Jakarta, BULIR.ID – Dalam sidang perkara Mahkamah Konstitusi RI nomor 128/PUU-XXII/2024, seorang saksi fakta bernama Audia Asriantie, yang menjabat sebagai Sekretaris Pemohon, memberikan kesaksian penting terkait dugaan pelanggaran prosedur hukum dalam penetapan utang negara terhadap Bank Centris Internasional (BCI) dan pihak-pihak terkait.
Dalam kesaksiannya, Audia mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah kejanggalan dan ketidaksesuaian data antara Bank Centris Internasional (BCI) dengan Centris International Bank (CIB), yang menyebabkan kekeliruan dalam audit dan penetapan tanggung jawab hukum. Salah satu kejanggalan utama yang disampaikan adalah adanya perbedaan rekening yang digunakan dalam transaksi dana dari Bank Indonesia. Dana yang seharusnya masuk ke rekening BCI justru tercatat masuk ke rekening CIB, yang berbeda secara hukum.
“BCI memiliki rekening No. 523.551.0016, sementara dana justru masuk ke rekening CIB No. 523.551.000. Ini mengindikasikan kesalahan fatal yang berdampak besar terhadap pemohon,” ujar Audia.
Audia juga menjelaskan bahwa berdasarkan Akta No. 46 dan No. 47 tanggal 9 Januari 1998, terdapat perjanjian jual beli promes antara BCI dan Bank Indonesia, termasuk jaminan tanah seluas 452 hektare. Namun, dalam proses hukum yang berlangsung sejak tahun 2000, BPPN justru menggugat pemohon tanpa memperhatikan dokumen asli milik BCI yang telah disegel oleh BPPN sebelumnya.
Pemohon juga telah memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (putusan No. 350/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Sel) dan Pengadilan Tinggi Jakarta (putusan No. 554/Pdt/2001/PT DKI), yang menyatakan bahwa gugatan BPPN tidak dapat diterima. Namun, dokumen yang diduga sebagai Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 1688 K/Pdt/2003 yang diterima pada tahun 2022, dinilai janggal dan tidak terdaftar dalam sistem Mahkamah Agung.
“Putusan tersebut dipertanyakan keabsahannya oleh pihak internal Mahkamah Agung sendiri, bahkan salah satu Hakim Agung menyatakan bahwa itu bukan keputusan dirinya,” tambah Audia.
Meskipun pemohon telah memberikan berbagai klarifikasi dan permohonan kepada KPKNL, PUPN, Satgas BLBI, serta instansi terkait, penyitaan dan lelang aset tetap dilakukan, termasuk terhadap aset pribadi yang tidak berkaitan dengan perkara.
Putusan PTUN Jakarta dan PT TUN Jakarta bahkan menyatakan bahwa Surat Paksa dan SK Penetapan Utang harus dibatalkan, namun proses penagihan tetap berjalan. Saat ini, pemohon tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung yang dianggap tidak sah dan merugikan.
Audia juga menyampaikan bahwa tidak terjadi komunikasi yang baik antara pemohon dengan aparat pemerintah, serta terjadi tindakan represif saat proses penyitaan di berbagai lokasi. Ia menggambarkan suasana saat penyitaan dilakukan oleh lebih dari 100 petugas sebagai tidak kondusif dan sangat merugikan secara psikologis dan sosial.
“Dalam sembilan perkara berbeda, tidak satu pun putusan yang menyatakan bahwa Pemohon adalah penanggung utang negara,” tegas Audia. Ia pun menyatakan telah mengirim surat resmi ke Komisi Yudisial untuk melaporkan dugaan pelanggaran hukum dalam proses peradilan ini.
Kesaksian Audia ini menambah sorotan terhadap kompleksitas kasus Bank Centris Internasional dan perlakuan aparat terhadap proses hukum yang dianggap belum tuntas. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menelaah kembali fakta-fakta yang diungkap dalam persidangan guna memastikan keadilan bagi para pihak yang terlibat.
