mana pun yang peduli terhadap keadilan.

Socrates: Fondasi Tindakan Adil

Dalam dialog Plato, yaitu Republik, Socrates tidak hanya membahas keadilan sebagai konsep politik. Ia juga menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Ia mengatakan bahwa bersikap adil berarti melakukan pekerjaan yang paling sesuai untuknya dan tidak mengganggu orang lain saat mereka melakukan pekerjaan mereka.

Ketika pikiran, emosi, dan keinginan seseorang bekerja sama dengan baik seperti ini, tindakan mereka akan tepat bagi merek dan mereka juga akan hidup dengan baik. Jika Socrates mempertimbangkan apakah suatu tindakan kekerasan dapat dibenarkan, ia mungkin bertanya apakah tindakan itu membantu atau merusak kondisi pikiran yang harmonis ini.

Misalnya, seorang prajurit yang mempertahankan kotanya dengan menggunakan kekerasan, apakah kekerasan itu dibenarkan jika membantu menjaga ketertiban di sana (baik dalam masyarakat secara keseluruhan maupun dalam pikiran individu)? Tindakan seperti itu akan sesuai dengan peran pelakunya dalam masyaraka dan berkontribusi pada fungsi baik yang disebutkan sebelumnya.

Namun, Socrates yakin bahwa kekerasan yang dimotivasi oleh balas dendam pribadi atau emosi yang tidak terkendali tidaklah adil karena kekerasan tersebut berasal dari jiwa yang sedang kacau, di mana akal budi diperbudak oleh nafsu atau amarah.

Seseorang yang melakukan tindak kekerasan karena cemburu atau dendam termasuk dalam kategori ini. Socrates mengatakan tindakan seperti itu merusak karakter pelaku dan merusak kesehatan jiwa.

Menurut Socrates, kita hanya dapat menyebut kekerasan jika ia membantu menjaga atau memulihkan ketertiban jiwa dan negara, dan jika ia termasuk dalam kewajiban alamiah kita, dan pada akhirnya menyumbang pada kebaikan jiwa.

Aristoteles: Mengejar Kebaikan yang Lebih Besar

Dalam Etika Nikomakheannya, Aristoteles mengembangkan sistem moral yang berpusat pada Jalan Tengah. Menurut Aristoteles, Jalan Tengah adalah jalan yang diinginkan di antara dua ekstrem, satu ekstrem kelebihan dan satu ekstrem kekurangan, yang dapat kita temukan melalui akal dan itu relatif untik kita.

Dalam hal kekerasan, ini berarti bahwa kecerobohan yang ekstrem (terlalu banyak) atau kepengecutan (terlalu sedikit) harus dihindari, karena keduanya adalah kejahatan. Sebaliknya, kita harus berusaha mencari jalan tengah yang baik.

Ini berarti bahwa ketika menggunakan kekerasan, misalnya, bukan berarti menggunakan kekerasan kapan pun kita mau (berlebihan). Namun, ini tidak berarti menghindar dari penggunaan kekerasan yang diperlukan untuk melindungi masyarakat (kekurangan). Melainkan, ini berarti menggunakan kekerasan secara bijaksana dan hanya ketika semua cara lain telah gagal: inilah yang membuat seseorang berani dalam menggunakan kekerasan.

Menurut Aristoteles, kekerasan dapat dibenarkan jika memiliki tujuan yang baik untuk memulihkan keseimbangan dan ketertiban. Misalnya, dalam konsep Yunani tentang philia atau cinta komunal. Seseorang dapat berpendapat bahwa melakukan kekerasan untuk melindungi komunitas dan memastikan keadilan berlaku merupakan tindakan yang baik (seperti negara-kota yang mengusir penjajah yang akan menghancurkan cara hidup warga negara).

Intinya, posisi Aristoteles mengusulkan bahwa terkadang kekerasan mungkin adil jika itu merupakan respons proporsional yang bertujuan untuk memperbaiki situasi mereka secara keseluruhan, respons yang memuaskan baik kebajikan individu maupun kolektif.

