
Jakarta, BULIR.ID – Pemilik Bank Centris Internasional (BCI), Andri Tedjadharma, kembali jadi sorotan publik setelah Satgas BLBI melakukan penyitaan atas aset-aset pribadinya.
Penyitaan ini mencakup tanah dan bangunan di Jakarta Barat serta lahan di Kabupaten Bandung Barat, Bali dan Cisarua dengan total nilai mencapai 12 triliun rupiah.
Langkah ini diambil oleh negara sebagai bagian dari upaya penagihan dana BLBI yang sejak krisis moneter 1998 masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam sejarah ekonomi Indonesia.
Namun, alih-alih diam, Andri melawan. Ia menegaskan bahwa dirinya dan BCI bukan bagian dari obligor BLBI, dan bahkan menyebut bahwa telah terjadi dugaan “penipuan sistematis” terhadap perusahaannya bank Indonesia (BI).
Apa Itu Kasus BLBI?
BLBI, yang merupakan singkatan dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah dana talangan dari Bank Indonesia kepada sejumlah bank komersial yang nyaris kolaps saat krisis moneter 1997-1998. Total dana yang digelontorkan mencapai lebih dari Rp600 triliun, dan sebagian besar hingga kini belum tertagih.
Sebagai langkah untuk memulihkan aset negara, pemerintah lantas membentuk Satgas BLBI untuk mengejar pengembalian dana tersebut dari para obligor. Namun, muncul satu kasus yang unik dan terus menimbulkan kontroversi, yakni Bank Centris Internasional.
BCI: Bukan Obligor Melainkan Korban
Andri Tedjadharma bersikukuh bahwa Bank Centris Internasional BCI tidak pernah mengajukan dana talangan kepada pemerintah saat krisis moneter berlangsung pada 1997-1998.
Sebagai pemegang saham terbesar di BCI, Andri menegaskan pihaknya tidak pernah menerima dana BLBI satu rupiah pun dari bank Indonesia (BI).
“Bank Centris Internasional adalah satu-satunya bank yang tidak mengajukan dana BLBI. Kami satu-satunya bank yang saat itu stabil sehingga tidak perlu meminta bantuan dana talangan dari pemerintah,” kata Andri saat ditemui Indonews.id di kantornya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Rabu (16/4/25).
Andri menyampaikan, kasus ini bukan saja merugikan dirinya namun juga negara dengan kerugian mencapai 850 triliun lebih. Untuk BCI dan aset pribadinya, total kerugian ditaksir mencapai 12 triliun rupiah.
“Sekali lagi, BCI bukan obligor, melainkan korban kesewenang-wenangan oknum yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk merampas harta dan menzolimi warganya. Jadi, telah terjadi penipuan dan penggelapan secara sistematis terhadap warga dan negara dengan memanfaatkan BCI,” tambahnya.
Putusan Pengadilan: BCI Menang
Klaim Andri terhadap mufakat jahat oleh sejumlah oknum ini didukung oleh sejumlah fakta persidangan dan putusan sejumlah lembaga antara lain Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN) pada 2000 menyatakan bahwa tidak ada bukti BCI menerima dana BLBI melalui rekening-rekening yang dituduhkan.
Selanjutnya, dalam perkara melawan BPPN, pengadilan menyatakan bahwa Perjanjian Akta No. 46 yang menjadi dasar tagihan adalah batal demi hukum, karena tidak pernah terjadi transaksi riil.
Kemudian diperkuat dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 2023 yang juga membatalkan Surat Keputusan PUPN yang menjadi dasar penyitaan aset pribadi Andri.
Pada 2023, Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) Jakarta I di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan RI sebagai satu kesatuan dari Satuan Tugas (Satgas) BLBI melakukan penyitaan terhadap sejumlah aset milik BCI.
“Satgas BLBI juga menyita aset pribadi saya yang secara jelas tidak dijaminkan. Bahkan aset atas nama istri saya juga ikut disita. Total kerugian saya secara material mencapai 12 triliun,” pungkas Andri.
Putusan Palsu atau Fiktif
Anehnya, Andri mengungkapkan, surat perintah penyitaan itu didasarkan pada salin putusan kasasi Mahkamah Agung palsu. Salinan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) No. 1688 K/Pdt/2003, dinyatakan tidak pernah ada dalam sistem resmi MA.
“Anehnya lagi, salinan putusan itu baru dikeluarkan 20 tahun kemudian, yakni pada 2023 kemarin. Selain itu, terdapat sejumlah kejanggalan pada isi salinan putusan tersebut. Rupanya mereka copy paste dan tidak cermat. Atau mungkin ini cara Tuhan untuk membuka kebenaran?” tanya Andri.
