Oleh Gerard N Nibang*)
25 TAHUN YA DAN TERUS YA (-03-habis)
DARI SAKRAMEN KRISTUS DAN TITIK BALIK
HINGGA ‘KELE BENGA’ DAN ROKATENDA ADUH NONA E
Khabar misa syukur 25 tahun imamat Pater Poly dan Pater Yos awal Mei lalu di Sankt Augustin, Jerman dan tgl 2 Juli ini untuk Pater Yustin di Swiss, membuat saya dan istri Juliani serta anak kami Beatus mengenang kembali dengan mata sembab terlilit rasa haru dan bahagia dengan apa yang terjadi 25 tahun lalu itu.
Syukur kepada Tuhan yang memperkenankan keluaga kecil kami berjumpa dan mengenal dengan tiga serangkai misonari pionir bumi Jerman ini di saat yang tepat.
Yaitu di kurun waktu tatkala orang masih punya perhatian yang jujur kepada rohani dan percaya kepada penyelengaraan Tuhan sebagai yang utama sekaligus sebagai puncak dari kebaikan dan kebenaran.
Di kurun waktu tatkala Eropa sedang berada dalam dahsyat-dahsyat kemajuan dan kemakmurannya, yang semuanya bisa menyulap dunia menjadi surga dan membuat orang lantas berpikir bahwa menggapai dunia adalah identik mendapatkan surga, maka untuk apa merindukan surga yang masih nanti sesudah kematian, kalau di dunia ini, ia sudah bisa dinikmati senikmat-nikmatnya.
Inilah dasar terdalam mengapa keluarga kami sangat mencintai tiga serangkai ini dan tidak akan melupakan mereka. Yang utama pada ketiganya ialah kesanggupan mereka memerdekakan diri dari dunia yang menderu-deru, yang pasti membuat mereka harus memilih menjadi seperti diri mereka yang ada sekarang ini.
Persisnya ialah kesanggupan mereka untuk memilih menjadi manusia sebagaimana mereka yakini dan pilih 25 tahun lalu itu. Jadi, saya kira yang nomor satu pada tiga serangkai misionaris ini adalah kebenaran mereka dalam memilih nilai yang dihirupi hingga detik ini.
Mereka sudah menjalani pilihannya dengan sungguh-sungguh. Setia menjalaninya selama 25 tahun. Setia dalam keadaan sehat dan sakit, dalam susah dan senang, dalam kuat dan rapuh. Dan ini yang menarik: mereka tidak pernah menagih terhadap siapapun untuk turut serta merasakan duka derita dan air mata mereka karena mereka sudah ikhlas terhadap apapun.
Ibu Juliani BIBANG menyerahkan stola ke diakon Yustin utk dikenakan (ujung kiri bawah); Tarian persembahan dipimpin oleh P Amatus Woi SVD, terlihat di belakangnya Frater Anton dan Frater Rikard diiringi lagu Marilah Kita Ke Rumah Bapa (kanang ujung); Orang tua dari imam baru. Dari kiri: orang tua dari Pater Yos, bapa mama Pater Poly dan kami orang tua Pater Yustin (kiri tengah)
Maka bagi semua yang mengenal, pasti mencintai mereka. Tiga orang ini sudah lulus dari segala gegap gempita dunia ini yang sama sekali tidak sanggup mengkontaminasi diri mereka. Mereka tetaplah seserpih debu yang berjalan dengan dada tegap menuju ke tempat yang telah mereka ikrarkan dalam imamat suci dan dalam kaul-kaul kebiaraan mereka.
Saya sendiri membathin bahwa keadaan yang sekarang ini sudah membenih di hari tahbisan mereka, sore itu, tgl 26 April di Sankt Augustin, Jerman, jam 15.00.
Di serial tiga ini, saya hanya fokus pada liturgi tahbisan dan resepsi di aula agar tidak mengulang-ulang narasi pada serial satu dan dua.
Sakramen Kristus
Untuk pertama kalinya selama di Jerman, saya menyaksikan gereja terisi penuh, bahkan sampai di lorong-lorong di luar gereja. Kemudian barulah saya paham bahwa sebagian mereka berasal dari paroki di mana ketiga diakon ini menjalankan praktek diakonat dan ini yang menakjubkan, sebagian lebih besar lainnya ialah orang nusantara Indonesia, katolik, protestan, islam, budha, campur baur. Boleh dikata, jadilah Sankt Augustin sore itu sebuah tontonan bhineka tungal ika-nya Indonesia.