Thomas Aquinas: Hukum Kodrat dan Moralitas

Thomas Aquinas merumuskan Teori Hukum Kodrar, yang menyatakan bahwa hukum manusia harus didasarkan pada hukum abadi dan hukum kodrat. Hukum abadi adalah aturan Tuhan atas semua ciptaan, sedangkan hukum kodrat adalah cara manusia berpartisipasi dalam hukum abadi.

Aquinas berpendapat bahwa kecenderungan bawaan manusia untuk berbuat baik dan menghindari kejahatan dapat membimbing pengambilan keputusan moral dan pembuatan hukum manusia.

Aquinas juga menggunakan teorinya untuk membenarkan aspek-aspek tertentu dari perang dengan memberikan beberapa kriteria tentang apa yang dianggap sebagai “Perang yang Adil.” Jika kekerasan dapat diterima secara moral, maka kekerasan tersebut harus memenuhi tiga syarat.

Pertama, negara berdaulat yang menyatakan perang harus memiliki wewenang yang berasal dari sumber yang sah. Kedua, harus ada alasan yang tepat (bahwa mereka yang diserang memang pantas mendapatkannya ada yang salah di pihak mereka). Ketiga, pihak yang terlibat dalam permusuhan harus bermaksud untuk mempromosikan kebaikan atau menghindari kejahatan (tidak bisa hanya tentang melakukan kerusakan sebanyak mungkin).

Pertimbangkan contoh sebuah negara yang menangkis serangan tak beralasan terhadap rakyatnya oleh negara lain. Aquinas akan melihat ini sebagai alasan yang wajar untuk berperang. Kepala negara akan memiliki hak dan kewajiban untuk menjaga kebaikan bersama dalam kasus ini.

Selain itu, agar suatu konflik dapat dihitung sebagai perang yang adil menurut teori Aquinas, tujuannya haruslah untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan atau memulihkan perdamaian, bukan sekadar merebut sesuatu yang didambakan atau membuktikan betapa brutalnya seseorang.

Singkatnya, kekerasan dapat diterima secara moral oleh Aquinas hanya jika kekerasan tersebut sesuai dengan hukum kodrat dan memenuhi semua kriterianya tentang “Perang yang Adil.”

Immanuel Kant: Imperatif Kategoris dan Hukum Universal

Teori etika Immanuel Kant didasarkan pada gagasan Imperatif Kategoris, yaitu hukum moral universal yang berlaku bagi semua makhluk rasional dan memerintahkan mereka untuk hanya bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip (prinsip pribadi) yang dapat dikehendaki sebagai hukum universal.

Dinyatakan bahwa suatu tindakan dianggap benar secara moral hanya jika tindakan tersebut dapat diterapkan secara universal dan jika tindakan tersebut memperlakukan setiap orang sebagai tujuan itu sendiri bukan hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan.

Ketika kita mempertimbangkan kekerasan melalui sudut pandang ini dan bertanya apakah seseorang dapat mengatakan, “Tidak apa-apa menggunakan kekerasan” sebagai prinsip untuk semua orang, semuanya menjadi sangat ketat. Karena jika semua orang mengikuti prinsip ini, hasilnya akan menjadi dunia yang penuh dengan kontradiksi dan kekacauan persis apa yang tidak diinginkan Kant.

Selain itu, sering kali, ketika kita melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain, kita memperlakukan orang tersebut hanya sebagai alat atau instrumen untuk mencapai suatu tujuan, yang bertentangan dengan memperlakukan mereka seperti tujuan itu sendiri (sebagaimana dikatakan Kant).

Misalnya, ketika membenarkan kekerasan sebagai bentuk pembelaan diri, etika Kant mungkin mengklaim bahwa hal itu dapat diterima secara moral hanya jika prinsip di baliknya dapat diterapkan secara universal tanpa kontradiksi dan tanpa memperlakukan orang lain hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Kant mungkin berpendapat bahwa kekerasan gagal dalam ujian ini karena bertentangan dengan rasa hormat tanpa syarat yang seharusnya diberikan kepada makhluk rasional menurut filsafat moralnya. Sifat kekerasan itu sendiri merusak otonomi dan martabat yang ingin ditegakkan oleh etika Kant bagi setiap individu.

