Theresia Siul: Harapan untuk Sembuh yang Berubah Menjadi Luka Mendalam di RSCM

0
Keluarga korban bersama pengacara/advokat yang membantu mengurus persoalan yang dialami oleh Theresia Siul

JAKARTA, Bulir.id – Theresia Siul, perempuan muda berusia 24 tahun asal Nusa Tenggara Timur, mengalami perubahan drastis dalam hidupnya setelah menjalani rangkaian perawatan medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Datang dengan berjalan kaki sebagai pasien rujukan BPJS dari RS Siloam Labuan Bajo, kini Theresia tak lagi bisa duduk, berdiri, bahkan tidur dengan tenang. Luka besar menganga di bagian bokongnya, sementara semangat hidupnya terkikis oleh rasa sakit dan trauma berkepanjangan.

Pihak keluarga menyebut penderitaan ini bukan semata-mata akibat penyakit, melainkan hasil dari dugaan malpraktik, kelalaian prosedural, dan diskriminasi sistemik terhadap pasien BPJS.

“Kami menduga, kelalaian dalam tindakan medis, termasuk operasi tanpa penjelasan risiko yang memadai menjadi penyebab anak kami menderita seperti ini,” ujar Since Ganggur, tante dari Theresia, Selasa (10/06/2025).

Keluhan tidak berhenti di sana. Menurut Since, Theresia mengalami keterlambatan tindakan biopsi dan CT scan yang vital. Sebagai pasien BPJS, jadwal CT Scan baru tersedia lebih dari sebulan kemudian, yaitu 29 April 2025. Namun ketika keluarga beralih ke jalur umum berbayar, layanan langsung tersedia keesokan harinya, 22 Maret 2025, dengan biaya lebih dari Rp 4 juta.

“Komunikasi juga sangat tidak transparan. Pasien dan keluarga berkali-kali tidak diberikan informasi jelas soal kondisi atau jadwal tindakan yang dilakukan pihak rumah sakit,” lanjut Since.

Kondisi Theresia kian memburuk. Biopsi pertama yang dilakukan 9 April gagal karena minimnya sampel. Operasi bedah saraf dilakukan 30 April tanpa kejelasan durasi maupun penjelasan medis memadai. Setelah operasi, Theresia dipulangkan pada 4 Mei tanpa instruksi tertulis perawatan di rumah, meski ia sudah tidak bisa berjalan dan menggunakan kateter.

Pada 11 Mei, ia kembali dilarikan ke IGD karena nyeri luar biasa. Namun karena padatnya antrean, ia justru diminta pulang tengah malam. Pernyataan seorang petugas IGD membuat keluarga sangat terpukul:

“Pasien kami banyak, bukan hanya kalian. Kalo memang sudah ajal, ya mau diapakan.”

“Kami sangat terluka dengan ucapan seperti itu. Kami datang dengan harapan, tapi justru diperlakukan tanpa hati,” ujar Since.

Perlakuan tak manusiawi lainnya terjadi pada 20 Mei, ketika pasien yang sudah dalam kondisi sangat lemah diminta hadir hanya untuk pengambilan sidik jari. Karena tidak tersedia tempat tidur dorong, Theresia terpaksa tidur di lantai lobi rumah sakit. Kejadian ini menjadi bukti betapa pelayanan di RSCM tidak mempertimbangkan kondisi pasien yang kritis.

Biopsi ketiga yang seharusnya dilakukan 27 Mei kembali ditunda tanpa alasan jelas dan baru dilakukan keesokan harinya. Bahkan hasil lanjutan seperti pemeriksaan imunohistokimia dibatalkan sepihak melalui pesan WhatsApp, membuat Theresia terpukul secara psikis.

Akhirnya, pada 7 Juni 2025, keluarga memutuskan untuk membawa Theresia ke RSPAD Gatot Subroto. Ia datang sebagai pasien umum, dengan luka besar di bokong, kateter masih terpasang, dan kondisi fisik yang terus menurun. Kepercayaan terhadap sistem pelayanan publik, menurut keluarga, sudah hancur sepenuhnya.

Tuntutan Keluarga

Dengan mempertimbangkan rangkaian peristiwa tersebut, pihak keluarga mengajukan beberapa tuntutan resmi terhadap RSCM:

1. Investigasi Independen dan Transparan

Keluarga meminta manajemen RSCM membentuk tim investigasi independen yang melibatkan Komite Etik Rumah Sakit dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK), untuk menelusuri seluruh proses pelayanan terhadap Theresia.

2. Audit Menyeluruh terhadap Prosedur dan Dokumentasi

Audit ini harus mencakup validitas keputusan medis, dokumentasi rekam medis, dan kesesuaian tindakan terhadap protokol. Keluarga menduga ada kelalaian sistematis dalam pelaksanaan prosedur.

3. Sanksi Tegas bagi Tenaga Medis yang Lalai

Bila terbukti terjadi pelanggaran etik atau hukum, maka seluruh pihak yang bertanggung jawab harus dikenai sanksi sesuai dengan UU Praktik Kedokteran dan UU Rumah Sakit.

4. Kompensasi dan Akses Rehabilitasi Gratis

Keluarga menuntut pemberian kompensasi atas kerugian fisik dan psikis pasien, serta akses penuh terhadap perawatan medis lanjutan termasuk fisioterapi, konseling, dan perawatan luka.

5. Permintaan Maaf Resmi dari RSCM

Permintaan maaf tertulis dan terbuka kepada Theresia dan keluarganya dianggap penting sebagai bentuk tanggung jawab moral serta pengakuan atas kekeliruan sistemik.

6. Evaluasi Layanan BPJS di RSCM

Keluarga mendesak reformasi sistem pelayanan BPJS yang diskriminatif. Keterlambatan penanganan dan perlakuan tidak adil terhadap pasien tidak mampu harus dihentikan.

Pengacara Chandra Goba yang turut mendampingi keluarga, menyatakan bahwa ada dugaan kuat terjadi malpraktik dan maladministrasi dalam kasus ini.

“Kalau kita dengar penjelasan keluarga, maka ada dugaan kuat bahwa pihak RSCM tidak hanya melakukan malpraktik, tetapi juga maladministrasi,” tegasnya, Selasa (10/06/2025).

Chandra menekankan bahwa tanggung jawab RSCM adalah mutlak.

“Pertama, mereka harus mengobati kembali pasien. Dia datang ke RSCM dalam keadaan bisa berjalan, sekarang justru lumpuh. RSCM wajib menyembuhkannya,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perawatan Theresia di RSPAD seharusnya tetap menjadi tanggung jawab finansial pihak RSCM.

“Pasien itu lumpuh karena dirawat di RSCM, bukan di RSPAD. Karena itu, merekalah yang harus membiayai pengobatan,” tegas Chandra.

Ia menegaskan, kasus ini bukan sekadar untuk menyalahkan, melainkan untuk memperjuangkan keadilan dan mencegah kejadian serupa menimpa pasien lain.

“Rumah sakit seharusnya menjadi tempat penyembuhan, bukan menambah penderitaan. Kami ingin keadilan untuk Theresia dan pasien-pasien lain yang mungkin bernasib serupa,” tutupnya.*


Kontak Keluarga Pasien:
Hendrik Maku (Om Pasien) – 0812-1069-2823