Tiga pemuda ini memang dikenal luas dan luwes bergaul, ramah dan baik hati, yah, disimpati berbagai kalangan suku dan usia. Mereka rajin ikut kegiatan ekumene Koeln-Bonn dan kegiatan-kegiatan orang Indonesia lainnya. Mereka tidak hanya brevir dan ibadat pagi siang malam di dalam tembok biara mereka. Sudah sejak dulu, etos mereka intra-muros yaitu melintasi tembok-tembok biara mereka, pergi menemui sesama manusia dan makhluk yang berkehendak baik untuk bersama-sama mengais keadilan dan perdamaian dalam perjalanan menuju Sang Pencipta.
Saya mulai dengan uskup pentahbis Mgr Walter Kaspers yang sekarang jadi kardinal dan bekerja di Vatikan. Orang Jerman itu kebanyakan tampang serius dan serem. Apalagi imam dan uskup. Tapi tidak untuk uskup pentahbis ini. Ceria, setengah senyum serta sumringah silih berganti sejak ia masuk perarakan ke dalam gereja dan selama perayaan liturgi pentahbisan. Apa rahasianya? Nanti di aula habis misa baru ketahuan.
Semua yang lain-lain dari khotbahnya saya lupa tapi yang selalu saya dan istri saya ingat: anak-anakku, jadilah sakramen Kristus! Ada mungkin tiga atau empat kali dia ulangi frase ini: jadilah sakramen Kristus.
Kaget saya! Baru saya dengar! Di Ledalero memang dulu medio thn 80-an saya pernah dengar istilah Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, judul pada stensilan kuliah eklesiologinya Pater Georg Kirchberger SVD. Tapi sekarang ini, sakramen Kristus. Belum habis menggumam sendiri dalam hati, tiba-iba istri saya Juliani berbisik: bukannya hanya ada tujuh sakramen. Ini sakramen apa lagi!
Tanda Yesus Kristus, maksudnya, jawabku. Dalam hati saya nyeletuk, betul juga ya, teolog kalau khotbah ya begini ini, sebut istilah tinggi sana sini, sementara umat yang belum sampai ke sana ilmunya, tinggal mencerna sendiri dalam kebingungan. Andaikata 90 persen umat seperti istri saya bertanya tentang istilah sakramen Kristus dan tidak memiliki jawaban, kalau pun dijawab mungkin jawaban asal-asal dan salah, yah, bisa dibayangkan kegelapan di kepala orang itu ketika pulang rumah.
Wajah senyum sumringah Uskup Walter tampak ketika ketiga imam baru dipakaikan kasula yang berwarna budaya Flores. Motif Lamaholot untuk Poly, motif Lio untuk Yos dan motif songke untuk Yustin. Tepuk tangannya lama sekali saat ketiga imam baru berhadapan ke umat dengan kasula khas dan indah mereka. Jujur, belum pernah saya melihat seorang uskup Jerman spontan bertepuk tangan dan lama, sampai-sampai gigi-gigi putihnya kelihatan.
Lebih-lebih lagi sumringah dan cerianya ketika dia menyaksikan tarian persembahan dari pintu gereja hingga altar, mendengarkan doa penyerahan persembahan dalam bahasa Indonesia ( tidak diterjemahkan) oleh ayahnya Pater Yos, sambil diiringi lagu persembahan berirama keroncong oleh koor warna warni Indonesia.
Ketika di aula saat resepsi, Uskup Walter menyalami semua kami yang hadir satu per satu, saya lihat paling lama di bagian umat Indonesia. Ketika tiba di gilran kami, istri saya langsung tanya, sambil erat-erat menjabat tangannya: Wie war’s Herr Bischop, die Tanzen, die Lieder? ( = gimana tadi Bapak Uskup, lagu-lagu dan tariannya)
Sehr schoen, sehr schoen, am schoensten in meinem Leben, wunderschoen, eine klasse bunte Liturgie ( = bagus, bagus sekali, paling indah dalam hidup saya, liturgi warna warni indah), sambil tangan kirinya mengelus-elus bahu kiri jas songke saya. Saya senyum-senyum sendiri, dalam hati bilang: habis ini orang sdh kemakan sama saya punya jas songke!