Jadi, dalam kerangka Kant, seseorang dapat mengatakan kekerasan hanya diperbolehkan secara moral dalam kasus-kasus langka, bila kekerasan tersebut memenuhi Imperatif Kategoris misalnya, ketika penggunaan kekerasan merupakan satu-satunya cara untuk mencegah pelanggaran yang lebih besar terhadap otonomi dan rasionalitas seseorang.

Jean-Paul Sartre: Eksistensialisme dan Kebebasan

Filsafat eksistensialis Jean-Paul Sartre berpusat pada gagasan kebebasan radikal dan tanggung jawab yang menyertainya. Menurut Sartre, manusia ditakdirkan untuk bebas artinya kita sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri, tanpa esensi atau sifat yang telah ditentukan sebelumnya untuk membimbing kita.

Setiap tindakan yang kita ambil mencerminkan pilihan yang telah kita buat. Oleh karena itu, kita harus menerima sepenuhnya kesalahan atas tindakan tersebut.

Dalam kerangka ini, dapat dikatakan bahwa kekerasan dapat menjadi ekspresi kebebasan khususnya ketika digunakan untuk melawan penindasan. Jika seseorang mencoba untuk mengingkari kebebasan individu (dan kemanusiaan mereka), maka tentunya menggunakan kekerasan terhadap mereka menunjukkan bahwa Anda bebas (dan ada).

Misalnya, selama Perang Dunia II, Sartre mungkin berpendapat bahwa anggota Perlawanan Prancis yang melakukan tindakan kekerasan terhadap pasukan pendudukan, menjalankan kebebasan mereka sebagai tanggapan yang sah terhadap rezim yang menindas.

Akan tetapi, penting untuk dipahami bahwa Sartre tidak mendukung kekerasan demi kekerasan. Ia berpendapat bahwa mereka yang menggunakan kekerasan dalam perjuangan untuk kebebasan harus mengakui baik pertanggungjawaban mereka sendiri atas tindakan mereka maupun implikasi moral dari tindakan tersebut.

Sartre tidak percaya bahwa seseorang harus menggunakan kekerasan hanya karena ia mampu atau sebagai cara untuk menghindari pilihan yang sulit. Sebaliknya, ia menyarankan agar orang mempertimbangkan apakah menggunakan kekerasan pada akhirnya akan menghasilkan lebih sedikit pembatasan pada kebebasan individu daripada yang seharusnya.

Pertimbangan seperti ini membawa Sartre pada perspektif tentang masalah ini yang mungkin tampak paradoks. Di satu sisi, ia mengakui bahwa tindakan seperti itu terkadang menjadi cara yang efektif untuk menyingkirkan penindasan lama atau menanggapi penindasan baru. Di sisi lain, ia menegaskan bahwa selalu ada masalah etika yang berat yang terlibat yang seharusnya kita pikirkan dengan saksama.

Bisakah Kekerasan Dibenarkan?

Kompleksitas moral yang melingkupi kekerasan menciptakan jalinan keyakinan yang kaya, seperti mosaik yang terbentuk dari berbagai sudut pandang etika. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak hanya benar atau salah. Sebaliknya, konteks dan tujuannya menambahkan nuansa abu-abu.

Di satu sisi, kekerasan dapat dilihat sebagai serangan terhadap tatanan sosial dan perkembangan individu. Namun, ada kalanya kekerasan dapat dibenarkan jika kekerasan tersebut bertujuan untuk melindungi, menegakkan keadilan, atau memulihkan keharmonisan dalam suatu komunitas. Dalam kasus seperti itu, penggunaan kekerasan mungkin memiliki nilai moral.

Namun, ini tidak berarti semua taruhan dibatalkan ketika cara-cara kekerasan digunakan dalam cara-cara ini. Cara-cara tersebut harus tetap merupakan respons yang proporsional yang didorong oleh motif yang baik – dan dilakukan hanya setelah semua upaya untuk mencapai tujuan melalui cara-cara damai gagal.

Menggunakan kekerasan dalam pengertian ini tetap penuh dengan kesulitan: mereka yang memilihnya sebagai tindakan menanggung beban moral yang berat dan harus mempertimbangkan dengan hati-hati kemungkinan konsekuensinya bagi masyarakat luas.*