Andri Tedjadharma bersama kuasa hukumnya, Japaris Sihombing, S.H telah menyurati Mahkamah Agung (MA) untuk mengkonfirmasi kebenaran dan keabsahan Salinan putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) No. 1688 K/Pdt/2003 tersebut.
“Kami menerima tiga surat resmi dari Mahkamah Agung. Isinya tegas: tidak pernah terima permohonan kasasi BPPN melawan Bank Centris. Maka, dari mana datangnya putusan ini? Lebih parah, salinan inilah yang dipakai menyita aset pribadi klien kami,” ungkap Japaris, S.H kepada awak media di kompleks DPR RI, Senin (14/4/25).
Tim kuasa hukum Andri menemukan lebih dari 20 kejanggalan fatal, di antaranya nomor relaas tidak masuk akal. Mereka klaim tahun 2003, tapi relaasnya tahun 2022. Lalu terdapat kesalahan fatal dalam isi: tanggal tak konsisten, kutipan UU tidak relevan, nama para pihak keliru.
Konfirmasi palsu: nama Prof Bagir Manan tercantum sebagai Ketua Majelis, padahal beliau membantah pernah mengadili perkara tersebut. Lalu, amar putusan kontradiktif. Poin amar menyatakan akta sah dan berharga, namun menyebut Bank Centris berutang dalam jumlah besar, tanpa dasar jelas.
“Bertentangan dengan Pernyataan Menteri Keuangan: Sri Mulyani pada 2008 di Gedung DPR menyatakan kasus Bank Centris masih menunggu kasasi. Selain itu, kontradiktif dengan Audit BPK: Laporan 2006 menyebut perkara Bank Centris belum inkrah, artinya tidak mungkin sudah ada putusan tahun 2006,”kata Japaris Sihombing.
Tuduhkan: Bank dalam Bank
Andri bahkan mengungkap tuduhan lebih serius. Dia menyebut telah terjadi “kejahatan keuangan terselubung” melalui skema call money overnight—transaksi pinjam meminjam antarbank dalam jangka waktu sangat pendek, biasanya satu malam.
Menurutnya, Bank Indonesia diduga menjalankan semacam “Bank dalam Bank”, yang melibatkan bank-bank tertentu untuk melakukan transaksi semu, namun mencatut nama BCI. Kerugian negara mencapai Rp850 triliun.
“Transaksi dilakukan di pasar uang antarbank di BI, namun dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan BCI. Ini sangat rapi, sistematis, dan memanfaatkan celah sistem perbankan saat itu,” tegas Andri.
Tanggung Jawab Negara
Andri menyebut bahwa jika terbukti BCI tidak menerima dana–yang dibuktikan dengan membuka rekening koran, maka negara bukan hanya tidak berhak menagih, melainkan harus bertanggung jawab atas pembekuan sepihak terhadap Bank Centris Internasional pada masa krisis dahulu.
“Kalau kami tak terima uang, maka negara harus ganti rugi atas pembekuan itu. Jangan dibalik jadi kami yang ditagih. Kan bisa dibuktikaan dengan rekening koran. Pernah ga dana itu dikirim ke BCI?” tanya Andri.
Sikap Negera Soal Kasus BCI
Negera bisa mengambil sikap tegas, terukur dan jelas dalam kasus ini. Tiga putusan pengadilan yang berpihak pada Andri menunjukkan bahwa posisi hukum BCI cukup kuat.
Bukti tidak adanya arus dana dari BLBI ke rekening BCI memperkuat klaim bahwa transaksi yang dituduhkan tidak terjadi. Ketidaksesuaian sikap antara Satgas BLBI dan putusan PTUN menciptakan ketidakpastian hukum yang bisa berbahaya bagi iklim bisnis.
Kasus Bank Centris Internasional membuka tabir rumitnya warisan BLBI. Ia bukan sekadar soal uang, tapi juga soal keadilan, tanggung jawab negara, dan ketepatan dalam penegakan hukum.
Saat ini, publik menunggu langkah Mahkamah Agung dan pemerintah: apakah akan mengikuti putusan hukum yang ada, atau tetap melanjutkan pendekatan “penagihan massal” tanpa membedakan kasus per kasus.
Infografik: Kronologi Kasus Bank Centris Internasional
Tahun | Peristiwa |
1998 | Krisis moneter melanda. BLBI dikucurkan ke banyak bank. |
1999 | BCI dibekukan oleh pemerintah. |
2000 | Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan BCI tidak menerima dana BLBI. |
2023 | PTUN membatalkan SK PUPN terhadap Andri Tedjadharma. |
2024 | Satgas BLBI menyita aset pribadi total senilai 12 triliun. |
2025 | Andri menggugat balik ke Mahkamah Agung dan membuka fakta-fakta baru. |
2025 | Andri mengirim surat ke DPR |
2025 | Andri mengirim surat ke Komisi Yudisial |