Setelah itu dia memberkati Beatus yang dari tadi menarik-narik tangannya selagi Uskup menjawabi ibunya. Istri dan saya secara serentak ikut tanda salib padahal berkatnya hanya untuk Beatus. Ya sudahlah, hitung-hitung, ini berkat pengampunan untuk dosa-dosa masa lalu saya, hahahahahaha.
Begitu bapak uskup ke orang berikutnya, Pater Yustin langsung bilang ke istri saya: Suruh Beatus nanti masuk seminari e supaya jadi uskup, sudah dapat berkat uskup tu. Ah gak mau, tegas istri saya: ntar kami gak ada keturunan! Pater Yustin ketawa.
Warna Warni Dan Tari Kele Benga
Atmosfir sudah sangat terasa dan terlihat sebelum misa. Sejauh-jauh mata memandang hanya warna warni busana nusantara batik dan kebaya serta rok panjang dibalut dengan selendang berbagai kain motif dari daerah-daerah nusantara.
Masuk perarakan ke dalam gereja, langsung disambut dengan lagu Mari Kita Bersama Memuji Tuhan, karya Pater Pit Wani. Lagu berirama Bajawa ini menggema dengan iringan gitar, orgel dan petikan gendang. Khusuk serasa misa di Flores nun jauh di sana.
Kebetulan tempat koor berada di samping altar di depan, menghadap umat. Lengkaplah keindahannya. Tampak jelas baju warna warni mereka, petikan gitar dan gendang, serta alunan suara mereka yang amat indah, didukung oleh echo gereja yang kondusif. Himmlische Stimmen (= suara surgawi), begitu komentar beberapa orang Jerman yang saya dengar. Dan mereka tidak salah!
Selama perayaan, umat Jerman diam, seakan sedang meditasi di tengah kesunyian. Frater Rikard, waktu resepsi bilang: bapa beatus, tadi saya lihat mereka orang Jerman kangaranga!(=terheran-heran) ko! Lalu disambung oleh frater Anton Jermaru: saya lihat mereka punya mata dan mulut sama-sama kebuka semua! Kami tertaw
Ketercengangan memuncak ketika persembahan. Kali ini diawali dengan tarian persembahan dari Bajawa, dipimpin oleh Pater Amatus Woi, yang baru lulus doktoral dari Universitas Wuerzburg, terbaris dalam para penari antara lain frater Rikard dan frater Anton yang baru tiba dari Ledalero. Lagu Marilah Kita Ke Rumah Bapa, yang dinyanyikan secara chorus dari altar, mengiringi tarian ini.
Seluruh mata umat tertuju ke pintu altar memutar-mutar bola mata mereka mengiringi gerak tari para penari yang semuanya laki-laki gagah perkasa, sesekali berbinar-binar mata mereka ketika menyaksikan bagaimana tangan-tangan penari ini melambai-lambaikan pedang di tangan mereka, dipadukan dengan irama gerak kaki dan tangan, melenggok-lenggok indah dan pelan-pelan mengantarkan persembahan ke altar.
Sementara Uskup Walter dan ketiga imam baru berdiri di tangga altar menyaksikan tarian itu dan menantikan barang persembahan, tentu dengan wajah senyum sumringah, setengah tertawa.
Kemudian, doa penyerahan persembahan dalam bahasa Indonesia, tidak diterjemahkan, oleh ayahnya Pater Yosef, membuat suasana lebih asyik. Uskup Walter tentu dengan pertolongan Roh Kudus, saya yakin, mengerti isi doa itu. Buktinya, dia mengangguk-angguk sambil tersenyum sesekali menengok ke kiri dan kanannya, kepada tiga imam baru. I
Lagu persembahan berirama keroncong Bawalah Persembahanku, memahkotai kemeriahan perayaan dan semakin menyhihir umat yang hadir.
Sesudah misa, sambil menunggu saat masuk ke aula pesta, beberapa orang, baik orang Jerman maupun orang Indonesia, mendekati saya dan bertanya apa nama tarian pedang yang luar biasa indah itu.
Kebetulan di dekat saya bediri frater Rikard asal Nagekeo. Saya langsung tanya, Rikard, apa nama tariannya. Tarian flores, kae! Bukan, nama bajawanya apa, tanya saya lagi. Aeh klo begitu kae bilang saja: tarian kele benga. Dan Frater Rikard tertawa. Saya terheran-heran. Setahu saya, kele benga itu artinya ketek telanjang.
Tapi sudahlah, saya lalu panggil semua yang nanya nama tarian tadi dan berkata dengan suara keras: tarian eksotis tadi itu namanya tarian kele benga! Frater Rikard, frater Anton, Pater Poly dan Pater Yos spontan ngakak sekeras-kerasnya. Saya juga akhirnya ikut terbahak-bahak.
Titik Balik
Masih terngiang di telinga saya, kata sambutan rektor rumah Sankt Augustin, Pater Josef Rieger SVD. Pater Yosef ini lancar bahasa Indonesia karena sering diundang ke Ledalero mengajar eksegese perjanjian baru di era 80-an.
Ada dua hal yang saya ingat. Pertama, Uskup Walter menolak stipendium misa karena merasa sangat terkesan dengan liturgi perayaan tahbisan, tentu juga karena lezatnya beberapa menu makanan Indonesia. Kami tertawa dan tepuk tangan.
Kedua, dan ini yang tak terlupakan, dia bekata: hari ini, serikat kami merayakan sebuah titik balik (=Kehrpunkt), di mana dulu kami mengirim misionaris berpuluh-puluh tahun ke Flores, dan hari ini, Flores mengirim balik tiga misonaris ke tanah kami.
Riuh rendah dan tepuk tangan memecah aula. Kami tepuk tangan lama sekali sambil berdiri. Misionaris-misionaris Jerman yang pernah kerja di Flores, antara lain Pater Josef Koennigsmann, mantan dosen hukum gereja di Ledalero, yang waktu itu menjadi ekonom Sankt Augustin, dan beberapa misionaris lainnya, dengan mata sembab ikut tepuk tangan. Mereka teharu dan bahagia. Saking lamanya tepuk tangan, sampai-sampai Pater Rieger memberikan aba-aba untuk duduk kembali.
Seperti diwartakan sebelumnya, mereka tiga ini boleh dikata tiga serangkai misionaris pionir bumi Jerman. Mereka bertiga dikirim dari Ledaleo melanjutkan teologi di Sankt Augustin, ditahbiskan di Sankt Augustin dan dibenuming di Jerman. Pater Yustin memang di Swiss tapi di daerah berbahasa Jerman.
Sekarang Pater Poly menjadi rektor Seminari Tinggi Sankt Augustin sekaligus profesor teologi dogmatik di sekolah tinggi di situ, Pater Yos di lembaga pendidikan dan paroki di Jerman dan Pater Yustin selama 25 tahun pastoral paroki di Swiss.
Rokatenda- Dangdut-Aduh Nona e
Begitu selesai makan dan kata sambutan, langsung acara gosok lantai: rokatenda dan dangdut bergantian. Pemimpin rokatenda malam itu ialah Romo Adol Sanar. Beragam variasi dia ajarkan. Setahu saya, hanya ada tujuh ragam, tapi oleh Romo Adol ditambah menjadi 12 ragam. Yang menariknya, lagu flobamora pengiring dinyanyikan oleh semua peserta rokatenda.
Sesudah rokatenda, dangdut! Wah, ini lebih ramai dan warna warni. Dari seluruh pelosok nusantara dengan pakaian warna warni turun ke lantai dan berdangdut ria. Orang-orang Jerman hanya bisa melotot dan geleng-geleng kepala. Frater-frater dari India, China, Afrika serta Spanyol, ikut larut berlunglai dalam irama dangdut.
Belum sampai di situ. Romo Adol saking semangatnya sampai-sampai memperkenalkan rokatenda jenis baru yang dia sebut: aduh nona e! Wah, ada-ada saja ini Romo Adol. Saya juga baru dengar ini Aduh Nona e!Tapi memang jenis rokatenda terakhir ini lebih simpel tanpa ragam, hanya putar kiri dan kanan, lebih luwes dan bergaya-gaya.
Malam itu, kami joget sampai larut malam. Tentu dengan bir dan anggur yang tersedia tanpa habis-habisnya di atas meja.
Kepadamu tiga serangkai misionaris, Yustin, Yos dan Poly: berkanjanglah terus dalam imamatmu seperti anak sungai mengalir tanpa arah kembali, genau wie der Fluss fliesst ohne Ruckehr, hingga keabadian.
Dari kami berempat: Wie immer, groesse Liebe fuer dich vom unseren ganzen Herzen aus Jakarta. Bleib toll und munter! We love you full!
(gnb:tmn aries:jkt:minggu:2 juli 2023)